[2] Listen Before I Go
tw : suicide , suicidal thought , anxiety. this part may triggered some of you. Please be carefull. Read by your own risk.
Jeremy melajukan motornya membelah jalanan Jakarta di sore hari sesaat setelah dirinya melihat postingan kekasihnya, Nathan beberapa saat yang lalu. Jantungnya bertalu dengan cepat, ia diliputi oleh perasaan cemas tak berujung.
Dalam hati ia merapalkan doa, semoga kekasihnya masih memilih bertahan bersamanya. Ia memandang jalanan yang sedikit macet sore itu. Ia merutuki setiap orang yang menghalanginya jalannya. Jeremy melesatkan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat beberapa orang tampak berteriak disertai klakson yang saling bersahutan.
Jeremy terus merapalkan doa dalam hati. Harapan akan keadaan Nathan. Hatinya gelisah, Jeremy benar-benar menyesal menolak permintaan Nathan sore tadi. Berbagai perkataan 'seandainya' bermunculan dalam benaknya seperti kaset rusak.
“Sayang kumohon tetap bertahan disini. Kumohon jangan menyerah.” Jeremy berteriak frustasi dalam hatinya.
Kini dirinya telah sampai di depan rumah minimalis milik kekasihnya. Rumah yang didominasi oleh warna putih tulang itu tampak sepi. Jeremy bergegas berlari kedalam sesaat setelah dirinya memarkir asal motor miliknya.
Ia menaiki satu persatu anak tangga dengan langkah lebar. Ia berlari secepat yang ia bisa, bahkan nyaris saja terjatuh. Namun ia tak menghiraukannya. Netranya tertuju pada sebuah pintu berwarna coklat tua dengan tulisan “Nathan's room” di depannya.
Jeremy segera membuka pintu kamar itu tak sabaran. Netranya menatap ke seluruh penjuru ruangan.
Kosong.
Jeremy mendesah frustasi. Ia melihat botol obat milik kekasihnya yang tampak berserakan. Netranya terarah pada pintu kamar mandi.
Pikirannya kalut, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia sangat takut akan kemungkinan-kemungkinan yang kini bersarang di kepalanya.
Jeremy membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Jemarinya bergetar hebat, nafasnya naik turun dengan tempo acak serta dadanya yang berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.
Begitu Jeremy membuka pintu kamar mandi itu dengan sempurna, nafasnya tercekat, jantungnya terasa berhenti berdetak. Tungkainya terasa tak mampu menopang bobot tubuhnya. Jeremy jatuh berlutut, menatap kekasihnya yang tubuhnya sudah tidak lagi bernyawa. Berada dibawah balutan air di dalam bathup miliknya.
Dunia Jeremy hancur detik itu juga. Jeremy berjalan merangkak, tidak perduli dengan celananya yang basah. Air matanya telah meluruh tanpa permisi. Berlomba-lomba untuk jatuh. Isakan terdengar dari bibir ranum Jeremy, hatinya berdenyut nyeri. Kekasihnya, dengan bibir yang sudah membiru di dalam bath up sana. Jeremy segera mengangkat tubuh Nathan, membawanya ke dalam pelukannya, merengkuh tubuh itu seerat yang ia bisa.
“Nggak.. hey, cantik. Sayangnya Jeremy, kamu lagi becanda kan? Bangun ayo. Bangun Nath. Gak lucu ah becandanya.” Air mata Jeremy terus meluruh tanpa henti.
Jeremy masih berusaha, ia menekan dada Nathan lalu meniupkan nafas buatan disana. Berkali-kali ia mencoba sekuat tenaga. Menggoyangkan tubuh Nathan kembali setelahnya. Namun hasilnya tetap sama.
Tubuh itu terdiam kaku tanpa pergerakan sedikitpun.
Ingatan Jeremy kembali kepada beberapa hari yang lalu, mengenai pertanyaan Nathan. Saat itu ia bertanya bagaimana jika dirinya menghilang. Yang Jeremy tahu menghilang yang harus dicari, jika menghilang seperti ini, kemana Jeremy harus mencarinya?
“Nathan, sayang.. aku berjanji akan mencarimu kemana saja. Bahkan hingga ujung dunia sekalipun. Tetapi jika begini, aku harus mencarimu kemana hm?” Jeremy mengusap kulit Nathan yang telah membiru. Ia kembali merengkuh tubuh itu untuk terakhir kali. Berharap Tuhan masih berbaik hati dengannya dan mengembalikan sang kekasih ke dalam pelukannya.
Tetapi itu hanyalah angan-angan belaka. Nyatanya, semesta merenggut paksa harta paling berharga dari Jeremy.
Nathanael Athala akan selalu menjadi luka sekaligus memori terindah yang pernah hadir dalam hidup Jeremy.