[1] : Ciggarettes, Coffee, and You.
1003 words warn : mentioned of ciggarettes and some of family issue, self harm, anxiety. every day i look forward to meeting you, looking at you, and talking to you. but it wasn't a meeting like this that i expected.
Kincring
Suara lonceng terdengar, di coffee shop ini memang terdapat sebuah lonceng yang berada tepat di depan pintu. Jadi ketika pengunjung yang lain datang, semua pengunjung coffe shop tersbut dapat mengetahuinya. Hari itu Al beserta teman-temannya mengunjungi tempat yang biasa mereka datangi ketika senggang. Coffee shop milik Neo University menjadi pilihan mereka.
Coffee shop ini berada di dekat fakultas Kedokteran. Jarak antara gedung asrama menuju coffee shop ini cukup jauh. Sehingga kelima sekawan tersebut memilih menggunakan kendaraan roda dua milik mereka.
Waktu telah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Mereka telah berada di sana kurang lebih satu jam. Genta sengaja memesan tempat di smoking area karena mereka ingin menghabiskan beberapa batang rokok terlebih dahulu, sebelum kembali ke asrama.
Kelima anak tersebut kini sedang terfokus pada ponsel mereka masing-masing. Mengumpat dan menyerukan satu sama lain ketika permainan mereka tidak memuaskan.
“Lu sih kok gak lindungin gua?”
“Lah kan gua bilang jangan disitu. Lo nya aja gabisa main.”
“Anjir gara-gara lu nih kalah.”
“Berisik elah game doang. Gak ada yang salah udah. Diem atau mulut lu pada gua lakban satu-satu.” Perdebatan yang dilakukan oleh Cakra, Genta, dan Harsa terhenti begitu saja ketik Rendy bersuara untuk menengahi. Pasalnya Rendy sudah sangat jengah dengan sifat kekanakan mereka. Padahal mereka akan memasuki tahun kedua sebagai mahasiswa teknik sipil.
Dret
Suara deret kursi tampak menginterupsi kegiatan keempat lelaki tampan di hadapan Al. Atensi keempat lelaki di hadapannya mengarah kepadanya, menatap Al dengan sorot mata bertanya-tanya. Al tampak beranjak dari tempatnya. Paham dengan tatapan penuh tanya dari sahabatnya itu, Al pun memberikan alasan.
“Gue mau ke toilet dulu.” Keempat lelaki itu mengangguk dan kembali pada aktivitas mereka masing-masing yakni pusrank game yang sempat tertunda karena suara tersebut.
Al berjalan dengan santai menyusuri meja demi meja sampai dirinya berada di dekat kamar mandi pria di coffee shop tersebut. Saat dirinya hendak memasuki kamar mandi, telinga menangkap suara perdebatan seseorang. Al sangat hafal di luar kepala siapa pemilik suara tersebut.
Elvino Nathanael.
“Ma, mama gabisa gitu dong? Ya mama pikir aku disini ngapain?”
“Apaan sih ma? Terus gimana?”
“Ya aku gak ada kalo sekarang, ma.”
“Lah? Minta papa? Mana bisa? Mama gabisa seenaknya kaya gitu.” Panggilan terputus secara sepihak. El tampak menghela nafas lelah. Ia menengadahkan wajahnya guna menahan laju air mata yang siap terjun bebas kapan saja dari mata indahnya.
Al yang semula ingin ke kamar mandi pun, melupakan niatnya. Ia segera menghampiri El, sang pujaan hati. Al menarik pergelangan tangan El dengan lembut, membawanya pergi sejauh mungkin dari tempat itu. El yang semula ingin memberontak, mengurungkan niatnya. Ia melihat tubuh tegap yang selama setahun belakangan menghiasi pikirannya.
El merutuki semesta, mengapa semesta mempertemukannya dengan cara seperti ini. Sungguh rasanya El sangat malu sekarang.
Play this song while you read this chapter
“Nih.” Al tampak menyodorkan satu cup eskrim tepat di hadapan El. El mengerutkan alisnya bingung. Al pun hanya tersenyum kecil, menarik pelan tangan El agar menerima es krim yang telah ia beli.
