4 : Terlambat
Aidan menghela nafas panjang sesaat setelah dirinya tidak mendapat respon apapun baik pada telefon ataupun pesan-pesan yang telah ia kirimkan ke pemuda di sebrang sana. Tanpa pikir panjang, Aidan bergegas mambawa tungkainya menuruni satu persatu anak tangga untuk menghampiri pemuda yang telah menjadi sebagian dari hidupnya sejak keduanya dilahirnya.
Detingan garpu dan sendok menjadi sambutan tat kala tungkai sang adam telah sampai pada anak tangga terakhir. Sang ibu, Kezia, menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran putra keduanya itu.
“Pagi A' Ai. Yuk sini makan dulu. Abangnya tadi baru aja berangkat.” Sapa seorang wanita yang kini usianya tidak lagi muda, namun tetap terlihat cantik.
Garis-garis halus di wajah sang ibunda menjadi penanda bahwa usianya tidak lagi muda. Meski demikian, tidak melunturkan kecantikan dari wanita itu. Aidan tersenyum menanggapi sang ibunda, lalu ia menggeleng sebagai jawaban.
“Enggak deh, mi. Aku mau langsung berangkat aja. Takut telat, soalnya ini kayaknya Rara belum bangun deh?”
Sang ibunda menepuk keningnya pelan, melupakan fakta bahwa pemuda yang sudah dianggapnya anak sendiri itu kini tengah di rumah sendirian. Pasalnya, Rena sempat berpesan padanya untuk menitipkan Raskal dan Julian, karena Rena dan sang suami, Arga harus pergi ke Semarang untuk mengurus salah satu cabang bisnis baru yang akan dibuka oleh perusahaan yang Arga naungi dalam waktu dekat.
“Astaga, mami lupa deh harusnya ke sebelah ngurusin Rara sama Ian. Besok suruh Rara nginep sini aja ya, A? Soalnya kan dia agak susah dibangunin gitu, nanti telat lagi.” Aidan hanya mengangguk, tidak membantah karena apa yang sang ibunda katakan benar adanya.
“Yaudah mi, Aa' pamit berangkat dulu ya. Bilangin papi hati-hati anter adek ke sekolahnya.” Aidan pun datang menghampiri sang ibunda lalu mengecup puncak kepala ibundanya sebelum bergegas keluar untuk menghampiri tetangganya, tak lain dan tak bukan adalah Rara, pemuda yang telah menjadi temannya bertumbuk dan berkembang sejak keduanya lahir ke dunia.
Aidan memarkirkan motor miliknya di depan rumah dengan gaya classic Europe, milik kediaman keluarga Arga. Dengan tergesa ia langkahkan tungkainya memasuki rumah minimalis yang didominasi cat berwarna putih tulang itu. Aidan sudah hafal setiap tata letak ruangan di rumah ini diluar kepalanya. Ia langkahkan tungkainya untuk menaiki setiap anak tangga dengan tergesa, hingga netranya dapat menangkap sebuah pintu bercat putih dengan tulisan 'Ra's room' didepannya. Tanpa pikir panjang Aidan segera membuka kenop pintu itu. Matanya membola sempurna saat didapati sang sahabat kecilnya masih bergelung dengan nyaman dibalik selimut.
Aidan mengangkat tangannya guna melihat arloji yang melingkar dengan indah di pergelangan tangan kirinya.
Pukul 07.00
Aidan pun bergegas membangunkan sahabatnya itu dengan menggoyangkan badannya sedikit brutal.
“Woi Ra, bangun anjir. Kita telat.” Tidak ada sahutan dari yang bersangkutan. Raskal justru semakin mengeratkan selimutnya, tanpa memperdulikan guncangan yang telah dilakukan oleh Aidan.
Segala jenis cara telah Aidan lakukan, waktu bahkan telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Merasa kehabisan akal, Aidan bergegas mengambil segelas air yang memang selalu Raskal sediakan, di atas nakas miliknya. Tanpa berpikir panjang, Aidan segera menyiramkan air tersebut ke wajah Raskal yang masih pulas dalam bunga tidurnya.
Dinginnya air menusuk kulit milik Raskal. Refleks, Raskal langsung terduduk karena kaget. Ia ingin melayangkan protes, sesaat sebelum dilihatnya sang sahabat, Aidan, sudah duduk dengan tangan bersila di depan dada. Aidan tampak berkali-kali lipat lebih menyeramkan dalam penampilan seperti ini. Aidan bahkak sudah sangat rapih sekarang.
Raskal hanya dapat menunjukkan cengiran khasnya saat mendapati wajah tak bersahabat milik Aidan, “Hehe.. A' Ai udah disini aja ya hehe.”
Selalu saja, Raskal akan menggunakan embel-embel A' Ai setiap kali dirinya melakukan kesalahan atau membuat sang adam merasa kesal.
“Gua tunggu 10 menit. Lebih sedikit, gua tinggal.” Aidan berkata dengan tegas.
Raskal langsung bangkit dari tidurnya dan bergegas ke kamar mandi beserta seragam miliknya yang untungnya telah ia siapkan sejak semalam.
Hanya butuh 7 menit bagi Raskal untuk selesai bersiap-siap. Aidan harus mengapresiasinya akan hal ini, karena jujur ini adalah rekor bersiap-siap tercepatnya. Aidan bergegas turun bersama Raskal dengan tergesa. Di bawah sudah ada Bi Yuna yang tengah membersihkan rumahnya. Bi Yuna memang akan selalu datang pagi sekitar pukul 7 lalu kembali pulang pada sore hari, yakni sekitar pukul 4 atau 5 sore.
