ㅤ ㅤㅤ Jongseong sadar benar, dunia miliknya dan dunia milik Sunghoon itu sangat bertolak belakang. Dunianya berisik sekali, sedangkan dunia Sunghoon itu sunyi.
ㅤ ㅤㅤ Jongseong sadar benar, dunia miliknya dan dunia milik Sunghoon itu sangat bertolak belakang. Dunianya berisik sekali, sedangkan dunia Sunghoon itu sunyi.
Jongseong sadar benar, dunia miliknya dan dunia milik Sunghoon itu sangat bertolak belakang. Dunianya berisik sekali, sedangkan dunia Sunghoon itu sunyi.
tw // child abuse, family issue.
Jongseong tatap yang lebih muda, jemarinya mengusap pipi halus milik pemuda manis di hadapannya. Seulas senyum Jongseong tunjukkan pada sang terkasih.
“Aku obatin dulu ya, tahan sedikit.” Ucapnya lembut.
“Enggak apa-apa Jongseong, enggak sakit kok. Hati Sunghoon lebih sakit. Rasanya sakit sekali, kayak mau mati.”
Jongseong yang tengan membuka kotak P3K yang selalu ia bawa kemana mana pun termenung. Hatinya berdenyut nyeri mendengar penuturan yang terucap dari bibir manis sang terkasih. Jongseong tatap lamat-lamat mata bulat dengan binar indah itu. Mata bulat yang biasanya memancarkan sinar, kini tampak redup. Jongseong tangkup pipi sang pemuda dengan perlahan, seolah takut menyakitinya.
“Jongseong hapus sakitnya. Ada Jongseong disini. Sunghoon gak sendirian. Jongseong siap 24/7 buat Sunghoon.” Ucapnya lembut.
Yang lebih muda menatap netra legam milik Jongseong. Dianggukkannya kepalanya lucu. Jongseong tersenyum lembut, mendaratkan satu kecupan pada bibir merah sang kekasih, lalu mengusak surainya pelan.
“Bagian mana yang sakit?”
Sunghoon tarik lengan hoodienya, menampilkan lengannya yang dipenuhi lebam biru keunguan. Jongseong meringis melihatnya.
“Hoodienya lepas dulu ya? Pake kaos didalem enggak?” Sunghoon mengangguk.
Sunghoon melepas hoodie hitam yang membungkus tubuhnya. Kaos hitam miliknya sedikit terangkat, menampilkan luka seperti bekas cambukan pada pinggang hingga perut Sunghoon. Sunghoon yang tidak sadar merasa kebingungan karena Jongseong mematung di tempat.
“Kaosnya buka yah. Ada luka juga ya?”
Deg
Sunghoon menunduk. Jongseong meraih jemari Sunghoon lalu mangusap punggung tangannya lembut.
“It's okay, no one will blame you. You still pretty with those scars.” Sunghoon mengangkat wajahnya, menatap nanar mata bulat milik Jongseong. “Am i?”
Tanpa ragu, Jongseong menganggukkan kepalanya pelan. “Yess, you are.” Melihat itu Sunghoon tersenyum. “You're the prettiest human i ever seen in my entire life.” Lanjutnya. Sunghoon terenyuh, ia tatap kembali mata itu, mata yang selalu menatapnya dengan lembut nan teduh. Mata yang sangat indah, poros kehidupannya Sunghoon.
“Terimakasih...” Cicitnya pelan.
Namun, Jongseong dapat dengar dengan jelas. “For what? Kamu memang akan selalu cantik dalan situasi apapun.”
Sunghoon kembali merunduk, Jongseong tersenyum lalu mengusap pipi sehalus sutra milik Sunghoon dengan hati-hati.
“Jongseong bantu buka bajunya, ya?” Sunghoon pun mengangguk mengizinkan.
Jongseong membantu Sunghoon melepas kaos hitam yang membalut tubuh Sunghoon. Disana Jongseong dapat melihat dengan jelas bekas luka-luka milik Sunghoon. Bekas cambukan seperti ikat pinggang besi hingga sedikit berdarah, juga beberapa pukulan seperti menggunakan rotan.
Dengan telaten Jongseong membersihan lalu mengoleskan salep untuk mengobati setiap memar di tubuh Sunghoon. Jongseong tatap dunianya kini, mata bulat itu memandang lantai marmer apartment Jongseong dengan nanar.
“Jongseong enggak bisa kasih pelukan hangat seperti milik bunda. Tapi Jongseong bisa kasih peluk setiap hari. Jongseong bisa kasih Sunghoon setiap cinta yang selama ini belum Sunghoon rasain di keluarga.”
Sunghoon memandang netra kekasihnya dengan mata berair. Melihat hal itu, Jongseong segera memakaikan terlebih dahulu kaus kebesaran miliknya, agar lebih hangat dan tidak melukai kulit Sunghoon. Setelahnya Jongseong tuntun Sunghoon agar duduk di pangkuannya.
“I'm here.” Ucapnya lembut.
Sunghoon jatuhkan kepalanya pada pundak sang kekasih, menghirup dalam dalam aroma fabric milik Jongseong. Tangannya melingkar sempurna pada pinggang Jongseong. Dengan gerakan pelan, Jongseong mengusap usap punggung Sunghoon. Sesekali desisan keluar dari bibir ranum itu.
