Pantai
tw // verbal abuse, thalassophobia, trauma.
Jaemin mulai tersadar tat kala kedua netranya bertemu dengan hamparan pasir yang luas. Netranya bergerak tak tentu arah, sebuah ketakutan mencuat kepermukaan. Tangannya berkeringat dingin.
“Jaem ayok tu—.” Belum selesai Mark menyelesaikan ucapannya, Jaemin telah lebih dulu memotongnya.
“Kenapa kesini?” Suara Jaemin kini terasa dingin dan tidak bersahabat.
“Ya ke pantai? Liat sunset. Bagus tau Jaem, lo harus li—.”
“Pulang.” Mark mengernyitnya alisnya, bingung. Ia berusaha sekuat tenaga menahan gejolak emosi yang membakar dada.
“Apaan sih? Baru juga nyampe.” Mark bergegas menarik jemari Jaemin untuk mendekati bibir pantai.
“Gak mau.” Jaemin berusaha berontak, dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk melepaskan jengkraman kuat Mark pada pergelangan tangannya.
“LU KENAPA SIH ANJING. RIBET BANGET JADI ORANG.” Emosi Mark sudah berada di ujung tanduk. Jaemin mengalihkan pandangannya kearah lain.
Mark mencengkram kedua pipi berisi milik Jaemin. Mau tidak mau Jaemin menatap netra Mark dengan kilatan amarah yang membuncah disana. Jaemin menggenggam erat jemarinya, dadanya sesak luar biasa. Rasanya oksigen begitu sulit memasuki rongga paru-parunya.
“Gue udah baik ngajak lu kesini, anjing. Gatau terima kasih banget.” Mark menghempaskan kasar wajah Jaemin. Jaemin yang tidak bisa menjaga keseimbangannya pun berakhir terjatuh. Jaemin terdiam, dia tak melakukan aksi protes atau apapun. Tubuhnya lemas luar biasa. Memori-memori kelam miliknya perlahan terbuka bagaikan kaset yang rusak. Kepingan-kepingan memori buruk itu kembali tampil dalam pikirannya. Jaemin mendesah frustasi, ia menutup kedua telinganya guna menghilangkan suara-suara bising itu. Mark masih melayangkan sumpah serapah di hadapannya. Jaemin tak bisa mendengar apapun, seolah pendengarannya tuli.
“BAJINGAN. DENGER GUE NGOMONG GAK?”
Jaemin terdiam, ia tak merespon sedikitpun perkataan Mark. Mark yang kesal pun bergegas pergi meninggalkan Jaemin seorang diri tanpa memperdulikan teriakan tertahan milik pria manis itu.
Jaemin merogoh sakunya, mengetik dengan gemetar, ia butuh Jeno-nya. Hanya Jeno yang memahami kondisinya.