Ello

I

Javier tampak memarkirkan mobil Porsche 911 miliknya lahan kosong yang tersedia. Nara mengedarkan pandangannya pada sekitar, ia hafal betul dengan tempat yang keduanya hampiri sekarang. Base camp tempat Javier, Nara, dan teman-temannya berkumpul semasa SMA. Nara mengerutkan dahinya bingung.

“Kita ngapain kesini?” Javier hanya tersenyum, tidak berniat menjawab pertanyaan sang kekasih.

Javier bergegas turun dari mobilnya dan berjalan mengitari mobilnya untuk membuka pintu mobil milik Nara. Nara pun turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan memasuki villa yang dahulu menjadi basecamp bagi keduanya dan teman-temannya untuk berbagi kisah.

Javier membuka pintu villa berwarna coklat tua di hadapannya. Dari pintu sudah terdengar suara sumpah serapah serta gelak tawa yang Nara hafal benar siapa pemiliknya. Seluruh teman-temannya disana, membuat Nara semakin dilanda kebingungan.

“Loh ada yang lain juga? Ngapain deh?” Lagi-lagi Javier hanya terdiam dan tersenyum lembut. Ia meraih jemari Nara lalu menariknya untuk berjalan menghampiri teman-temannya.

Suara gelak tawa serta candaan dari sekumpulan anak adam dan hawa itu terhenti sesaat bertepatan dengan hadirnya Javier dan Nara disana.

“Wetsehh ini dia bintang tamu kita. Akhirnya dateng juga.” Haikal orang pertama yang memberi sambutan, diikuti oleh ke delapan temannya yang lain.

Nara tertawa kecil dan ikut berbaur bersama teman-temannya. Setelah mereka berkuliah, mereka jarang bisa berkumpul di basecamp ini karena jaraknya yang cukup jauh dari kampus tempat mereka menggali ilmu.

Javier melepaskan genggamannya, ia tersenyum senang melihat Nara tampak bahagia dan tertawa tanpa beban di ujung sana. Javier tersenyum penuh arti. Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang di belakangnya.

“Mau mulai kapan jav?” Javier menimang-nimang.

“Sekarang juga gapapa sih vell. Usahain senatural mungkin ya? Nanti gue bakal jelasin ke Nara di akhir pokoknya jangan keliatan seolah ini direncanain. Paham kan?” Vella tampak tersenyum lalu mengacungkan jarinya tampak mengerti.

“Siap boss! Serahin semuanya sama gua dan Anya pokoknya lu nanti terima jadi aja!” Javier mengangguk lalu tersenyum simpul.

Thanks vell, emang lu sepupu paling the best deh.” Ucap Javier tulus.

“Lah gue enggak?” Entah sejak kapan Anya telah menguping pembicaraan keduanya. Javier tertawa renyah.

“Iya lu juga dah. Thanks banget, nanti bilang aja mau apa.”

“Kalau mau Nara bakal lu kasih gak?” Tanya Anya, iseng.

Javier menampilkan tatapan horornya. Anya terkikik geli sebelum kembali berucap. “Yaelah santai gue ga demen batangan kali. Tenang oke chill.. gue becanda doang anjir galak bener.”

Vella hanya menggelengkan kepalanya heran. Ia meninggalkan dua sepupu itu di sana dan bergegas menghampiri Nara dan yang lainnya.

“Hai guyss. Liat gue bawa apa?!” Vella memulai pembicaraan.

“Widih camera baru ya? Kok gue baru liat?” Tanya Rendra.

“Iya nih, dibeliin yang mulia Javier Pangestu.” Vella tertawa renyah yang diikuti oleh tawa keenam pria di hadapannya. Sudah sangat terbiasa dengan Javier yang dengan mudah membelikan apa saja pada teman-temannya maupun saudaranya.

“Lebay banget.” Javier tampak menimpali.

“Sirik aja lu. Mending lu semua pose deh ya, gue pengen check kamera! Kita hari ini foto yang banyak. Kebetulan Anya juga bawa kamera. Yuk yuk rapetan!” Vella tampak memberi intruksi.

Hari itu dihabiskan oleh mereka dengan sesi foto bersama. Senyum tak pernah luntur dari belah bibir Nara. Melihat itu Javier ikut tersenyum tulus. Ia berjanji akan berusaha untuk terus mempertahankan senyum indah sang kekasih.


Sesi foto telah berakhir. Kini keenam adam beserta dua hawa itu tampak bergelut dengan aktivitasnya masing-masing. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Pizza sebanyak lima box juga sudah habis dimakan hingga tak tersisa. Nara duduk bersebelahan dengan Javier. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu tegap sang kekasih.

Javier mengelus-elus surai legam milik Nara. Nara pun mendongakkan kepalanya. Tatapan keduanya terkunci.

Pumpkin..” Javier memulai pembicaraan. Netra Nara tidak lepas dari bola mata legam milik Javier.

“Aku emang enggak bisa kasih kamu foto keluarga kayak yang kamu pengen. But, we can built our own family. Disini, keluarga kamu. Ada aku, Haikal, Rendra, Mark, Cakra, dan Julian. Terus ada juga Vella dan Anya. Kita semua disini jadi keluarga kamu. Gapapa, ya? Nanti kita buat keluarga baru lagi. Ada aku, dan anak-anak kita kelak.” Nara tidak dapat membendung air matanya. Ia bergegas berhamburan ke pelukan Javier. Javier tersenyum lalu mengusap bahu bergetar milik sang kekasih.

“Makasih ya vier... when i said i love you, i really meant it. You're my world. Thank you.. thank you so much.” Nara berucap dengan wajah sembab disertai linangan air mata dan dada yang sesenggukan.

Javier mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi sang kekasih. Javier mengangkat tubuh Nara dan memindahkannya ke pangkuannya. Javier tersenyum tulus. Ia arahkan bibirnya pada kening Javier lalu mengecupnya lama.

My pleasure. Kebahagiaan kamu adalah tanggung jawab aku. Aku akan selalu mengusahakan itu. #I love you more, pumpkin.*” Dengan itu Nara kembali beringsut dalam pelukan Javier. Nara mengistirahatkan kepalanya pada dada bidang sang kekasih.

Malam itu ditutup dengan rasa haru. Nara sadar, ia tidak akan pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Ia juga sangat sadar bahwa rasanya tidak akan sama. Tapi, Nara sadar bahwa ia memiliki keluarga lain. Keluarga yang rela memberikan segalanya kepadanya. Termasuk waktu dan kasih sayang. Keluarganya tidak utuh, tapi kini Nara tahu bahwa ada keluarga lain yang dapat menjadi rumahnya, tempatnya berpulang.

Dan yang terpenting, ada Javier disana. Rumah bagi Nara, tempat Nara mengadu. Javier adalah definisi bahagia yang tidak akan terganti oleh harta sebanyak apapun. Javier itu penting, lebih penting dari apapun yang pernah Nara punya.