Amory dengan sejuta gundahnya

tw // sexual harassment, fight, alcohol.

Hari itu adalah akhir pekan, dimana pada umumnya orang-orang akan memilih untuk menghabiskan waktu bersama sahabat, keluarga, atau bahkan kekasihnya. Namun hal itu tidak terjadi pada Amory. Amory dengan sejuta tanggung jawab yang harus ia emban, memilih untuk menghabiskan akhir pekannya di sebuah club malam.

Jika sebagian orang datang ke club untuk melepas penat, maka hal itu tidak terjadi pada Amory. Kalau boleh jujur, tempat ini adalah tempat yang paling Amory hindari. Amory akan lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan dibandingkan di ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang yang mencari ketenangan dalam bisingnya malam. Namun, Amory terpaksa mengambil pekerjaan ini. Amory sangat membutuhkan uang saat ini.

Setiap malam sehabis pulang dari bar, Amory akan berdiam diri dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia akan menganggap bahwa dirinya hina dan kotor karena pria-pria hidung belang yang entah siapa itu tidak jarang menyentuh tubuhnya. Dari yang paling halus hingga yang sangat kasar.

Amory memang diberkahi dengan paras yang cantik nan elok bak dewa. Laki-laki dan perempuan akan jatuh hati dalam sekali tatap pada pesonanya. Kulitnya putih, seputih susu, bibir berwarna merah muda dengan pinggang yang ramping. Sungguh kombinasi yang sangat sempurna untuk ukuran seorang laki-laki.

Lagi, Amory bukan tidak bersyukur dengan berkat yang Tuhan berikan padanya. Ia hanya menyayangkan, hal yang seharusnya ia syukuri justru menjadi salah satu memori kelam untuknya. Jika boleh dibilang, Amory benci perawakan tubuhnya yang sempurna. Ia benci ketika seseorang mendamba tubuhnya dengan penuh minat. Ia membenci tatapan-tatapan penuh puja pada ceruk leher, dada, maupun pinggangnya.

Amory benci setiap lekuk tubuhnya.

“Nares udah siap belum? Kalau udah nanti langsung aja jaga di sana terus suguhin minuman ke pria-pria di pojok sana. Mereka nunggu kamu loh,” ucap salah satu teman kerja Amory, Julia namanya. Tak lupa Julia mengedipkan sebelah matanya berniat menggoda Amory. Amory hanya tertawa kecil sebagai respon. Walau kini suasana hatinya berbandinv terbalik dengan perawakan manis yang ia pertontonkan pada orang-orang.

“Oke siap Jul! Thank you ya!” Amory membalasnya dengan riang, kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan tipis, manis sekali.

Julia tidak pernah tahu, di bawah sana kaki dan jemari Amory bergetar hebat. Keringat dingin turun dengan bebas menyusuri wajahnya. Setelah Julia bergegas pergi dari hadapannya, Amory menarik nafas panjang. Berusaha sekuat tenaga untuk menetralkan perasaannya saat ini.

Nana kamu pasti bisa. Ayo. Demi adek-adek dan juga ibun. Nana harus bisa ya pasti bisa. Begitulah rapalan doa yang Amory elukan dalam hatinya.

Dengan perasaan ragu, Amory berjalan menuju meja bartender, bersiap melayani sekumpulan pria hidung belang itu. Ia meracik minuman special untuk para lelaki yang sejak awal sudah menatapnya dengan pandangan penuh puja. Amory tidak bodoh untuk mengetahui maksud dari tatapan sekumpulan pria itu.

Dua orang pria tampak berjalan mendekati bar tempat Amory tengah meracik minuman milik pria-pria itu. Amory tersenyum tipis ketika dua orang pria itu mendekat ke arahnya lalu menatapnya tanpa berkedip sekalipun.

“Do you know how pretty you are?” Salah satu pria tampak menyuarakan pikirannya. Hati Amory berdegup kencang, ia hanya tersenyum kecil lalu membalas ucapan pria di hadapannya, “Well, everyone know it ‘kan?”

Pria itu menatap Amory dengan pandangan yang sulit diartikan. Kedua pria itu menampilkan senyum miring. Ketika Amory selesai menyiapkan minuman yang mereka inginkan, salah seorang pria meraih jemari Amory dan mengusapnya pelan.