“Mau cerita? Tadi bunda sama ayah ngapain Sunghoon?”
Sunghoon terdiam, ia semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. Jongseong paham, Sunghoonnya belum siap untuk bercerita.
“It's okay baby, take your time. I'm here.” Jongseong mengusap kepala belakang Sunghoon dengan gerakan teratur.
Suasana kembali hening, Jongseong yang masih berusaha beri afeksi yang dia mampu, serta Sunghoon yang terdiam dengan pikiran yang berkelana kesana kemari.
“Jongseong...” Cicit Sunghoon pelan.
“Hmm?”
“Pasti indah ya kalau tinggal diantara keluarga yang saling mencintai.” Lirih Sunghoon.
Jongseong menghentikan sesaat usapan lembut pada kepala belakang sang kekasih. Sunghoon kembali menegakkan badannya, dapat Jongseong lihat bagaimana hidungnya yang memerah karena menangis, bibirnya yang terluka karena terus menahan isakan, serta mata bulatnya yang memerah dengan bening kristal yang turun membasahi wajahnya.
Jongseong tatap sekali lagi semestanya. Jongseong tangkup pipi gembil itu. Ia usap air matanya dengan jemari besarnya.
“Sunghoon nangis aja gapapa. Nangis jangan ditahan ya? Jangan digigit lagi bibirnya.” Dengan itu Sunghoon menangis sejadi-jadinya. Air mata itu terus turun diserta isakan pilu yang keluar dari bibir cantik Sunghoon.
Nafas Sunghoon sampai tersenggal. Tangisannya terdengar begitu menyakitkan. Bahkan Jongseong tidak tega. Namun ia tidak mungkin menyuruh kekasihnya untuk berhenti menangis, karena Sunghoonnya pasti lelah. Sunghoonnya butuh istirahat. Sunghoonnya butuh didengar.
Dan Jongseong dengan senang hati melakukan itu, walau di tengah pagi buta sekalipun. Jongseong akan selalu hadir, bahkan ketika dirinya sedang pergi dengan orang lain. Jongseong pada akhirnya akan selalu datang.
“Jongseong capek gak sama Sunghoon?” Sunghoon kembali berbicara setelah dirasa tangisnya mulai mereda.
“Enggak ada satu hari pun Jongseong ngerasa capek sama Sunghoon. Jongseong sayang banget sama Sunghoon. Sunghoon itu dunianya Jongseong.” Ucapnya lembut, lembut sekali.
Tidak apa-apa jika dunia membenci Sunghoon. Tidak apa-apa juga jika bunda dan ayah selalu melayangkan cacian, makian, bahkan menorehkan sejumlah luka di tubuh Sunghoon. Sunghoon sungguh tidak benci. Selama ada Jongseong, Sunghoon tidak akan apa-apa.
Setidaknya untuk sekarang. Semesta, terima kasih telah menghadirkan Jongseong di hidup Sunghoon.
© oce
tw // child abuse, family issue.
Jongseong tatap yang lebih muda, jemarinya mengusap pipi halus milik pemuda manis di hadapannya. Seulas senyum Jongseong tunjukkan pada sang terkasih.
“Aku obatin dulu ya, tahan sedikit.” Ucapnya lembut.
“Enggak apa-apa Jongseong, enggak sakit kok. Hati Sunghoon lebih sakit. Rasanya sakit sekali, kayak mau mati.”
Jongseong yang tengan membuka kotak P3K yang selalu ia bawa kemana mana pun termenung. Hatinya berdenyut nyeri mendengar penuturan yang terucap dari bibir manis sang terkasih. Jongseong tatap lamat-lamat mata bulat dengan binar indah itu. Mata bulat yang biasanya memancarkan sinar, kini tampak redup. Jongseong tangkup pipi sang pemuda dengan perlahan, seolah takut menyakitinya.
“Jongseong hapus sakitnya. Ada Jongseong disini. Sunghoon gak sendirian. Jongseong siap 24/7 buat Sunghoon.” Ucapnya lembut.
Yang lebih muda menatap netra legam milik Jongseong. Dianggukkannya kepalanya lucu. Jongseong tersenyum lembut, mendaratkan satu kecupan pada bibir merah sang kekasih, lalu mengusak surainya pelan.
“Bagian mana yang sakit?”
Sunghoon tarik lengan hoodienya, menampilkan lengannya yang dipenuhi lebam biru keunguan. Jongseong meringis melihatnya.
“Hoodienya lepas dulu ya? Pake kaos didalem enggak?” Sunghoon mengangguk.
Sunghoon melepas hoodie hitam yang membungkus tubuhnya. Kaos hitam miliknya sedikit terangkat, menampilkan luka seperti bekas cambukan pada pinggang hingga perut Sunghoon. Sunghoon yang tidak sadar merasa kebingungan karena Jongseong mematung di tempat.
“Kaosnya buka yah. Ada luka juga ya?”
Deg
Sunghoon menunduk. Jongseong meraih jemari Sunghoon lalu mangusap punggung tangannya lembut.
“It's okay, no one will blame you. You still pretty with those scars.” Sunghoon mengangkat wajahnya, menatap nanar mata bulat milik Jongseong. “Am i?”