Kini mereka telah berada di taman kampus, salah satu taman yang jarang dikunjungi mahasiswa lain. Taman itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka. Taman ini berada tidak jauh dari Fakultas Seni Rupa dan Design.
“Kalau mau nangis gapapa. It's okay to cry, right? Jangan ditahan. Semua orang punya limitnya masing-masing.” Al memulai pembincaraan di tengah keheningan keduanya.
“And I'm sorry for whatever you've been going through. Also, sorry tadi gue gak sengaja denger.” El mengangguk dengan senyum getir. Al sama sekali tak menatapnya, memberi El ruang untuk jujur dengan perasaannya sendiri.
Perlahan perkataan-perkataan sang ibu di telephone tadi kembali berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Perkataan-perkataan menusuk, mulai dari hinaan, cacian, bahkan kalimat kasar yang tak seharusnya seorang ibu perkatakan kepada anaknya. Pertahanan El runtuh saat itu juga. El menangis dalam diam. Es krim yang berada pada genggamannya pun telah mencair. El larut dalam rasa sedih yang selama ini ia simpan seorang diri.
Jemari lentik El terulur, ia menggoreskan kuku-kuku tajamnya pada kulit putih susu miliknya. Goresan-goresan yang diberikan oleh kuku-kuku tajam milik El menyisakan bekas kemerahan di lengan kiri El. Tangisan yang semula kecil menjadi isakan-isakan yang menyayat hati. Siapapun yang mendengarnya akan ikut merasakan sakit dan penderitaan yang El rasakan.
Dengan sigap Al segera melepaskan jemari El yang tengah menggoreskan kukunya pada lengan kirinya. Ia segera membawa El kedalam pelukannya. Melontarkan kalimat-kalimat penenang kepada sang pujaan hati.
“Hey, it's okay I'm here okay. Jangan diterusin. Gapapa nangis sebanyak yang kamu mau, but please don't hurt yourself.“
Kata-kata Al seperti sihir. Perlahan El melingkarkan tangannya pada pinggang Al, menenggelamkan wajahnya pada dada Al dengan tangis yang semakin terasa memilukan. Al hanya dapat mengusap rambut hingga punggung El bergantian dengan gerakan teratur. Sesekali ia mengecup pundak El untuk sedikit memberikan El ketenangan.
Entah berapa lama mereka berada di posisi yang sama. Selang beberapa saat, El tampak merenggangkan pelukannya. Ditatapnya baju Al yang basah oleh air matanya. Perasaan bersalah pun menghinggapinya.
“Al.. maaf, baju lo jadi basah..” Al hanya terkekeh kecil. Ia mendaratkan tangannya di kepala El dan mengusapnya pelan. “No problem. I also can share my shoulder every time you need it.” Senyum bulan sabit itu terpantri di wajah Al. El hanya terdiam membeku, memandangi pahatan sempurna yang ada di hadapannya.
“Udah malem, bentar lagi jam malemnya abis. Yuk, balik?” Al menuntun El untuk berdiri. Ia melepaskan jaketnya dan memakaikannya di tubuh El.
“Dingin, nanti lo masuk angin. Jadi pake aja. Lo kamar berapa? Gedungnya sama gak sih?” El terdiam beberapa saat, dirinya masih memproses apa yang terjadi padanya hari ini.
“Hey?” Jentikan jari Al menginterupsi lamunannya. El merasakan pipinya memerah, ia merasa sangat malu. “Eh, emm— beneran gapapa jaketnya gue pake? Aduh gapapa deh gausah.” El merasa sangat tidak enak, tangannya bergerak hendak melepaskan jaket milik Al tersebut. Al menahannya, menggenggam tangannya sambil menggelengkan kepalanya tegas.
El paham betul dengan ekspresi itu. Ekspresi yang menyiratkan bahwa dirinya tidak menerima penolakan.
“O-okey.. em, gue di Gedung B kamar 113.” Al tampak mengganggukkan kepalanya. Ia menggenggam jemari halus milik El dan menuntunnya menuju tempat ia memarkirkan motornya. Ia bergegas melajukan motornya ke gedung asrama milik El dan dirinya.
Al.