02 : COINCIDENCE
27 Agustus 2019 : Ospek Jurusan
Deva menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali Deva berusaha untuk memesan ojek online melalui aplikasi, namun selalu saja dibatalkan sepihak oleh drivernya sesaat setelah menerima pesanan. Waktu telah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit, namun tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu driver akan menerima pesanannya.
“Anjinglah.” Umpatnya kesal.
Belum selesai rasa kesalnya pada aplikasi online berwarna hijau itu, kini Deva kembali dibuat kesal saat sebuah motor melaju dengan cepat hingga menyipratkan air yang menggenang di atas kubangan kearah Deva. Kemeja putih Deva kini telah basah oleh cipratan air tersebut. Deva mengumpat kesal.
“WOI KALO NYETIR LIAT-LIAT DONG!!!” Teriaknya dengan kesal. Namun tentu saja sang pengendara motor tak mengindahkannya.
Deva melempar kerikil di dekatnya. Ia menggeram kesal, dalam hati rasanya ingin menangis. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang. Hingga sebuah motor CBR berwarna merah berhenti tepat di depannya. Deva yang sudah dilanda amarah yang meletup-letup hendak melayangkan protes.
“Apa lagi sih ini?!” Batinnya kesal.
Si pengendara motor menaikkan kaca helm full face miliknya. Dari matanya, Deva hafal betul siapa pemilik motor itu. Itu Arsen, pemuda yang belakangan ini telah menarik atensi Deva bahkan sejak pertama kali eksistensinya terlihat di penglihatan Deva.
“Buruan naik, udah telat.” Sejujurnya Deva bingung, namun karena dipacu oleh waktu, ia tidak banyak bertanya. Tanpa babibu, Deva segera menaiki motor milik Arsen.
Arsen melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Jantung Deva rasanya ingin lepas. Dalam hati Deva merapalkan doa serta permintaan maaf pada anggota keluarganya jika ajal akan menjemputnya hari ini. Tanpa sadar, tangan Deva telah melingkar sempurna pada perut Arsen. Deva mengeratkan pelukannya. Arsen pun tidak banyak berkomentar, ia tidak menolak maupun bertanya.
Tujuh menit berlalu, akhirnya motor CBR milik Arsen terparkir sempurna di halaman parkir universitas tempat keduanya akan menimba ilmu. Belum sempat Deva melayangkan protes, jemarinya telah digenggam oleh Arsen. Setelahnya Arsen menariknya untuk memasuki kampus menuju kamar mandi terdekat. Tentu saja Deva kebingungan.
“Sen! Ngapain kesini?! Kita udah telat banget ayo kelapangan!!” Deva berujar dengan panik. Deva melupakan baju putihnya yang kini dihiasi oleh noda bekas genangan air tadi.
Arsen tak banyak berkomentar, ia segera membuka tas ransel miliknya lalu menyerahkan sebuah kemeja putih. Jemari Arsen terulur untuk menyerahkan kemeja putih itu ke arah Deva. Deva diam seribu bahasa, ia menatap netra legam milik Arsen. Melihat Deva tak merespon, Arsen segera meraih pergelangan tangan Deva untuk menerima kemeja miliknya.
“Ini cepetan ganti. Kita udah terlambat. Nanti makin berat hukumannya.” Tutur Arsen. Deva mengerjapkan matanya berkali-kali, ia masih berusaha memproses kejadian dihadapannya.
Arsen pun terkekeh, setelahnya ia membalikkan tubuh Deva lalu mendorongnya pelan menuju bilik kamar mandi untuk segera mengganti kemejanya. Mendapat perlakuan seperti itu, akhirnya Deva kembali tersadar dari lamunannya dan bergegas mengganti kemejanya.
Deva melangkahkan kakinya dengan ragu, sepanjang jalan ia terus merundukkan kepalanya. Lain hal dengan Arsen, ia setia menegakkan kepalanya. Kini keduanya telah memasuki lapangan, tentu kedatangan mereka menyulut amarah panitia ospek hari ini, terutama Komdis. Deva sudah membayangkan serentetan hukuman serta berapa poin yang akan dikurangi padanya. Ia hanya dapat meringis dan pasrah saja jika nanti ia terpaksa tidak lulus ospek tahun ini.
“Tegakkin badan kamu! Memangnya lantai lebih baik dari saya?!”
