Begitu sampai di apartment Jongseong, Sunghoon meminta waktu sendiri. Jongseong dengan senang hati memberinya waktu.
Dan disinilah Sunghoon, berada di dalam kamar Jongseong. Ia telah mengunci kamar Jongseong dan tak mengizinkan kekasihnya itu masuk. Air mata Sunghoon tidak dapat berhenti mengalir setelah mendengar perkataan ayahnya tadi.
Anak gak tahu diri.
Tidak punya masa depan.
Lacur?
Serendah itu Sunghoon dimata ayahnya sendiri?
Sunghoon merasakan dadanya sesak bukan main. Sunghoon bahkan kesulitan untuk bernafas. Nafasnya tercekat, tangannya bergetar hebat, kepalanya sakit luar biasa. Sunghoon berusaha bernafas sebisanya, namun dirinya tidak bisa. Yang ada justru dadanya terasa semakin sesak. Sunghoon benar-benar tidak kuat lagi.
Panic attack.
Pikiran-pikiran buruknya berkecamuk di dalam kepalanya.
Menyuruhnya untuk mati.
Menyuruhnya untuk pergi.
Menyuruhnya untuk menyudahi hidupnya.
Jemari Sunghoon bergetar hebat. Netranya mengendar ke arah sekitarnya, mencari benda yang sekiranya dapat mengalihkan panic attack yang ia rasakan ini.
Tatapannya terpaku pada sebuah cutter yang berada di atas meja milik Jongseong. Dengan segera Sunghoon mengambilnya dan hendak menggoreskan pergelangan tangannya dengan benda tajam itu hingga
TOK TOK
“Hey sayang.. aku masuk ya? Buka pintunya.” Jongseong berujar dengan panik, namun Sunghoon tak menjawab apapun.
Sunghoon masih berusaha mengalihkan rasa sakitnya, mengalihkan sesak yang terasa begitu menyakitkan. Ia remat kuat-kuat surainya lalu ia tarik sekencang-kencangnya. Tangisnya pun semakin menjadi. Jongseong dapat mendengar dengan jelas tangisan memilukan itu. Dada Jongseong bergemuruh hebat, sungguh ia takut sekali sekarang. Ia pun bergegas mencari kunci cadangan.
Karena dilanda panik, Jongseong sampai melupakan letak kunci cadangan miliknya. Ia menggeram frustasi.
“DIMANA SIH ANJING.” Makinya pada diri sendiri.
“Fuck, fuck, fuck.” Jongseong semakin panik.
Hingga akhirnya Jongseong menemukanya, kunci itu berada di dalam laci di bawah TV.
Jongseong bergegas membuka kamarnya. Jantungnya terasa jatuh ke mata kaki ketika netranya melihat dengan jelas dimana Sunghoon hendak menggoreskan pergelangan tangannnya dengan cutter. Jongseong langsung panik, Ia berlari secepat yang ia bisa lalu mengambil paksa cutter itu dan membuangnya ke sembarang arah. Jongseong membawa Sunghoon ke dalam pelukannya.
“Ini aku Jongseong, please don’t do that. I won’t leave you. You’re too precious. Please, please… I’m here... I love you so much.”
Perlahan kesadaran Sunghoon kembali. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Jongseong. Ia hirup lamat-lamat aroma fabric milik sang kekasih. Namun ketika Jongseong kembali merasakan Sunghoon kembali kesulitan bernafas, ia segera merenggangkan pelukannya.
“Hey… look at me ya? Ayo nafas pelan pelan. Inhale Exhale okay. Nah iya gitu, ayo diulang ya? Ikutin aku.” Jongseong berujar diikuti oleh arahannya untuk ikut melakukan pernafasan panjang yang berulang tersebut.
Sunghoon menurut, ia berusaha melakukan teknik pernafasan berulang itu. Sunghoon meremat kuat jemari Jongseong. Jongseong terus membantunya untuk bernafas.
Sakit kepalanya masih ada, namun perlahan berangsur berkurang. Setelah dirasa telah lebih baik, Jongseong kembali membawa Sunghoon ke dalam pelukannya. Ia peluk daksa itu dengan sekuat yang ia bisa. Air mata Jongseong jatuh begitu saja. Sunghoon yang merasakan pundaknya basah pun kembali menangis. Ia menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher sang dominan. Sunghoon meremat baju yang Jongseong kenakan.
“Please don’t do that again. I can’t lost you. Please..” Jongseong berucap dengan lirih.
Sunghoon menganggukkan kepalanya pelan dan merapalkan kata maaf berkali-kali. Keadaan Sunghoon memang berangsur membaik, panic attack yang ia rasakan perlahan menghilang. Namun secara tiba-tiba pandangannya mengabur, dan setelahnya ia jatuh tak sadarkan diri dengan bobot tubuh yang ia tumpukan sepenuhnya pada sang dominan.