Tanpa ragu, Jongseong menganggukkan kepalanya pelan. “Yess, you are.” Melihat itu Sunghoon tersenyum. “You're the prettiest human i ever seen in my entire life.” Lanjutnya. Sunghoon terenyuh, ia tatap kembali mata itu, mata yang selalu menatapnya dengan lembut nan teduh. Mata yang sangat indah, poros kehidupannya Sunghoon.
“Terimakasih...” Cicitnya pelan.
Namun, Jongseong dapat dengar dengan jelas. “For what? Kamu memang akan selalu cantik dalan situasi apapun.”
Sunghoon kembali merunduk, Jongseong tersenyum lalu mengusap pipi sehalus sutra milik Sunghoon dengan hati-hati.
“Jongseong bantu buka bajunya, ya?” Sunghoon pun mengangguk mengizinkan.
Jongseong membantu Sunghoon melepas kaos hitam yang membalut tubuh Sunghoon. Disana Jongseong dapat melihat dengan jelas bekas luka-luka milik Sunghoon. Bekas cambukan seperti ikat pinggang besi hingga sedikit berdarah, juga beberapa pukulan seperti menggunakan rotan.
Dengan telaten Jongseong membersihan lalu mengoleskan salep untuk mengobati setiap memar di tubuh Sunghoon. Jongseong tatap dunianya kini, mata bulat itu memandang lantai marmer apartment Jongseong dengan nanar.
“Jongseong enggak bisa kasih pelukan hangat seperti milik bunda. Tapi Jongseong bisa kasih peluk setiap hari. Jongseong bisa kasih Sunghoon setiap cinta yang selama ini belum Sunghoon rasain di keluarga.”
Sunghoon memandang netra kekasihnya dengan mata berair. Melihat hal itu, Jongseong segera memakaikan terlebih dahulu kaus kebesaran miliknya, agar lebih hangat dan tidak melukai kulit Sunghoon. Setelahnya Jongseong tuntun Sunghoon agar duduk di pangkuannya.
“I'm here.” Ucapnya lembut.
Sunghoon jatuhkan kepalanya pada pundak sang kekasih, menghirup dalam dalam aroma fabric milik Jongseong. Tangannya melingkar sempurna pada pinggang Jongseong. Dengan gerakan pelan, Jongseong mengusap usap punggung Sunghoon. Sesekali desisan keluar dari bibir ranum itu.
“Mau cerita? Tadi bunda sama ayah ngapain Sunghoon?”
Sunghoon terdiam, ia semakin menenggelamkan wajahnya di ceruk leher sang kekasih. Jongseong paham, Sunghoonnya belum siap untuk bercerita.
“It's okay baby, take your time. I'm here.” Jongseong mengusap kepala belakang Sunghoon dengan gerakan teratur.
Suasana kembali hening, Jongseong yang masih berusaha beri afeksi yang dia mampu, serta Sunghoon yang terdiam dengan pikiran yang berkelana kesana kemari.
“Jongseong...” Cicit Sunghoon pelan.
“Hmm?”
“Pasti indah ya kalau tinggal diantara keluarga yang saling mencintai.” Lirih Sunghoon.
Jongseong menghentikan sesaat usapan lembut pada kepala belakang sang kekasih. Sunghoon kembali menegakkan badannya, dapat Jongseong lihat bagaimana hidungnya yang memerah karena menangis, bibirnya yang terluka karena terus menahan isakan, serta mata bulatnya yang memerah dengan bening kristal yang turun membasahi wajahnya.
Jongseong tatap sekali lagi semestanya. Jongseong tangkup pipi gembil itu. Ia usap air matanya dengan jemari besarnya.
“Sunghoon nangis aja gapapa. Nangis jangan ditahan ya? Jangan digigit lagi bibirnya.” Dengan itu Sunghoon menangis sejadi-jadinya. Air mata itu terus turun diserta isakan pilu yang keluar dari bibir cantik Sunghoon.
Nafas Sunghoon sampai tersenggal. Tangisannya terdengar begitu menyakitkan. Bahkan Jongseong tidak tega. Namun ia tidak mungkin menyuruh kekasihnya untuk berhenti menangis, karena Sunghoonnya pasti lelah. Sunghoonnya butuh istirahat. Sunghoonnya butuh didengar.
Dan Jongseong dengan senang hati melakukan itu, walau di tengah pagi buta sekalipun. Jongseong akan selalu hadir, bahkan ketika dirinya sedang pergi dengan orang lain. Jongseong pada akhirnya akan selalu datang.
“Jongseong capek gak sama Sunghoon?” Sunghoon kembali berbicara setelah dirasa tangisnya mulai mereda.
“Enggak ada satu hari pun Jongseong ngerasa capek sama Sunghoon. Jongseong sayang banget sama Sunghoon. Sunghoon itu dunianya Jongseong.” Ucapnya lembut, lembut sekali.
Tidak apa-apa jika dunia membenci Sunghoon. Tidak apa-apa juga jika bunda dan ayah selalu melayangkan cacian, makian, bahkan menorehkan sejumlah luka di tubuh Sunghoon. Sunghoon sungguh tidak benci. Selama ada Jongseong, Sunghoon tidak akan apa-apa.
