[1] Listen Before I Go

tw : suicide , suicidal thought , anxiety. this part may triggered some of you. Please be carefull. Read by your own risk.


Baskara telah terbit dari timur, menghantarkan Nathan kembali kepada realita. Realita pahit yang harus ia jalani setiap harinya. Ia menggenggam erat surai hitam legam miliknya lantas menariknya sekuat tenaga. Ia berusaha menghalau teriakan-teriakan yang bersarang di kepalanya.

Nathan membawa tubuhnya berdiri, ia bercermin disana. Ia melihat perawakannya pada cermin di hadapannya. Kantung matanya yang berwarna kehitaman, bibir yang kering dan pucat, tubuh ringkihnya yang dibalut oleh kaus berwarna putih, lengannya yang dipenuhi bekas sayatan-sayatan yang masih baru, meninggalkan luka yang cukup dalam. Nathan meringis, melihat betapa hancurnya dirinya kini, dalam hati menertawakan perjalanan hidupnya yang sarat akan rasa sakit. Sungguh sangat mengenaskan.

Isi kepalanya kembali bersahut-sahutan. Mengatakan seuntaian kata tidak pantas disana.

Dasar jelek. Bodoh, Nathan bodoh. Nathan tidak pantas hidup. Semua orang akan pergi meninggalkanmu Dasar pria lemah Kamu seharusnya mati saja.

Teriakan-teriakan itu terus bersahut-sahutan. Nathan kembali meremat surainya sekuat tenaga, memukul kepalanya sekeras yang ia bisa. Teriakan cemooh itu terus terdengar disana.

Dengan sisa tenaga yang ada, Nathan mengambil kotak obat di atas nakas. Ia mengambil beberapa pil obat, melebihi dosis yang seharusnya. Lalu segera meneguk air putig yang selalu tersedia di nakas.

Teriakan-teriakan itu berangsur menghilang. Nathan menyandarkan tubuhnya pada dinding berwarna putih tulang tersebut, ia berusaha menstabilkan emosi yang ada pada dirinya. Dadanya bergerak naik turun dengan tempo acak. Ia meremat dadanya sebentar, merasakan ngilu bersarang di dadanya. Nathan memejamkan matanya, menjemput alam mimpi, ia lelah setelah berperang dengan dirinya sendiri hari ini. Atau mungkin jika diizinkan, ia ingin kedua netranya tidak lagi dapat menatap alam semesta.


04.00 PM

Nathan kembali terbangun dari tidurnya, masih dengan posisi yang sama, bersandar pada dinding berwarna putih tulang di kamarnya. Badannya terasa sedikit sakit, ia ingin segera mandi sekarang.

Perasaannya tidak berangsur membaik, teriakan-teriakan itu kembali terdengar bersahut-sahutan. Nathan menggeleng ribut. Sungguh, sungguh ia tidak tahan lagi. Rasanya dirinya berada di ujung jurang, ia sudah lelah. Ia lelah untuk berjuang di dunia yang fana ini.

Jeremy, maaf. Maafkan aku. Tolong berbahagia, meski tanpa hadirnya aku disisimu.

Dengan itu Nathan segera meraih ponselnya, mengetik beberapa pesan kepada semestanya.

Berharap Jeremy akan datang sama seperti hari-hari sebelumnya. Mengembalikannya pada kenyataan bahwa dunia tidak se jahat itu. Dunia masih berpihak padanya.

Tapi, nihil. Yang Nathan dapatkan adalah sebuah penolakan.

“Maafkan aku Jeremy.”

Nathan kembali meraih ponselnya sebentar, menulis sesuatu disana. Lalu ia menaruh kembali ponselnya dan bergegas ke kamar mandi. Ia menyalakan keran air dan mengisi bathup hingga penuh. Lalu ia merendamkan tubuhnya ke dalam bathup berusaha menampik segala pikiran buruk di kepalanya. Teriakan-teriakan itu terus bersahutan disana. Dadanya kembali bergemuruh, kepalanya sakit luar biasa.

Hari itu, Nathanael Athala menyerah pada dunia.