Hurts

tw // fight, blood. cw // harsh words

Gavin kembali keluar sebagai pemenang. Ia disambut oleh sorakan bahagia oleh orang-orang yang ada di arena malam itu. Euphoria yang telah lama tidak Gavin rasakan kini kembali memenuhinya. Perasaan bangga juga gembira tergabung menjadi satu, bahwasannya kemampuannya dalam balapan belum menurun sedikit pun.

Arlen menghampiri Gavin, lalu memberikan Gavin senyuman tipis serta mengucapkan selamat. Gavin terima uluran tangan itu sambil ulaskan senyum tipis sekali, bahkan jika Arlen tidak jeli, maka ia tidak akan tahu bahwa Gavin memberikan senyuman padanya.

Congrats ya, Vin. Skill lo oke juga emang, padahal 5 tahun ga main ya?” Gavin hanya tersenyum kecil dan memberi anggukan tipis, “Lo juga enggak kalah keren. It’s nice to know you anyway. Thank you, Arlen.”

Arlen belum sempat berikan balasan atas perkataan Gavin karena secara paksa badan Gavin ditarik kuat oleh seseorang. Arlen yang awalnya terkejut dan hendak membantu Gavin, mengurungkan niatnya ketika melihat siapa yang datang.

Kent.

Jonathan Kentandra. Satu-satunya sepupu Gavin yang rela keluar dari rumahnya dan menolong Gavin, menopang Gavin ketika Gavin tidak lagi punya siapa-siapa. Sepupu kecil Gavin yang tumbuh bersama Gavin, bahkan sejak keduanya dilahirkan.

Kini pria keturunan Canada-Indonesia itu tampak memberikan tatapan tajam yang menusuk. Gavin menatap Kent datar, sejujurnya Gavin tahu saat ini ia bersalah. Oleh karena itu ia memilih diam.

“ARE YOU OUT OF MIND?!” Teriakan Kent terdengar ke penjuru arena, membuat bisik-bisik mengenai Gavin kembali terdengar.

Gavin hanya menghela nafas kasar, lalu ia berjalan menjauhi Kent, “Ikut gua, jangan disini.”

Merasa itu adalah pilihan yang tepat, Kent mendengus kesal, memilih menuruti Gavin mengekor di belakangnya.

Kini keduanya telah berada di lapangan kosong yang jaraknya agak jauh dari arena. Tempat itu sepi, tidak ada siapapun disana. Hanya terdapat suara angin yang menerpa kulit Gavin juga Kent. Kent masih sama, dengan kilatan amarah yang memuncak. Perpaduan antara sedih, khawatir, dan marah yang tergabung menjadi satu.

BUGH

“BRENGSEK,” umpat Kent.

“Lu sadar gak apa yang udah lu lakuin hah?! Udah gila apa lu?! Lu tau kan alasan Bang Jeff sampai meninggal apa?! Kenapa lu bodoh banget astaga Tuhanku.”

Gavin tidak memberikan tanggapan. Ia membiarkan Kent meluapkan segala emosinya terlebih dahulu. Rasa perih menjalar di bibir Gavin yang mengeluarkan sedikit darah disana.

“JAWAB GUA ANJING.”

“Apa?”

“APA?! LU PIKIR! PIKIR PAKE OTAK LU YANG CERDAS ITU! PIKIR SEBELUM BERT—“

“GUA CUMAN CAPE BRENGSEK. GUA NGERASA GAPUNYA ALESAN BUAT BERTAHAN LAGI. LU GATAU RASANYA JADI GUA. JUST SHUT YOUR FUCKING MOUTH, YOU DUMB ASS.

Hancur sudah pertahanan Gavin. Ia mengepalkan kuat-kuat jemarinya, setelahnya ia membalikkan badannya.

Belum ada lima langkah berjalan, Kent kembali menarik tubuhnya. Kent mengambil kunci motor yang digenggam oleh Gavin. Emosi Gavin sudah sampai diujung, Gavin hendak melayangkan protes, sebelum Kent kembali memberikan kunci mobil miliknya ke tangan Gavin. Gavin mengerutkan alisnya bingung.

“Lu balik pake mobil gua, biar gua yang bawa motor lu.”

“Gua minta maaf kalau lu merasa gua masih kurang pahamin lu dan gatau rasanya jadi lu gimana,” Kent menjeda ucapannya, lalu kembali berucap, “Hati-hati bawa mobilnya, jangan ngebut. Nanti cari lagi Ory nya. Istirahat dulua, tubuh lu pasti capek banget. Gua duluan ya.”

Gavin menatap nanar punggung Kent yang telah berjalan menjauh dari tempatnya berdiri. Dalam hati Gavin lontarkan umpatan-umpatan pada dirinya.

Gavin tolol, Gavin bodoh, Gavin goblok.

Gavin kepalkan tangannya lalu mengarahkannya ke salah satu tiang di dekat sana lalu memukulnya dengan sekuat tenaga hingga darah tampak turun memenuhi kulit putih susunya.

“ARGH BRENGSEK.”