Setidaknya untuk sekarang. Semesta, terima kasih telah menghadirkan Jongseong di hidup Sunghoon.
© oce
27 Agustus 2019 : Ospek Jurusan
Deva menatap layar ponselnya dengan kesal. Sudah berkali-kali Deva berusaha untuk memesan ojek online melalui aplikasi, namun selalu saja dibatalkan sepihak oleh drivernya sesaat setelah menerima pesanan. Waktu telah menunjukkan pukul enam lewat empat puluh menit, namun tidak ada tanda-tanda bahwa salah satu driver akan menerima pesanannya.
“Anjinglah.” Umpatnya kesal.
Belum selesai rasa kesalnya pada aplikasi online berwarna hijau itu, kini Deva kembali dibuat kesal saat sebuah motor melaju dengan cepat hingga menyipratkan air yang menggenang di atas kubangan kearah Deva. Kemeja putih Deva kini telah basah oleh cipratan air tersebut. Deva mengumpat kesal.
“WOI KALO NYETIR LIAT-LIAT DONG!!!” Teriaknya dengan kesal. Namun tentu saja sang pengendara motor tak mengindahkannya.
Deva melempar kerikil di dekatnya. Ia menggeram kesal, dalam hati rasanya ingin menangis. Ia tidak tahu bagaimana nasibnya sekarang. Hingga sebuah motor CBR berwarna merah berhenti tepat di depannya. Deva yang sudah dilanda amarah yang meletup-letup hendak melayangkan protes.
“Apa lagi sih ini?!” Batinnya kesal.
Si pengendara motor menaikkan kaca helm full face miliknya. Dari matanya, Deva hafal betul siapa pemilik motor itu. Itu Arsen, pemuda yang belakangan ini telah menarik atensi Deva bahkan sejak pertama kali eksistensinya terlihat di penglihatan Deva.
“Buruan naik, udah telat.” Sejujurnya Deva bingung, namun karena dipacu oleh waktu, ia tidak banyak bertanya. Tanpa babibu, Deva segera menaiki motor milik Arsen.
Arsen melajukan motornya dengan kecepatan penuh. Jantung Deva rasanya ingin lepas. Dalam hati Deva merapalkan doa serta permintaan maaf pada anggota keluarganya jika ajal akan menjemputnya hari ini. Tanpa sadar, tangan Deva telah melingkar sempurna pada perut Arsen. Deva mengeratkan pelukannya. Arsen pun tidak banyak berkomentar, ia tidak menolak maupun bertanya.
Tujuh menit berlalu, akhirnya motor CBR milik Arsen terparkir sempurna di halaman parkir universitas tempat keduanya akan menimba ilmu. Belum sempat Deva melayangkan protes, jemarinya telah digenggam oleh Arsen. Setelahnya Arsen menariknya untuk memasuki kampus menuju kamar mandi terdekat. Tentu saja Deva kebingungan.
“Sen! Ngapain kesini?! Kita udah telat banget ayo kelapangan!!” Deva berujar dengan panik. Deva melupakan baju putihnya yang kini dihiasi oleh noda bekas genangan air tadi.
Arsen tak banyak berkomentar, ia segera membuka tas ransel miliknya lalu menyerahkan sebuah kemeja putih. Jemari Arsen terulur untuk menyerahkan kemeja putih itu ke arah Deva. Deva diam seribu bahasa, ia menatap netra legam milik Arsen. Melihat Deva tak merespon, Arsen segera meraih pergelangan tangan Deva untuk menerima kemeja miliknya.
“Ini cepetan ganti. Kita udah terlambat. Nanti makin berat hukumannya.” Tutur Arsen. Deva mengerjapkan matanya berkali-kali, ia masih berusaha memproses kejadian dihadapannya.
Arsen pun terkekeh, setelahnya ia membalikkan tubuh Deva lalu mendorongnya pelan menuju bilik kamar mandi untuk segera mengganti kemejanya. Mendapat perlakuan seperti itu, akhirnya Deva kembali tersadar dari lamunannya dan bergegas mengganti kemejanya.
Deva melangkahkan kakinya dengan ragu, sepanjang jalan ia terus merundukkan kepalanya. Lain hal dengan Arsen, ia setia menegakkan kepalanya. Kini keduanya telah memasuki lapangan, tentu kedatangan mereka menyulut amarah panitia ospek hari ini, terutama Komdis. Deva sudah membayangkan serentetan hukuman serta berapa poin yang akan dikurangi padanya. Ia hanya dapat meringis dan pasrah saja jika nanti ia terpaksa tidak lulus ospek tahun ini.
“Tegakkin badan kamu! Memangnya lantai lebih baik dari saya?!”
Dalam satu hentakkan Deva menegakkan kepalanya. Netranya dapat melihat raut tidak suka dari ketua komdis. Ketua komdis itu pun bersuara dengan lantang.
“Kemarin saya bilang apa soal keterlambatan?!” “Tidak boleh ada yang terlambat atau poin seluruh peserta orientasi mahasiswa baru akan dikurangi, kak!” Sahut seluruh mahasiswa. “Kalian berdua dengar?” “Dengar kak.” Kali ini Arsen yang berucap dengan lantang. “Kamu yang disebelahnya, dengar tidak?!” “Dengar kak!” “Sekarang sebagai hukumannya, seluruh mahasiswa akan saya kurangi poinnya, setuju?!”
