[5] : Ayam geprek, es jeruk, nana, dan senja
1092 words tags : fluff ini kisah tentang senjanya Jeno ditemani oleh dua porsi ayam geprek dan dua gelas besar es jeruk beserta obrolan ringannya dengan si cantik, nabaskala.
Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit, dan jeno masih berada di parkiran salah satu mall di dekat kampusnya. Ia masih berusaha mencari parkiran yang kosong. Matanya mengedar mencari lahan yang kosong untuk dirinya memarkirkan mobil pajero putih miliknya. Sudah kurang lebih sepuluh menit ia berputar dan mencari parkiran yang kosong.
Salahkan kota jakarta yang selalu ramai terutama pada jam pulang sekolah seperti ini. Hari itu mall itu terlihat ramai, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mobil yang terparkir di parkiran mall itu. Jeno berdecak kesal, ia tidak ingin membuat Nana menunggu lebih lama.
Jeno meraih benda kotak tipis miliknya dan segera mengirimkan pesan kepada Nana, sahabatnya. Di depannya ia melihat akhirnya ada lahan parkir kosong untuk mobilnya. Jeno bersorak gembira dalam hati. Akhirnya penantiannya berakhir. Ia segera memarkirkan mobilnya lalu bergegas keluar mobil untuk segera turun menemui Nana.
Namun sayang, semesta sepertinya sedang mempermainkannya. Ia harus bertemu dengan dia, wanita yang mati-matian Jeno hindari.
“Loh, kak Jeno?”
Deg.
Jeno menggenggam erat kunci mobil yang ia pegang sekuat tenaga. Dalam hati, ia mengumpati semesta karena harus bertemu dengan wanita yang ingin ia lenyapkan dari dunia, jika ia bisa.
Sayangnya ia tak bisa.
“Oh iya, hai Greta? Ngapain disini?” Jeno berbasa-basi. Sejujurnya hati dan pikirannya menyuruhnya untuk segera melangkagkan kaki dari tempat itu, sebelum situasi semakin memburuk.
“Ya biasalah jalan-jalan sama mami. Papi abis beliin mobil baru tau hadiah ulang tahun aku. Sama ini juga nih, lucu kan ya.” Greta tampak menunjukkan lehernya yang dilingkari oleh sebuah kalung cantik disana. Jeno tau betul harga kalung itu tidaklah murah.
Dan Jeno paham betul, senyuman manis milik Greta hanyalah sebuah senyuman palsu untuk memamerkan padanya bahwa ayahnya— oh ralat, ayahnya Greta, telah memberinya banyak barang-barang baru, seolah Greta adalah anak kesayangan sang ayah dan dirinya tak lebih dari anak yang terhina dan terbuang.
“Bagus dong.” Jeno tampak merespon sekenanya. Ia segera kembali berjalan, tanpa melihat kebelakang lagi. Tanpa tahu bahwa Greta tampak menghentakkan kakinya kesal karena respon Jeno yang terlampau cuek.
Jeno marah? Sangat. Rasanya ia ingin memukul Greta saat itu juga. Jemarinya ia kepalkan kuat, memori buruk itu kembali menghampirinya. Memori bahagia serta penuh luka. Seperti permen karet yang berawal manis dan berakhir pahit. Tak ada euphoria rasa buah-buahan manis yang semula terasa di lidah. Hanya rasa manis yang semu.
Jeno melangkahkan kakinya perlahan. Pikirannya melalang buana entah kemana. Ia seharusnya berbahagia kini. Bukan memikirkan masa lalunya yang terlampau kelam. Kak Cia pasti akan memarahinya jika tau bahwa ia melamun seperti ini.
Ia kini tengah menaiki lift, menghantarkannya pada lantai 2, tempat dimana starbucks tersebut berada. Kilatan amarah yang tertahan disana masih tercetak jelas, atensinya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, ia mencari sosok lelaki manis yang tak lain adalah Nana.
“Jeno sini!” Nana tampak melambai-lambaikan tangannya. Jeno tersenyum kecil, ia melangkahkan kakinya ke arah pria manis itu. Dia sedang menyesap kopinya yang hampir tandas.
“Lo lama banget ah kaya putri solo.” Jeno hanya terkekeh melihat candaan yang terlontar dari bibir ranum sahabatnya.
Nana tidak bodoh untuk tidak memahami perubahan mood Jeno. Nana tahu betul dengan melihat kilatan menyala pada mata indah milik sahabatnya. Rahang sahabatnya yang tampak mengeras, luapan emosinya terlihat jelas disana. Amarah meletup-letup yang bersarang di dadanya, bersiap untuk meledak kapan saja. Tetapi Nana juga punya seribu satu cara untuk mengembalikan Jeno-nya ke sedia kala.
