01 : THE BEGINNING
20 Agustus 2019
Matahari berinar begitu terik, Deva mengangkat lengan kirinya tempat arloji berwarna beige miliknya melingkar indah di pergelangan tangannya. Jarum pendek pada arloji itu menunjukkan pada angka dua belas tepat, pantas saja matahari terasa begitu terik menusuk kulit. Deva yakin kulit putih bak porselen miliknya kini telah berubah warna menjadi kemerahan. Dalam hati Deva menggerutu sebal, pasalnya hari ini seluruh mahasiswa baru harus menerima hukuman atas keterlambatan yang dilakukan oleh segelintir orang. Tidak hanya menerima hukuman, sepanjang empat jam terakhir komdis terus berceloteh dengan suara lugas dan lantang.
“Kalian paham kan salahnya dimana?!” Bentak salah satu komdis. “Siap, paham kak!” Ucap seluruh mahasiswa baru serentak. “Coba kalua paham, satu orang jelaskan kesalahan kalian apa?”
Hening. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Hal ini tentu menyulut amarah Ketua Komdis.
“Kalau gak ada yang mau bicara, saya tidak akan membubarkan barisan. Biar saja kalian sampai jam enam sore berdiri di lapangan. Mau?!”
Suasana tetap hening, seluruh mahasiswa baru masih tidak ada yang berani menyahuti. Beberapa mahasiswa terlihat melirik satu dengan yang lain, seolah menunjuk temannya untuk menjawab pertanyaan yang diutarakan oleh sang ketua komdis. Dalam hati Deva berharap agar proses orientasi mahasiswa baru hari ini dapat segera selesai. Ia berharap ada seorang penyelamat yang dapat menyelamatkan mereka semua dari terik matahari siang ini. Karena sungguh, Deva sudah tidak kuat lagi menahan panas lebih lama lagi. Bajunya kini telah basah oleh keringat. Belum lagi rambutnya yang semula tertata rapih kini telah lepek diikuti oleh peluh yang meluncur bebas di pelipisnya.
“Kalian bisa dengar gak? Tadi kak Januar bilang apa?! Telinga kalian masih berfungsi kan? Jawab!” “MASIH KAK.” “Jadi satu orang, sebutkan kesalahan kalian!” Kali ini ketua Komdis yang Bernama Januar kembali bersuara dengan lebih lantang.
Deva merunduk, ia sangat yakin tidak mungkin ada orang yang berani maju dan menyuarakan kesalahan mereka. Deva rasanya sudah pasrah saja jika ia dan mahasiswa baru lainnya akan dijemur hingga pukul enam sore nanti. Sungguh—Deva ingin merutuki siapapun yang terlambat pada ospek hari pertama ini. Sekarang kakinya sudah kebas dan pegal luar biasa. Bagaimana tidak, selama empat jam mereka tidak boleh untuk bergerak. Menggoyangkan kaki saja akan menuai amarah komdis, apalagi merenggangkan otot kaki.
Namun sepertinya semesta masih menyayanginya kali ini. Seolah semesta mengerti bahwa ia dan teman-teman lainnya telah kelelahan. Seseorang yang berdiri tidak jauh dari barisannya kini mengangkat tangannya. Dengan suara yang lugas dan tegas, ia menyuarakan kesalahan yang dilakukan oleh segelintir orang pada ospek hari pertama ini.
“Ya, kamu yang angkat tangan. Coba sebutkan kesalahan fatal kalian?” “Kami teledor kak, tidak memperhatikan satu sama lain hingga ada yang terlambat masuk pada ospek hari pertama ini.” Pria itu menatap lurus kedepan tanpa rasa takut sedikitpun. “Bagus, selain itu ada lagi?”
Suasana kembali hening. Seluruh mahasiswa baru tidak ada yang berani bersuara. Secercah harapan bahwa hukuman akan segera berhenti pun kini sirna dari benak Deva. Ia menyumpahi berbagai makian kepada para panitia ospek yang begitu kejam pada mereka kali ini.
“Beberapa orang tidak mengenakan atribut yang sesuai, kak. Ada pula yang tidak membawa barang yang telah ditentukan sebelumnya. Saya atas nama teman-teman saya mohon ampun atas keluputan kami dalam proses ospek hari pertama ini, kak.” Lagi, pria yang sama itu masih menyuarakan kesalahan yang dilakukan oleh teman angkatannya dengan lugas, tanpa rasa takut sedikit pun. “Siapa nama kamu?” “Lester Arsenio Ivander, dari kelompok Maluku kak.” “Sesuai yang disebut oleh Lester, kalian sudah memahami apa kesalahan kalian?!” “Siap, paham kak!” “Kalian diizinkan untuk beristirahat. Namun tidak ada yang boleh keluar dari lapangan ini. Silahkan duduk di lapangan ini. Saya berikan waktu tiga puluh menit untuk kalian beristirahat sejenak. Cukup?” “Siap, cukup kak!”