Hening. Deva meremat kuat-kuat celana hitam miliknya. Jemarinya kini telah berkeringat dingin, matanya mulai memanas. Perasaan bersalah disertai perasaan terpojokkan hinggap dalam diri Deva. Tangannya sudah bergetar hebat, diikuti kakinya.
“Tidak setuju kak! Karena ini kelalaian yang saya dan Deva lakukan, kami bersedia untuk menanggung hukuman atas perbuatan kami, kak.” Arsen berujar dengan tegas “Loh? Kalian ini kan satu! Ingat itu! Mana solidaritas kalian sebagai teman satu angkatan?!”
Suasana kembali hening, masing-masing mahasiswa tampak merunduk takut. Semua telah pasrah akan hukuman yang mungkin saja akan mereka jalani.
“Mohon maaf kak atas keterlambatan kami. Kami bersedia menanggung hukuman serta pengurangan poin kami.” Arsen kembali menjawab. “Saya lihat-lihat dari kemarin kamu berani juga, ya?” Ketua komdis itu tampak menghampiri Arsen. Deva hanya tertunduk, tidak berani melakukan apa-apa. “Baik atas permintaan kamu, kamu dan Deva lari mengelilingi lapangan sebanyak tiga puluh kali sambil menyanyikan mars kampus kita tercinta. Sudah hafal kan?!” “Hafal kak!”
Arsen melirik Deva, memberikan senyuman terbaik miliknya seolah menenangkan Deva. Arsen dan Deva mulai berlari berkeliling lapangan dihadapan mahasiswa baru lainnya.
“Wow anak Fakultas Seni Rupa dan Design tahun ini ternyata sangat apatis ya. Lihat temannya berlari malah asik nonton, iya? Solid sekali ya.”
Suasana lagi-lagi hening, hingga sebuah suara berteriak dengan lantang.
“Interupsi kak. Kami ini satu, jadi saya rasa sangat tidak adil jika hanya Arsen dan Deva saja yang dihukum.” “Siapa nama kamu?” “Jupiter Arlo Dharmendra, kak.” “Baik kalau begitu, silahkan ikutin kedua teman kamu.”
Jupiter melangkah dan mulai berlari di belakang Arsen dan Deva. Namun ternyata Jupiter tidak sendirian, dibelakangnya seorang pria dengan tubuh tegap dan paras yang tak kalah menawan ikut berlari dibelakangnya.
Pada awalnya mereka hanya berempat, lalu lambat laun menjadi bersepuluh, hingga akhirnya setengah dari jumlah mahasiswa baru telah ikut berlari menemani Arsen dan Deva. Rasa takut dan rasa bersalah yang Deva rasakan perlahan terkikis akan hadirnya teman-temannya.
“Oke, BERHENTI!” Dengan itu semua peserta orientasi mahasiswa baru yang sedang berlari, mulai berhenti. “Kembali ke barisan kalian masing-masing!”
Dengan kelabakan seluruh calon mahasiswa baru kembali ke barisan masing-masing dan berbaris dengan tertib. Acara ospek jurusan pun berlangsung, pengecekan barang-barang yang telah dilakukan, kembali dilakukan.
Deva menatap punggung tegap yang berdiri tepat di depannya. Jika Arsen tidak menemaninya, ia tidak tahu akan jadi apa dirinya tadi. Sungguh, Arsenio dengan sejuta kejutannya membuat dada Deva kembali berdesir. Detik itu, Deva semakin menjatuhkan hatinya pada sesosok pria yang kini tengah berdiri tegap di depannya. Cerita kisah romansa Lester Arsenio Ivander dengan Cashel Devandra Qavi pun dimulai.
20 Agustus 2019
Matahari berinar begitu terik, Deva mengangkat lengan kirinya tempat arloji berwarna beige miliknya melingkar indah di pergelangan tangannya. Jarum pendek pada arloji itu menunjukkan pada angka dua belas tepat, pantas saja matahari terasa begitu terik menusuk kulit. Deva yakin kulit putih bak porselen miliknya kini telah berubah warna menjadi kemerahan. Dalam hati Deva menggerutu sebal, pasalnya hari ini seluruh mahasiswa baru harus menerima hukuman atas keterlambatan yang dilakukan oleh segelintir orang. Tidak hanya menerima hukuman, sepanjang empat jam terakhir komdis terus berceloteh dengan suara lugas dan lantang.
“Kalian paham kan salahnya dimana?!” Bentak salah satu komdis. “Siap, paham kak!” Ucap seluruh mahasiswa baru serentak. “Coba kalua paham, satu orang jelaskan kesalahan kalian apa?”
Hening. Tak ada seorang pun yang berani berbicara. Hal ini tentu menyulut amarah Ketua Komdis.
“Kalau gak ada yang mau bicara, saya tidak akan membubarkan barisan. Biar saja kalian sampai jam enam sore berdiri di lapangan. Mau?!”
