In The End Of The Day

Genta melajukan sepeda miliknya dengan tergesa-gesa. Genta sudah sangat hafal diluar kepala mengenai tempat dimana Atlas berada kini. Tempat dimana keluarganya selalu menghabiskan akhir pekan— pun juga tempat dimana baik Genta maupun Atlas sering menghabiskan hari kala keduanya merasa malas untuk pulang ke rumah masing-masing.

Keluarga Atlas merupakan keluarga yang sempurna, setidaknya itu yang orang-orang tahu. Namun Genta dengan segala kepekaannya mengerti— bahwasannya terdapat hal-hal yang tidak mami Atlas ungkapkan. Kantung mata yang menghitam juga mata yang terkadang sedikit sembab sudah menjadi pertanda bahwa semuanya tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Genta tahu dengan pasti bahwa hari ini akan tiba. Genta hanya tidak tahu bahwa hari ini akan tiba dengan begitu cepat. Genta belum sempat berikan pengertian pada sosok yang ia jaga sepenuh hati itu.

Genta melajukan sepedanya lebih cepat. Dalam pikirannya hanya bagaimana caranya agar dirinya dapat tiba di danau itu secepat yang ia bisa.

Netra elangnya menatap ke sekitar tat kala dirinya telah sampai di danau tempat tujuannya. Genta membanting sepeda miliknya dan bergegas menghampiri yang terkasih— tak kala mata elangnya menangkap sosok itu.

Atlas Syahputra.

Lelaki manis itu kini tengan terduduk di atas rerumputan sambil memeluk lututnya erat. Atlas menenggelamkan wajahnya di dalam perpotongan lengannya. Genta bernafas sedikit lega ketika netranya mengetahui bahwa Atlas tidak melakukan hal buruk yang dapat membahayakan dirinya.

Genta berjalan tergesa dan menghampiri Atlas lalu mendudukan dirinya tepat disebelah Atlas. Genta mengusap punggung bergetar Atlas lalu merengkuh pundaknya dan membawanya kedalam pelukannya. Atlas yang merasakan sentuhan lembut dari jemari Genta semakin mengencangkan tangisnya. Perasaan campur aduk dalam dirinya membuat tangis Atlas pecah begitu keras.

“Ssshh.. ssshh.. It’s okay i got you.” Begitulah kira-kira bisikan Genta yang tengah berusaha menenangkan Atlas.

Ketika dirasa lelah menangis, Atlas angkat kepalanya dan mendongakkannya. Netra bulat itu bertabrakan dengan netra setajam elang milik Genta. Genta ulaskan senyuman terbaiknya sebagai penenang, seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

“Tata…”

“Hm?”

“Kenapa papi sama mami jahat? Kenapa mereka pisah.. hks.. papi mami udah gak sayang Atlas ya? Atlas nakal ya? Makanya papi pergi sama kak Cia dan gak mau ketemu Atlas sama mami lagi.. Atlas janji gak nakal lagi tapi boleh gak.. papi mami jangan pisah? Atlas gak bisa. Atlas gak akan pernah bisa.”

Genta terdiam, dirinya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Genta tidak mungkin memberi nasihat pada Atlas kala anak tersebut sedang rapuh-rapuhnya. Genta tidak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan Atlas meracau sambil memberikan usapan halus pada punggung milik lelaki manis di pelukannya itu.

“Gapapa ya Atlas ya.. Untuk sekarang mungkin emang harus begini. Atlas punya Genta yang bakal selalu disini. Genta janji enggak akan pergi kaya papi pergi dari mami.”

Atlas mendongakkan kepalanya, linangan air mata tampak menumpuk di mata bulat milik Atlas. Genta arahkan jemarinya untuk mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi Atlas.

“Janji?” Atlas mengarahkan jari kelingkingnya ke arah Genta, yang tentu saja Genta terima dengan suka rela, lalu ia tautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Atlas.

“Janji.”

“Sekarang nangisnya udahan ya? Capek loh.. hidungnya udah merah banget itu, matanya juga.” Atlas menggeleng ribut, Genta menghela nafas pasrah.

“Yaudah, sini aja duduk sini, biar sandaran.” Genta menepuk-nepuk pahanya, tentu Atlas segera berdiri dan berpindah duduk menjadi di pangkuan Genta.

Atlas mengalungkan tangannya di leher Genta lalu menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Genta. Atlas hirup kuat-kuat aroma cytrus yang menenangkan. Isakan kecil kembali keluar dari belah bibir Atlas. Genta mengerti, ia usap punggung Atlas dengan tempo teratur.

Merasa lelah setelah menangis terlalu lama, perlahan mata Atlas tertutup, ia tertidur di pelukan sang sahabat, Genta.

Genta merasakan bobot tubuh Atlas yang sepenuhnya bertumpu padanya, disertai dengkuran halus yang keluar dari belah bibir Atlas yang tentu saja terdengar sangat jelas di telinganya. Genta tersenyum kecil, ia arahkan jemarinya untuk mengusap surai hitam milik yang terkasih.

“Atlas.. jangan nangis kayak gini lagi ya? Jujur gua lebih baik lo marah-marah atau ganggu gua bahkan pas gua lagi gak mau diganggu sekalipun. Daripada harus liat lo nangis kayak gini. Rasanya gua ikutan hancur, Las. Tolong, setelah ini bahagia ya? Nanti gua bantu buat bahagia. Tenang aja.”

Genta berujar tulus disertai dengan kecupan kecupan kecil di puncak kepala Atlas. Genta tidak tahu bahwa Atlas belum tidur sepenuhnya. Atlas dapat mendengar semua perkataan Genta hari itu. Dibawah sinar rembulan— Atlas menyadari satu hal. Bahwa ditengah hari yang terasa sesak dan berat, Atlas masih memiliki Genta. Genta yang siap ulurkan tangan dan berikan rengkuhan yang Atlas butuhkan.

In the end of the day, Atlas know that he still have Genta. At least Genta won’t leave him. And that’s enough.