Rela
Semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku kehilanganmu. warnings : depression after death , suicide attempt , suicidal thought.
Guide: Listen this while reading the whole chapter.
Satu tahun kemudian
Jeremy berjalan perlahan diantara gundukan tanah. Netranya berpencar mencari 'rumahnya' yang telah pergi. Sebuah batu nisan menuliskan nama Nathanael Athala disana. Jeremy tersenyum kecil, ia terduduk di atas gundukan tanah itu.
“Hey pretty. Aku dateng lagi hehe, gak kerasa udah setahun aja kamu ninggalin aku disini.”
Hening, tidak ada sahutan apapun. Jeremy menghembuskan nafasnya kasar. Ia menengadahkan kepalanya ke atas, berharap air matanya tidak jatuh di hadapan sang kekasih.
Tapi lagi-lagi ia gagal.
“Nath, aku kangen..”
Lagi-lagi hening, Jeremy hanya dapat merasakan hembusan angin menerpa tubuhnya. Jeremy terkekeh, jika orang lain melihatnya seperti ini di tempat lain mungkin orang tersebut akan berkata bahwa ia gila.
Walaupun itu tidak sepenuhnya salah.
“Maaf ya Nath, baru bisa jenguk sekarang. Maaf aku gak punya nyali yang cukup untuk ketemu kamu di rumah baru kamu.” Air mata Jeremy terjun bebas begitu saja tanpa bisa ia tahan.
“Setelah kepergian kamu, semuanya kerasa berat. Aku— udah lulus SMA beberapa bulan setelah kepergian jamu. Nilai aku engga bisa dibilang baik, tapi itu cukup. Cukup untuk bikin kamu bangga kan?” Jeremy tersenyum lagi.
Jeremy mengusap batu nisan yang bertuliskan nama sang kekasih.
“Kamu itu nafas aku, nyawa aku, jantung aku. Ketika kamu pergi, kamu bawa semuanya dari aku. Kamu bawa diri aku sepenuhnya. Hanya raga aku aja yang tersisa disini, Nath.” Jeremy tersenyum kecil, hati kecilnya berdenyut nyeri. Perasaan-perasaan bersalah itu kembali hadir.
“Kamu adalah warna terindah yang pernah hadir. Sekarang kehidupan aku abu-abu, Nath. Bahkan aku gak melanjutkan kuliah.” Netra Jeremy berfokus pada batu nisam bertuliskan nama kekasihnya, Nathan.
Seolah langit tahu bahwa salah seorang manusia di bumi tengah bersedih. Sore itu, langit turut bersedih akan luka yang selama satu tahun ini Jeremy alami. Langit ikut menangis, menangis bersama Jeremy yang kini tubuhnya telah basah oleh rintikan hujan yang membasuh bumi.
Setelah kepergian Nathan, Jeremy mengalami banyak hal. Ketakutan untuk mandi di dalam bathup. Memori itu akan kembali terulang saat dirinya melihat sebuah bathup. Dia akan lebih memilih mandi dibawah guyuran shower dibanding bathup. Tubuh Nathan yang terbujur kaku menjadi memori membekas yang tak akan pernah hilang dalam benak Jeremy.
Berkali-kali Jeremy berusaha mengakhiri hidupnya. Ia melakukan berbagai cara mulai dari tidak mau makan, mengurung diri, memukul benda apa saja yang ada di dekatnya hingga menyebabkan lengannya dipenuhi darah, hingga meminum cairan beracun seperti pembersih kamar mandi.
Tapi entah mengapa, semesta selalu membiarkannya tetap hidup. Menjalani hidup dengan perasaan bersalah. Keluarga Jeremy membawanya ke rumah sakit jiwa dan jeremy melalukan sejumlah perawatan disana selama satu tahun terakhir.
Selama satu tahun ini, Jeremy bertahan dengan obat-obatan setiap harinya. Tubuhnya yang dulu kuat serta berisi perlahan menjadi kurus dan tak terurus. Tatapan matanya kosong, bibirnya kering dan pucat, senyum bulan sabit itu tak pernah lagi terpantri di bibirnya.
Jeremy Navendra lebih pantas disebut sebagai mayat hidup dibandingkan seorang manusia.
Jeremy telah berada di makam milik kekasihnya selama 5 jam. Ia sama sekali tak berniat untuk beranjak atau sekedar memindahkan tungkainya ke sisi yang lain. Kini Jeremy tengah membaringkan tubuhnya disamping gundukan tanah itu, merengkuh tanah itu dalam pelukannya, membayangkan bahwa ia tengah memeluk semestanya.
Tenang.
Itu yang Jeremy rasakan sekarang. Tenang, nyaman, damai. Rasanya hangat, seperti kehangatan Nathan ketika merengkuh tubuhnya dahulu. Nathan yang setia merengkuhnya ketika semesta memperlakukannya buruk. Nathan yang setia mengusap surai coklat milik Jeremy dengan gerakan teratur.