Suasana tetap hening, seluruh mahasiswa baru masih tidak ada yang berani menyahuti. Beberapa mahasiswa terlihat melirik satu dengan yang lain, seolah menunjuk temannya untuk menjawab pertanyaan yang diutarakan oleh sang ketua komdis. Dalam hati Deva berharap agar proses orientasi mahasiswa baru hari ini dapat segera selesai. Ia berharap ada seorang penyelamat yang dapat menyelamatkan mereka semua dari terik matahari siang ini. Karena sungguh, Deva sudah tidak kuat lagi menahan panas lebih lama lagi. Bajunya kini telah basah oleh keringat. Belum lagi rambutnya yang semula tertata rapih kini telah lepek diikuti oleh peluh yang meluncur bebas di pelipisnya.
“Kalian bisa dengar gak? Tadi kak Januar bilang apa?! Telinga kalian masih berfungsi kan? Jawab!” “MASIH KAK.” “Jadi satu orang, sebutkan kesalahan kalian!” Kali ini ketua Komdis yang Bernama Januar kembali bersuara dengan lebih lantang.
Deva merunduk, ia sangat yakin tidak mungkin ada orang yang berani maju dan menyuarakan kesalahan mereka. Deva rasanya sudah pasrah saja jika ia dan mahasiswa baru lainnya akan dijemur hingga pukul enam sore nanti. Sungguh—Deva ingin merutuki siapapun yang terlambat pada ospek hari pertama ini. Sekarang kakinya sudah kebas dan pegal luar biasa. Bagaimana tidak, selama empat jam mereka tidak boleh untuk bergerak. Menggoyangkan kaki saja akan menuai amarah komdis, apalagi merenggangkan otot kaki.
Namun sepertinya semesta masih menyayanginya kali ini. Seolah semesta mengerti bahwa ia dan teman-teman lainnya telah kelelahan. Seseorang yang berdiri tidak jauh dari barisannya kini mengangkat tangannya. Dengan suara yang lugas dan tegas, ia menyuarakan kesalahan yang dilakukan oleh segelintir orang pada ospek hari pertama ini.
“Ya, kamu yang angkat tangan. Coba sebutkan kesalahan fatal kalian?” “Kami teledor kak, tidak memperhatikan satu sama lain hingga ada yang terlambat masuk pada ospek hari pertama ini.” Pria itu menatap lurus kedepan tanpa rasa takut sedikitpun. “Bagus, selain itu ada lagi?”
Suasana kembali hening. Seluruh mahasiswa baru tidak ada yang berani bersuara. Secercah harapan bahwa hukuman akan segera berhenti pun kini sirna dari benak Deva. Ia menyumpahi berbagai makian kepada para panitia ospek yang begitu kejam pada mereka kali ini.
“Beberapa orang tidak mengenakan atribut yang sesuai, kak. Ada pula yang tidak membawa barang yang telah ditentukan sebelumnya. Saya atas nama teman-teman saya mohon ampun atas keluputan kami dalam proses ospek hari pertama ini, kak.” Lagi, pria yang sama itu masih menyuarakan kesalahan yang dilakukan oleh teman angkatannya dengan lugas, tanpa rasa takut sedikit pun. “Siapa nama kamu?” “Lester Arsenio Ivander, dari kelompok Maluku kak.” “Sesuai yang disebut oleh Lester, kalian sudah memahami apa kesalahan kalian?!” “Siap, paham kak!” “Kalian diizinkan untuk beristirahat. Namun tidak ada yang boleh keluar dari lapangan ini. Silahkan duduk di lapangan ini. Saya berikan waktu tiga puluh menit untuk kalian beristirahat sejenak. Cukup?” “Siap, cukup kak!”
Setelahnya seluruh mahasiswa baru langsung terduduk di atas lapangan hari itu. Beberapa kembali bergerombol dengan kelompoknya. Deva yang saat itu tidak memiliki teman hanya dapat memandang sekitarnya yang kini telah berbaur dengan kelompoknya masing-masing. Merasa tenggorokannya kering, Deva mengambil air mineral di dalam tas nya dan meneguknya hingga tandas tak tersisa. Sinar matahari semakin terik, Deva mengusap peluhnya dengan telapak tangan miliknya. Tetesan-tetesan keringat miliknya berlomba-lomba turun membasahi wajahnya. Hingga secara tiba-tiba seseorang duduk di depannya.
Dari belakang, deva dapat memandang bahu tegap milik pria itu. Tubuhnya yang besar mampu menutupi teriknya sinar matahari yang semula mengarah langsung pada tubuh Deva. Deva memandang kembali punggung tegap itu. Akhirnya ia teringat, pria itu adalah pria yang dengan lantang menjawab kesalahan segelintir orang saat komdis menatar mereka beberapa menit yang lalu.
Deva memandang takjub punggung tegap itu. Dua kali, untuk kedua kalinya pria itu seolah menyelamatkan dirinya. Yang pertama, aksi heroiknya menjawab dengan lantang atas kesalahan yang dilakukan teman-temannya. Dan, yang kedua menghalangi teriknya sinar matahari dengan tubuhnya.
Netra Deva terpusat pada tetesan keringat yang jatuh dari rambut milik pemuda itu hingga menuruni lehernya. Kemeja putih miliknya pun kini telah basah oleh keringat, hingga kaus dalam miliknya terekspos dengan sempurna.
Merasa tidak enak, Deva pun memberanikan diri untuk bertanya pada sang empu.