Dalam satu hentakkan Deva menegakkan kepalanya. Netranya dapat melihat raut tidak suka dari ketua komdis. Ketua komdis itu pun bersuara dengan lantang.
“Kemarin saya bilang apa soal keterlambatan?!” “Tidak boleh ada yang terlambat atau poin seluruh peserta orientasi mahasiswa baru akan dikurangi, kak!” Sahut seluruh mahasiswa. “Kalian berdua dengar?” “Dengar kak.” Kali ini Arsen yang berucap dengan lantang. “Kamu yang disebelahnya, dengar tidak?!” “Dengar kak!” “Sekarang sebagai hukumannya, seluruh mahasiswa akan saya kurangi poinnya, setuju?!”
Hening. Deva meremat kuat-kuat celana hitam miliknya. Jemarinya kini telah berkeringat dingin, matanya mulai memanas. Perasaan bersalah disertai perasaan terpojokkan hinggap dalam diri Deva. Tangannya sudah bergetar hebat, diikuti kakinya.
“Tidak setuju kak! Karena ini kelalaian yang saya dan Deva lakukan, kami bersedia untuk menanggung hukuman atas perbuatan kami, kak.” Arsen berujar dengan tegas “Loh? Kalian ini kan satu! Ingat itu! Mana solidaritas kalian sebagai teman satu angkatan?!”
Suasana kembali hening, masing-masing mahasiswa tampak merunduk takut. Semua telah pasrah akan hukuman yang mungkin saja akan mereka jalani.
“Mohon maaf kak atas keterlambatan kami. Kami bersedia menanggung hukuman serta pengurangan poin kami.” Arsen kembali menjawab. “Saya lihat-lihat dari kemarin kamu berani juga, ya?” Ketua komdis itu tampak menghampiri Arsen. Deva hanya tertunduk, tidak berani melakukan apa-apa. “Baik atas permintaan kamu, kamu dan Deva lari mengelilingi lapangan sebanyak tiga puluh kali sambil menyanyikan mars kampus kita tercinta. Sudah hafal kan?!” “Hafal kak!”
Arsen melirik Deva, memberikan senyuman terbaik miliknya seolah menenangkan Deva. Arsen dan Deva mulai berlari berkeliling lapangan dihadapan mahasiswa baru lainnya.
“Wow anak Fakultas Seni Rupa dan Design tahun ini ternyata sangat apatis ya. Lihat temannya berlari malah asik nonton, iya? Solid sekali ya.”
Suasana lagi-lagi hening, hingga sebuah suara berteriak dengan lantang.
“Interupsi kak. Kami ini satu, jadi saya rasa sangat tidak adil jika hanya Arsen dan Deva saja yang dihukum.” “Siapa nama kamu?” “Jupiter Arlo Dharmendra, kak.” “Baik kalau begitu, silahkan ikutin kedua teman kamu.”
Jupiter melangkah dan mulai berlari di belakang Arsen dan Deva. Namun ternyata Jupiter tidak sendirian, dibelakangnya seorang pria dengan tubuh tegap dan paras yang tak kalah menawan ikut berlari dibelakangnya.
Pada awalnya mereka hanya berempat, lalu lambat laun menjadi bersepuluh, hingga akhirnya setengah dari jumlah mahasiswa baru telah ikut berlari menemani Arsen dan Deva. Rasa takut dan rasa bersalah yang Deva rasakan perlahan terkikis akan hadirnya teman-temannya.
“Oke, BERHENTI!” Dengan itu semua peserta orientasi mahasiswa baru yang sedang berlari, mulai berhenti. “Kembali ke barisan kalian masing-masing!”
Dengan kelabakan seluruh calon mahasiswa baru kembali ke barisan masing-masing dan berbaris dengan tertib. Acara ospek jurusan pun berlangsung, pengecekan barang-barang yang telah dilakukan, kembali dilakukan.
Deva menatap punggung tegap yang berdiri tepat di depannya. Jika Arsen tidak menemaninya, ia tidak tahu akan jadi apa dirinya tadi. Sungguh, Arsenio dengan sejuta kejutannya membuat dada Deva kembali berdesir. Detik itu, Deva semakin menjatuhkan hatinya pada sesosok pria yang kini tengah berdiri tegap di depannya. Cerita kisah romansa Lester Arsenio Ivander dengan Cashel Devandra Qavi pun dimulai.