Jeremy merindukannya.
Jeremy merindukan dekapan itu, tawa Nathan yang telah lama tak ia dengar, usapan penuh kasih sayang yang Nathan berikan padanya. Jeremy benar-benar merindukannya. Jeremy memejamkan matanya sebentar, ia sungguh tidak perduli meski tubuhnya kini menggigil kedinginan atau meski hujan terus turun membasahi tubuhnya. Jeremy hanya menginginkan berdekatan dengan semestanya, meski hanya sebentar, Jeremy ingin merasakan hangat itu lagi.
Perlahan mata Jeremy terpejam, ia ingin mengistirahatkan dirinya dari hiruk pikuk dunia. Ia ingin menyerah, terlalu lelah berjuang, terlalu lelah menghadapi kejamnya dunia. Dunia tidak memiliki tempat yang layak untuk Jeremy.
Nathan, jika aku tidak bisa bertemu denganmu, setidaknya datanglah ke mimpiku.
Hamparan rumput hijau yang asri membentang luas, Jeremy tidak tahu mengapa ia berada disini. Seingatnya, ia sedang berada di makam kekasihnya dan tengah memeluk kekasihnya. Jeremy tidak mengerti dimana ia berada sekarang.
“Hey..” Sapa seseorang.
Suara ini, suara yang selalu Jeremy harapkan untuk dapat ia dengar kembali, barang hanya sekali. Suara lembut dan tulus, suara yang tidak pernah menyakitinya. Suara yang selalu ia rindukan setiap harinya.
Jeremy mengedarkan pandangannya, netranya bertemu dengan mata indah nan cantik milik seseorang yang selalu ia harapkan hadirnya setiap detiknya.
Tanpa aba-aba Jeremy berlari ke arahnya, merengkuh tubuh itu seerat mungkin, rasanya jika ia lengah sedikit saja maka tubuh itu akan hilang dari pandangannya.
“Hey, calm down. So, hows life?” Suara lembut itu kembali Jeremy dengar. Jemarinya mengusap rambut Jeremy dengan gerakan teratur.
“Buruk. Selalu buruk, tanpa kamu.” Nathan tersenyum, meski Jeremy tak mungkin melihatnya.
“I know it must be hard for you. I'm so sorry for left you alone.” Jeremy mengangguk dalam rengkuhan Nathan. Ia hanya ingin memeluk Nathan selama yang ia bisa.
“Please, bawa aku pergi. Aku lebih baik ikut bersamamu.” Nathan menghembuskan nafasnya pelan. Sejujurnya jika boleh, ia akan dengan senang hati membawa Jeremy ke tempatnya sekarang, ke rumah barunya.
“I'm so sorry but, i can't.” Jeremy semakin mengeratkan pelukannya. Ia sangat takut, takut sekali kehilangan sosok Nathan lagi.
“Tolong lanjutkan hidup kamu, Jer. Tolong berbahagia. Kita akan bertemu lagi saat memang sudah waktunya.”
“Aku capek, Nath. Gak ada lagi tempat aku pulang. Rasanya dunia terlalu kejam untukku.” Nathan mengangguk paham, ia sangat paham akan perasaan Jeremy.
“Tetaplah hidup, setidaknya untukku. Jagalah dirimu baik-baik. Berhenti menyakiti dirimu. Aku mencintaimu lebih dari apapun.”
“Lalu kenapa kamu meninggalkan aku?” Lagi, Nathan hanya tersenyum. Ia melonggarkan pelukannya, mengusap wajah Jeremy yang dipenuhi oleh air mata. Ia menghapuskan air mata itu, mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirnya.
Nathan meraba wajah Jeremy dengan jemarinya. Pahatan wajahnya itu tetap terlihat sempurna meski kini tubuh itu tak lagi sekokoh setahun yang lalu, pipi itu terlihat lebih tirus, sorotan mata itu tidak lagi penuh kehangatan. Jeremy memejamkan matanya, merasakan jemari lentik nan hangat milik Nathan di permukaan kulit wajahnya.
Ketika Jeremy membuka kedua matanya, ia melihat Nathan berjalan menjauh. Baju putih terang miliknya tampak bercahaya, Jeremy tak berkutik, ia tak dapat pergi menyusul Nathan disana. Ia hanya dapat terdiam dengan derai air mata yang terus membasahi wajahnya.
Hari itu, Jeremy belajar untuk melepas, melepas bebannya dan merelakan segalanya. Ia belajar untuk menjalani kehidupannya kembali, seperti permintaan Nathan.
Jeremy Navendra telah menemukan kembali alasan ia untuk tetap bertahan. Nathanael Athala tidak pernah meninggalkan Jeremy, ia selalu dan akan selalu berada di sisi Jeremy.