“Hallo… Lester? Lo kepanasan ya…? Pindah aja, itu baju lo udah basah banget.” Ucap Deva pelan setelah menepuk punggung pemuda itu tiga kali.
Sang empu nama pun membalikkan tubuhnya. Kini matahari langsung mengenai punggung tegap miliknya. Dan dengan itu, Deva membeku di tempat. Ia memandangi pahatan sempurna pada setiap garis wajah milik pemuda di hadapannya. Pemuda itu tersenyum kecil.
“Gausah liatin segitunya kali, nanti naksir.” Mendengar seruan penuh percaya diri milik pemuda itu, Deva memutar bola matanya malas. “Bercanda. Panggil Arsen aja. Gue biasa dipanggil Arsen. And then lo?”
Deva mengangkat nametag miliknya. “Panggil gue Deva aja.”
Arsen mengangguk, seulas senyum ia lontarkan pada pemuda yang baru ia kenal. “Namanya cantik.”
Dengan itu, jantung Deva bertalu tiga kali lipat lebih cepat dari biasanya. Deva merutuki dirinya sendiri, dengan mudah tersipu dengan kalimat pujian dari pria tengil dihadapannya.
“Buaya.” Balasnya kesal.
Sang lawan bicara hanya terkekeh pelan, jemarinya terulur untuk mengusak rambut coklat milik Deva. Lagi, hati Deva berdesir. Perasaan aneh itu tumbuh di relung hatinya. Merasa canggung, Deva berusaha mencairkan suasana.
“Lo kan tadi di barisan sana, kenapa pindah kesini deh? Disana lebih adem?”
Arsen mengendikkan bahunya, sebelum menjawab ucapan Deva. “Tadi gue lagi liatin sekitar. Terus gue liat lo kepanasan. Pantes aja sih mataharinya langsung ngarah ke lo. Mukanya juga udah merah banget kayak tomat rebus. Jadi yaudah, gue halangin aja. Kasian lagi, nanti muka lo makin kaya tomat yang siap dimakan tuh.”
Deva bingung, antara harus kesal, marah, malu, atau tersipu karena Arsen memperhatikannya bahkan mengorbankan dirinya sendiri menutupi jalur terik matahari untuk mengenai tubuh Deva.
Namun Deva memilih opsi kedua. “Tomat rebus apaan sih?! Gajelas banget.”
Arsen terkekeh saja mendengar penuturan Deva, belum sempat Arsen kembali melontarkan kalimat lainnya—yang mungkin mampu memicu degup jantung Deva bertalu lebih cepat dari ini. Suara lantang panitia ospek kembali menginterupsinya. Akhirnya setiap anak kembali ke barisannya masing-masing. Menyisakan Deva dengan kupu-kupu yang bertebaran di perutnya.
Hari itu, dua puluh agustus 2019, Cashel Devandra Qavi jatuh cinta sendirian pada sosok pemuda tengil dengan nama Lester Arsenio Ivander. Percakapan yang tidak selesai itu terhenti. Hari itu, sepulang dari ospek hari pertama yang melelahkan, Deva pulang dengan satu nama yang telah mengisi relung hatinya. Perasaan Lelah itu hilang, pikirannya terasa penuh dengan figur wajah Lester Arsenio Ivander.
tw // fight, blood, rape, 🔞.
Hari ini mentari bersinar begitu terik, cuaca terasa sangat bersahabat seakan mendukung dua insan yang memiliki rencana untuk menghabiskan waktu berdua. Di dalam sebuah bilik di gedung Apartment tampak seonggok pria tengah mempersiapkan dirinya. Ia tampak memilah pakaian apa yang paling cocok ia kenakan untuk pergi hari ini. Netranya jatuh pada leather jaket beserta kaos berwarna putih polos serta suit pants membalut kakinya. Gabriel menatap pantulan dirinya di kaca, seakan puas akan busananya hari ini. Ia menyemprotkan parfum miliknya ke tubuhnya, lalu setelahnya ia tersenyum puas akan penampilannya yang menurutnya sudah sangat sempurna kini.
“Dah ganteng, waktunya jemput si cantik Akbel.” Ucapnya dengan senyum mengembang.
Gabriel melangkahkan kakinya menuju tempat dimana mobilnya diparkirkan. Ia menaiki mobilnya dan melajukan mobil tersebut membelah kota. Lalu lintas cukup padat, membuat perjalanan Gabriel harus memakan waktu lebih lama dari biasanya. Hal ini tidak menurunkan moodnya. Ia sangat bersemangat hari ini.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, berkisar 30 menit. Akhirnya mobil Gabriel terparkir dengan sempurna di depan rumah sang kekasih, Arsena. Ia bergegas turun dari mobilnya dan memasuki rumah yang cukup mewah milik sang kekasih. Ia langkahkan kakinya dengan senyum mengembang, diketuknya pintu rumah bercat cokelat tua tersebut.
Tok tok tok
Seorang pria tampak membuka pintu rumah tersebut. Gabriel hapal benar dengan pria dihadapannya, dibawanya Gabriel ke dalam dekapannya lalu dikecupnya pucuk kepala Gabriel singkat.
“Akbelnya belum siap. Yuk masuk dulu.” Ucapnya lembut yang diangguki Gabriel dengan pelan. Ia pun mengekori pria tersebut ke dalam rumah minimalis tersebut.
