Sakitnya Atlas Sakitnya Genta Juga

Genta bergegas ke kamarnya setelah selesai memberi makan Ica— kucing miliknya. Genta kembali menghenbuskan nafas pelan saat melihat Atlas masih sama, pandangan matanya yang kosong, binar matanya yang sayu, matanya yang sembab, sudah dipastikan Atlas kembali menangis tadi.

“Hey..”

Atlas menolehkan kepalanya dan menatap netra menenangkan milik obsidian Genta. Atlas tersenyum kecil, ia merentangkan kedua tangannya— meminta peluk. Dengan senang hati Genta rengkuh tubuh ringkih itu dan membawanya ke pelukannya.

“Lagi mikirin apa?”

“Gak tau.. masih bingung? Gak ngerti..”

Genta menghela nafas pelan, namun dirinya mengerti perasaan sahabatnya ini. Teramat sangat mengerti. Tiap malam Atlas selalu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Atlas akan mengingau dan menangis dalam tidurnya. Setiap malam juga Genta akan dengan setia memeluknya dan mengusap punggungnya lembut hingga Atlas kembali terlelap.

Atlas tidak mau bersama siapapun, bahkan bunda dan ayah sekalipun. Atlas hanya ingin bersama Genta. Genta mengerti sekali.

Masih teringat jelas hari dimana Genta membawa Atlas ke rumahnya. Malamnya, Atlas terserang demam tinggi sekali. Genta tentu panik sekali, ia memanggil ayah dan dan bunda. Ketiganya bergegas membawa Atlas ke rumah sakit. Selama di rumah sakit pun Atlas mengingau. Membuat Genta menatap Atlas nanar. Detik itu juga pertahanan Genta hancur. Genta tidak pernah bisa kuat jika melihat Atlas menangis apalagi sampai sakit begini. Bunda dengan setia memeluk Genta dan memberikan kecupan di puncak kepala Genta.

Hari-hari setelah hari kelam itu, Atlas tampak berubah. Dirinya memang hidup, tetapi seperti tak bernyawa. Atlas juga susah sekali disuruh makan. Atlas hanya akan makan jika Genta yang menyuapinya, itupun tidak banyak.

Jika ditanya lelah atau tidak, jawabannya iya. Genta lelah— bukan lelah karena menjaga Atlas, bukan. Genta lelah karena melihat Atlas seperti ini. Genta lelah, karena hancurnya Atlas merupakan hancurnya juga. Genta lelah melihat binar mata Atlas yang hilang, digantikan tatapan penuh kekosongan. Raganya ada bersama Genta, namun jiwanya pergi entah kemana.

Ini sudah memasuki satu minggu sejak hari dimana kejadian itu berlangsung. Atlas masih sama, belum berubah sedikitpun. Besok adalah hari dimana putusan perceraian mami dan papi Atlas akan berlangsung. Sidang perceraian yang hanya akan dihadiri oleh bunda, ayah, juga Cia. Gadis itu lebih kuat rupanya, ia berusaha tutupi rasa kecewanya dan menjadi sosok kakak yang kuat untuk kedua orang tuanya.

“Genta capek ya ngadepin Atlas?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari belah bibir Atlas. Genta mengernyitkan kedua alisnya, tidak suka akan pertanyaan Atlas.

“Siapa bilang?” Atlas menciut, ia mengerucutkan bibirnya, air matanya kembali menggenang.

Lagi— Genta menarik Atlas kedalam rengkuhannya. Ia usap surai hitam legam itu dengan penuh kasih.

“Enggak capek. Cuman Genta ikut sedih liat Atlas kayak gini terus.”

Genta renggangkan pelukannya, Genta tangkup pipi Atlas yang tampak lebih kurus dibanding sebelumnya.

“Genta sedih karena sekarang Atlas jadi pendiem. Atlas kalau ada yang bisa dibagi, susahnya, sedihnya, tangisnya, bagi aama Genta ya? Genta disini buat Atlas. Atlas engga sendiri. Sakitnya Atlas itu sakitnya Genta juga.”

Atlas menatap mata Genta yang kini tampak berkaca-kaca. Atlas baru menyadari, ketika ia terlarut dalam rasa sedih dan kecewa akibat keputusan kedua orang tuanya, disini Genta setia menemani Atlas. Berikan segala hal yang Atlas butuhkan. Atlas baru menyadari bahwa Genta sama sakitnya. Genta dan Atlas telah bersama sejak keduanya bayi. Keduanya tumbuh bersama dan habiskan waktu bersama. Tentu melihat Atlas sakit mampu membuat Genta turut rasakan sakitnya.

“Maaf…” Cicit Atlas.

Genta gelengkan kepalanya, air matanya meluruh begitu saja. Genta usap air mata yang turun di permukaan wajah Atlas.

No need. Tapi mau janji gak?”

“Janji apa?”

“Janji buat bangkit? Gapapa kalau belum bisa ketemu mami papi atau kak Cia. Tapi selama sama Genta, Atlas jangan berlarut begini terus. Bangkit ya? Genta temenin.”

Atlas terenyuh mendengar kata demi kata yang diutarakan oleh Genta. Ia anggukkan kepalanya tanda menyetujui itu.

“Temenin Atlas ya, Tata?”

Genta mengangguk, “Pasti.”

Apapun hasil dari sidang perceraian yang dilangsungkan, Atlas tidak lagi peduli. Atlas tidak lagi mau gantungkan harapan pada papi dan mami. Atlas mau berdiri dan bangkit, jalan kedepan, tidak lagi menengok kebelakang. Sudah cukup sakitnya, sedihnya, lukanya, tangisnya, sudah cukup. Atlas juga ingin rain bahagianya. Setidaknya Atlas punya Genta, dan itu cukup.