Setelahnya seluruh mahasiswa baru langsung terduduk di atas lapangan hari itu. Beberapa kembali bergerombol dengan kelompoknya. Deva yang saat itu tidak memiliki teman hanya dapat memandang sekitarnya yang kini telah berbaur dengan kelompoknya masing-masing. Merasa tenggorokannya kering, Deva mengambil air mineral di dalam tas nya dan meneguknya hingga tandas tak tersisa. Sinar matahari semakin terik, Deva mengusap peluhnya dengan telapak tangan miliknya. Tetesan-tetesan keringat miliknya berlomba-lomba turun membasahi wajahnya. Hingga secara tiba-tiba seseorang duduk di depannya.
Dari belakang, deva dapat memandang bahu tegap milik pria itu. Tubuhnya yang besar mampu menutupi teriknya sinar matahari yang semula mengarah langsung pada tubuh Deva. Deva memandang kembali punggung tegap itu. Akhirnya ia teringat, pria itu adalah pria yang dengan lantang menjawab kesalahan segelintir orang saat komdis menatar mereka beberapa menit yang lalu.
Deva memandang takjub punggung tegap itu. Dua kali, untuk kedua kalinya pria itu seolah menyelamatkan dirinya. Yang pertama, aksi heroiknya menjawab dengan lantang atas kesalahan yang dilakukan teman-temannya. Dan, yang kedua menghalangi teriknya sinar matahari dengan tubuhnya.
Netra Deva terpusat pada tetesan keringat yang jatuh dari rambut milik pemuda itu hingga menuruni lehernya. Kemeja putih miliknya pun kini telah basah oleh keringat, hingga kaus dalam miliknya terekspos dengan sempurna.
Merasa tidak enak, Deva pun memberanikan diri untuk bertanya pada sang empu.
“Hallo… Lester? Lo kepanasan ya…? Pindah aja, itu baju lo udah basah banget.” Ucap Deva pelan setelah menepuk punggung pemuda itu tiga kali.
Sang empu nama pun membalikkan tubuhnya. Kini matahari langsung mengenai punggung tegap miliknya. Dan dengan itu, Deva membeku di tempat. Ia memandangi pahatan sempurna pada setiap garis wajah milik pemuda di hadapannya. Pemuda itu tersenyum kecil.
“Gausah liatin segitunya kali, nanti naksir.” Mendengar seruan penuh percaya diri milik pemuda itu, Deva memutar bola matanya malas. “Bercanda. Panggil Arsen aja. Gue biasa dipanggil Arsen. And then lo?”
Deva mengangkat nametag miliknya. “Panggil gue Deva aja.”
Arsen mengangguk, seulas senyum ia lontarkan pada pemuda yang baru ia kenal. “Namanya cantik.”
Dengan itu, jantung Deva bertalu tiga kali lipat lebih cepat dari biasanya. Deva merutuki dirinya sendiri, dengan mudah tersipu dengan kalimat pujian dari pria tengil dihadapannya.
“Buaya.” Balasnya kesal.
Sang lawan bicara hanya terkekeh pelan, jemarinya terulur untuk mengusak rambut coklat milik Deva. Lagi, hati Deva berdesir. Perasaan aneh itu tumbuh di relung hatinya. Merasa canggung, Deva berusaha mencairkan suasana.
“Lo kan tadi di barisan sana, kenapa pindah kesini deh? Disana lebih adem?”
Arsen mengendikkan bahunya, sebelum menjawab ucapan Deva. “Tadi gue lagi liatin sekitar. Terus gue liat lo kepanasan. Pantes aja sih mataharinya langsung ngarah ke lo. Mukanya juga udah merah banget kayak tomat rebus. Jadi yaudah, gue halangin aja. Kasian lagi, nanti muka lo makin kaya tomat yang siap dimakan tuh.”
Deva bingung, antara harus kesal, marah, malu, atau tersipu karena Arsen memperhatikannya bahkan mengorbankan dirinya sendiri menutupi jalur terik matahari untuk mengenai tubuh Deva.
Namun Deva memilih opsi kedua. “Tomat rebus apaan sih?! Gajelas banget.”
Arsen terkekeh saja mendengar penuturan Deva, belum sempat Arsen kembali melontarkan kalimat lainnya—yang mungkin mampu memicu degup jantung Deva bertalu lebih cepat dari ini. Suara lantang panitia ospek kembali menginterupsinya. Akhirnya setiap anak kembali ke barisannya masing-masing. Menyisakan Deva dengan kupu-kupu yang bertebaran di perutnya.
Hari itu, dua puluh agustus 2019, Cashel Devandra Qavi jatuh cinta sendirian pada sosok pemuda tengil dengan nama Lester Arsenio Ivander. Percakapan yang tidak selesai itu terhenti. Hari itu, sepulang dari ospek hari pertama yang melelahkan, Deva pulang dengan satu nama yang telah mengisi relung hatinya. Perasaan Lelah itu hilang, pikirannya terasa penuh dengan figur wajah Lester Arsenio Ivander.