“Bi Yuna, Aidan sama Raskal berangkat dulu ya! Dadah bibi!” Raskal berpamitan sambil mengenakan sepatunya dengan sedikit asal-asalan. Aidan hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah ajaib sahabatnya itu.
“Bi, kita berangkat ya.” Aidan ikut berpamitan.
Sang bibi pun tersenyum penuh arti, “hati-hati ya, den.” Aidan mengacungkan jempolnya tanda mengerti.
Aidan melajukan motor miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia berusaha mengejar waktu dan berharap keduanya bisa sampai tepat pada waktunya. Melihat cara menyetir Aidan yang ugal-ugalan itu membuat jantung Raskal berdegub kencang. Dalam hati ia berdoa, semoga dirinya masih diberikan Tuhan kesempatan untuk hidup. Tanpa sadar, jemari milik Raskal melingkar indah pada perut Aidan. Aidan tersenyum kecil di balik helm full face miliknya.
Keduanya sampai pada parkiran sekolah pukul 7 lebih 35 menit. Yang berarti upacara sudah dimulai sekitar 5 menit yang lalu. Dengan tergesa kedua anak adam itu berlari ke dalam. Namun sayang, karena telah terlambat, keduanya ditaruh di barisan khusus anak-anak yang terlambat juga tidak menggunakan atribut lengkap. Aidan tak banyak berkomentar, ia berdiri tepat di depan Raskal kini.
“Ai... maafin Ra ya... kita telat karena Ra telat bangun.” Cicit Raskal pelan, takut-takut suaranya terdengar oleh pengawas upacara.
Aidan tak menjawab, ia hanya berdehem sebagai jawaban. Raskal juga tidak banyak berkomentar. Ia kembali menundukkan kepalanya, ia merasa sangat bersalah kini.
“Gapapa, Ra.” Ucap Aidan pelan.
Raskal segera mengangkat kepalanya dan tersenyum sumringah. Aidan memang tidak dapat melihat senyum itu, tapi Aidan tahu persis sahabatnya akan menyunggingkan senyum setiap kali hal seperti ini terjadi. Aidan tersenyum kecil, kecil sekali, sampai-sampai orang tidak akan menyadarinya.
Upacara telah selesai sekitar 10 menit yang lalu. Beberapa anak yang terlambat diberikan hukuman untuk berjemur di lapangan hingga jam istrirahat berkumandang. Sedangkan, anak-anak dengan atribut tidak lengkap ditugaskan untuk membersihkan lapangan sepulang sekolah.
Dan disinilah Aidan beserta Raskal dan 3 teman lainnya yang keduanya tidak tahu siapa namanya. Mereka kini sedang berdiri menghadap bendera. Sinar matahari pagi itu terasa cukup menyengat kulit. Aidan sudah terbiasa untuk menjalani hukuman seperti ini, pun harus berdiri di bawah teriknya sinat matahari walau dengan perut kosong sekalipun. Namun, tidak dengan Raskal. Anak itu kini terlihat sedikit pucat. Hal itu tidak luput dari penglihatan Aidan.
Melihat itu Aidan segera berganti berdiri di hadapan Raskal, sehingga cahaya matahari yang hendak mengenai Raskal terhalang oleh tubuh tegap milik Aidan. Raskal menatap bahu lebat milik sahabatnya itu, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum indah disana.
Selalu saja, Aidan dan segala ke pekaannya akan melindungi Raskal. Hal sekecil ini lah yang membuat Raskal tidak sungkan untuk selalu bergantung pada Aidan.
Raskal merupakan anak pertama di keluarganya, tentu beban berat dipikul oleh Raskal. Walau tidak se seram beban yang dipikul kebanyakan orang, tetapi menjadi anak pertama tentu tetap berat. Raskal harus menjadi contoh, ia juga harus bisa bersikap lebih dewasa. Namun sosok Aidan lah yang selalu menjadi tempatnya bersandar. Raskal tidak perlu berupaya menjadi sosok yang sempurna. Karena Aidan akan selalu mengulurkan tangan dan membantu serta melindungi Raskal dalam hal apapun. Dan Raskal sangat bersyukur akan hal itu.
“Nanti istirahat langsung kantin ya, gue bayarin. Beli apa aja yang lu mau.” Suara bariton Aidan menyapu pendengaran Raskal.
Lagi, Raskal tersenyum tipis, “Beneran ya dibayarin? Gue boleh pilih makan apa aja? Gak nyesel? Gue porsi kuli loh.”
Aidan membalikkan tubuhnya, kini kedua mata onyx itu bertubrukan dengan sempurna dengan mata hazel milik Raskal.
“Emang pernah gue ingkarin omongan gue?” Raskal menggeleng sebagai jawaban.
Aidan tersenyum tipis, “Yaudah, pesen sebanyak apapun juga gapapa. Gak akan tiba-tiba jadi miskin juga.”
Raskal terkekeh dibuatnya, lalu ia mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya Aidan kembali berbalik ke depan, takut-takut ketahuan dan hukumannya ditambahkan. Mereka berdiam terus dalam posisi itu sampai jam istirahat pertama berkumandang.