“I wonder how pretty you’re when you moan my name. It may be the prettiest things i ever seen.” Amory membeku mendengar penuturan pria itu. Namun dengan cepat ia berusaha mengontrol ekspresinya kembali.

“That could be the best thing you've ever seen, right? So, keep dreaming. I have a high standards of a man I would sleep with.”

Senyuman miring dua orang pria itu berganti dengan decakan keras. Rahang kedua pria itu tampak mengeras. Amory masih dalam posisinya, tidak bergerak sedikitpun.

Tanpa Amory sadari, tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada seorang pria yang menatapnya dari jauh. Pria itu menikmati Tequila miliknya dengan santai. Sepasang netra gelap miliknya menatap binar hazel milik Amory yang tampak redup.

“Ini minuman untuk kalian. Selamat menikmati minuman kalian.”

Salah seorang pria yang berdiam di meja pojok bangkit angkat bicara.

“Lo pikir lo siapa bisa merendahkan temen gue kaya gitu? You’re a slave. Gak usah sok jual mahal kalau dikasih uang juga pasti langsung mau. Butuh berapa sih buat beli diri lo itu? Gue bahkan bisa dapet pria yang jauh lebih cantik dan manis dari lu. Murahan.”

That’s it. Amory can’t hold it anymore. Amory angkat kepalanya yang menunduk, ia sunggingkan senyuman paling manis yang ia punya, “Bahkan semua uang yang kamu punya gak bisa beli diri saya. Saya jauh lebih mahal dari itu. Saya bukan pria murahan, kamu lah pria yang merasa punya segalanya. Kenapa? Kok marah sih. Modal minta uang orang tua aja bangga setengah mati. Punya malu sedikit lah.” Amory tersenyum miring, ia mengusap kemeja pria itu dengan jemari lentiknya. Amory mendekatkan bibirnya tepat ke samping telinga pria itu.

“Perkataan saya gak salah kan? Standar saya memang tinggi, eh.. atau kalian yang terlalu rendah, ya?” Amory kembali menjauhkan wajahnya dari telinga pria itu. Rahang pria itu sudah mengeras, siap untuk tumpahkan sumpah serapah. Tangan pria itu kini melayang, Amory sudah tutup matanya rapat-rapat, menunggu rasa perih dan panas menjalar di pipinya. Namun hingga bermenit-menit berlalu Amory tidak merasakan apapun. Dengan keberanian yang tersisa Amory membuka matanya. Di hadapannya ada seorang pemuda menahan jemari pria itu.

“Lo siapa?!” Pria itu mendengus pelan dan menggeleng. “Gak penting.”

Lalu setelahnya pria itu memutar jemari pria lainnya hingga terdengar suara nyaring seperti suara dari tulang-tulang yang mengalami pergeerakan. Amory menutup kedua matanya, linu itu terasa nyaring di pendengarannya. Selanjutnya teriakan nyaring pria itu terdengar.

Amory tidak menyadari bahwa sejak tadi dirinya telah menjadi perhatian. Seakan sadar akan apa yang baru saja ia lakukan, Amory meneguk ludahnya susah payah. Ia tahu hal apa yang akan ia hadapi setelah ini.

Pria yang menolongnya menatap Amory dengan datar sebelum menghampiri Amory sesaat.

“Jangan pernah mau menjatuhkan harga diri untuk setumpuk uang, sebutuh apapun lo akan uang itu. Harga diri lo lebih dari apapun. Banyak hal lain yang bisa lo lakuin selain jadi bartender disini. Jangan berkorban untuk sesuatu yang gak sebanding.”

Amory menganga. Terkejut bukan main akan penuturan pria itu. Pria itu tersenyum tipis lalu pergi dari hadapannya. Meninggalkan Amory dengan sejuta pertanyaan.

Siapa pria itu? Sial, Amory bahkan tidak sempat berterima kasih dan menanyakan namanya. Amory memang tidak tahu siapa pria yang menolongnya itu. Tapi, siapapun itu, terima kasih. Amory berjanji akan membalaskan jika ia dipertemukan kembali.

Semoga.