“Kangen ya lo?” Nana memutar matanya malas saat melihat raut percaya diri Jeno disertai senyum tengil yang menghiasi wajahnya. Mood Jeno yang semula hancur akibat pertemuan tak terduga dengan Greta— kini kembali membaik. Dalam hati, Nana bersyukur karena amarah sang adam telah melunak, digantikan oleh ekspresi tengil penuh percaya diri miliknya.
Biarlah Jeno nya menunjukkan ekspresi percaya dirinya sekarang. Setidaknya hal itu lebih baik dibandingkan dirinya harus melihat tatapan penuh amarah milik Jeno tadi.
Tawa canda yang terlontar dari belah bibir keduanya menghiasi perjalanan mereka mengitari mall yang cukup besar pada siang menjalang sore itu. Jeno telah menenteng beberapa paper bag yang sudah dipastikan milik Nana. Jeno hanya membeli parfum dan sebuah baju. Sedangkan Nana kini telah membelikan lima paper bag— ralat, enam, ditambah dengan yang baru saja ia bayar.
“Udah puas belanjanya?” Yang ditatap demikian hanya menunjukkan cengiran khasnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika Nana dan Jeno ke mall, maka Jeno akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemani Nana berbelanja.
Sejujurnya, Jeno tidak terlalu menyukai berkeliling dan berbelanja berjam-jam seperti ini. Tapi tatapan penuh harap milik Nana, mampu meruntuhkan ketidak sukaannya. Melihat senyuman merekah Nana adalah hal yang paling Jeno sukai. Bagaimana sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, sangat manis, cantik. Jeno suka itu.
Jeno teringat kembali akan janjinya semasa kecil kepada Nananya.
'Pokoknya Jeje mau jadi super heronya Nana! Mau lindungin Nana dari orang jahat! Nanti orang jahatnya Jeje pukul sampe jatoh!!'
Dan dia memegang janji itu, hingga sekarang. Melindungi Nana dari jahatnya manusia di bumi ini. Setidaknya itu yang Jeno percaya, di depan nanti tidak ada yang tahu akan bagaimana. Manusia hanya berencana, semesta yang bertindak.
“Jeno cepetan ih jalannya lama banget heran.” Omel Nana. Jeno hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat sikap Nana yang tidak sabaran. Keduanya telah keluar dari mall tersebut dan tengah berjalan di parkiran, dengan Nana memimpin di depan. Jeno akhirnya berlari kecio menyeimbangkan langkah Nana dan bergegas menaruh barang belanjaan mereka di jok belakang, lalu menyalakan mobil untuk bergegas ke restoran ayam geprek yang berada tak jauh dari mall tersebut.
“Mbak, ayam gepreknya satu level 5 ya, sama satu lagi ayam geprek level 7. Buat minumnya es jeruknya aja 2 ya.” Nana menyebutkan pesanan mereka.
Setibanya Jeno dan Nana di restoran ayam geprek tersebut, keduanya mencari tempat yang nyaman. Pilihan mereka jatuh pada pojok restoran dengan tempat duduk lesehan, tempat biasa dirinya dan Nana makan setiap kali pulang dari kampus.
Nana telah menyebutkan pesanannya. Seperti biasa, pesanan mereka selalu sama. Nana sudah hafal diluar kepala apa yang biasa mereka pesan di restoran ini. Situasi di restoran saat itu cukup lenggang, tidak terlalu banyak pengunjung.
Salah satu penyaji makanan pernah berkata, setiap kali menjelang senja, sering kali restoran ini tidak terlalu ramai. Dan akan kembali ramai kira-kira pukul 7 malam. Entah mengapa demikian, Nana pun tidak mengerti.
Setelah pesanan keduanya tiba, keduanya makan dengan khidmat. Di temani oleh matahari yang kembali ke peraduannya, dan langit yang perlahan menggelap, beserta dua porsi ayam geprek dan dua gelas es jeruk. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hening tercipta diantara keduanya.
“Langitnya cantik ya.” Suara Nana memecahkan keheningan diantara keduanya. Jenk tersenyum simpul. “Iya, kayak lo ya? Cantik.” Setelah kata itu terlontar, Nana segera mencubit lengan Jeno.
“ANJIR NANA LENGAN GUE JADI KOTOR. BERSIHIN GAK?!”
“OGAH!! MAKANYA JADI ORANG JANGAN NYEBELIN DEH. MAMPUS KAN LU.”