Sakit
Jeno mengalihkan atensinya kearah daksa ringkih yang berada di sebelahnya sesaat setelah ia telah mengabari sang ibunda di ujung sana. Dadanya berdenyut nyeri melihat kondisi sahabat kecilnya kini. Jemari Jeno terulur mengusap peluh yang membasahi wajah cantik sahabatnya.
Jaemin menggeliat kecil, tidurnya terusik. Sudah sangat lama sejak terakhir kali ia melihat Jaemin seperti ini. Jeno mengusap kening Jaemin dengan lembut, berusaha membuat Jaemin kembali tertidur.
“Ssshh.. sshh.. tidur lagi ya na.”
Yang terjadi justru sebaliknya, secara perlahan Jaemin membuka kelopak matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retinanya. Jeno tersenyum kecil, ia mengusap rambut Jaemin yang sedikit basah oleh keringat.
“Hey...” Sapa Jeno lembut.
Jaemin terdiam sesaat, ia segera berhamburan ke pelukan Jeno. Jeno merasakan bajunya basah oleh air mata, Jaeminnya terisak di pelukannya. Amarah itu kembali mendominasi relung dada Jeno. Jeno memberikan usapan kecil punggung ringkih Jaemin, memberi Jaemin ketenangan bahwa ia aman sekarang.
“It's okay, Na.. you're save now.”
Jaemin mendesis lirih, “Nono, aku takut..”
Jeno paham, terlampau paham. Ia pun menggerakan jemarinya untuk mengusap surai hitam sang sahabat.
“Maaf karena datang terlambat.” Jaemin menggeleng ribut, biar bagaimanapun ini bukan salah Jeno.
“Terima kasih sudah datang..” Kedua sudut bibir Jeno mengembang membentuk bulan sabit.
“My pleasure.”
Jaemin mendongakkan kepalanya, netra keduanya bertemu. Jeno baru menyadari terdapat bekas merah yang cukup ketara di pipi bak porselen sahabatnya. Jeno mengernyitkan alisnya bingung.
“Loh? Ini kenapa?” Jeno bertanya dengan lembut. Yang ditanya berusaha mengalihkan atensinya, menolak tatapan penuh tanya lawan bicaranya.
“Jaemin, jawab.”
Jaemin memejamkan matanta sesaat, ia menghembuskan nafasnya kasar sebelum netranya kembali bertemu dengan obsidian milik Jeno.
“Jangan marah ya? Sama Mark itu.. gitu pokoknya?”
Jeno memalingkan wajahnya, letupan emosi itu kembali hadir di dadanya. Jeno membenci siapapun yang menyakiti sahabatnya.
“Ada lagi?” Jeno berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya.
Jaemin mengangguk, ia mengangkan tangan kanannya, menampilkan pergelangan tangannya yang memar. Jeno meraih tangan Jaemin dan mengusap lembut pergelangan tangannya.
“Ssshh, sakit..”
Jeno hendak beranjak dari duduknya untuk mengambil kotak P3K di apartment miliknya. Namun langkahnya terhenti saat netra Jaemin menatapnya dengan penuh ketakutan, Jaemin menahan pergerakannya.
“Aku ambil obat sebentar ya, Na? Aku gaakan kemana-mana okay?” Jeno berujar dengan lembut, namun lagi-lagi dihadiahi dengan gelengan.
“Jangan pergi, jangan tinggalin Nana lagi.” Jeno mengerti, ia pun kembali duduk di kasur empuk miliknya.
Jeno menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar Jaemin duduk disana.
“Come here.”
Jaemin menurut dan membawa tubuhnya untuk duduk di atas pangkuan sahabatnya. Jaemin melingkarkan jemarinya pada pinggang kokoh sang sahabat. Ia mrngistirahatkan kepalanya pada perpotongan leher Jeno.
“Maaf karna terlambat datang.” Jaemin mengangguk, memberikan perasaan geli pada leher Jeno. Jeno menggerakkan jemarinya, mengusap kepala hingga tengkuk Jaemin, hingga Jeno dapat mendengar Jaemin kembali terlelap dalam tidurnya.