“KAK GAB TUNGGU YA AKU BELOM SIAP DIKIT LAGI.” Teriak seorang gadis dari lantai dua.
“Iyaa santai aja Akbel. Dandan yang cantik ya!” Kali ini Gabriel sedikit berteriak agar Akbel dapat mendengar suaranya.
“Ini rumah perasaan bukan hutan deh.” Seseorang tampak menginterupsi aksi Akbel dan Gabriel itu.
“Berisik dah lu.” Sungut Gabriel kesal. Arsena hanya terkekeh melihat wajah kesal sang kekasih.
“Eh lu belum berangkat emang? Kan bukannya ngisi seminar?”
“Iya ini mau berangkat kok. Yaudah lu hati-hati nanti ya. Have fun kalian berdua. Gua duluan. Nanti gausah pamit bunda, soalnya bunda sama ayah lagi pergi jalan tadi berdua.” Gabriel yang mengerti pun menganggukkan kepalanya. Setelahnya Arsena bergegas keluar rumah dan menaiki motornya menuju tempat dimana seminar akan dilangsungkan.
Tak lama berselang Akbel turun dengan sedikit tergesa. Kali ini Akbel mengenakan baju crop top tak berlengan berwarna tosca beserta celana panjang berwarna senada yang membalut kaki jenjangnya. Rambutnya digerai dengan sempurna dengan makeup tipis menambahkan kesan menawan pada gadis delapan belas tahun itu. Gabriel tersenyum melihat penampilan adik kekasihnya itu.
As usual, she's always perfect.
“Kak, yuk!” Akbel bergegas berjalan keluar diikuti oleh Gabriel di belakangnya.
Setelah Akbel selesai mengunci rumahnya, ia bergegas duduk di bangku penumpang tepat di sebelah Gabriel.
“Udah siap? Pake seatbelt-nya, biar kakak jalanin mobilnya.” Akbel menurut dan bergegas memasang seatbelts nya.
Selama perjalanan, suasana mobil tidak pernah hening. Keduanya melontarkan candaan serta tawa dari kedua belah bibir keduanya. Jalanan kota yang macet tak membuat keduanya bosan, keduanya menikmati waktu yang ada berdua.
Setelah memakan waktu sekitar 45 menit, mobil Gabriel telah terparkir sempurna di salah satu Mall di pusat kota. Akbel dan Gabriel bergegas turun dan berjalan santai menuju mall tersebut. Agenda Akbel dan Gabriel hari ini adalah membeli beberapa peralatan gambar untuk Akbel serta buku novel yang telah Akbel incar sejak lama. Gabriel tidak mengeluh sama sekali saat Akbel memilih buku-buku sedikit lama. Gabriel ikut memberikan pendapat saat Akbel bertanya padanya. Setelah selesai dengan semua urusannya, Akbel dan Gabriel memutuskan untuk mengisi perut mereka. Pasalnya mereka telah memutari mall kurang lebih tiga jam. Sekarang keduanya membutuhkan sedikit tenaga tambahan untuk melanjutkan acara mereka hari ini.
“Kamu mau makan apa?” Akbel tampak menimbang-nimbang mengenai apa yang hendak keduanya makan.
“Bebas deh. Kak Gab emang mau makan apa? Aku ikut aja.” Gabriel berfikir sejenak.
“Steak gimana?” Akbel pun menyetujuinya. Keduanya berjalan menuju salah satu kedai steak di Mall tersebut.
Setelah memesan makanan serta minuman yang hendak dimakan, Gabriel membuka ponselnya berniat memberikan kabar pada kekasihnya walau ia tahu pesannya tidak akan dibalas karena sang kekasih tengah mengisi seminar. Namun Gabriel tetap mengirimi pesan serta memberikan semangat pada sang kekasih.
Tanpa Gabriel sadari, tepat di belakang mereka terdapat sekumpulan pria berumur sekitar 20an. Mereka tampak menatap Akbel dengan tatapan lapar. Mereka saling menyikut satu sama lain. Netra sekumpulan pria tersebut berfokus pada pinggang mulus Akbel yang terekspos karena kini ia tengah mengenakan baju crop top. Hal itu tentu saja disadari oleh Akbel. Ia bergerak dengan tidak nyaman di tempatnya. Hal tersebut membuat Gabriel menyadari raut tidak menyenangkan yang tampil di wajah Akbel.
“Akbel, kenapa?” Tanyanya lembut. Akbel memilih diam tak bersuara. Netra Gabriel terpusat pada sekumpulan pria di belakang Akbel yang kini menatap Akbel dengan pandangan lapar. Beberapa diantaranya tampak bersiur sambil mengeluarkan senyuman miring seolah menggoda.
Hal itu membuat Gabriel geram. Ia pun bergegas melepas leather jaketnya, menyisakan kaus putih polosnya lalu memasangkannya di tubuh Akbel. Akbel yang terkejut pun memilih untuk mengenakan jaket milik kekasih kakaknya itu.
“Mau pindah aja bel?” Akbel menggeleng pelan. Tatapan para pria tersebut tampak mencemooh kearah Gabriel. Lalu akhirnya berangsur menghilang. Akbel dapat bernafas lega setelahnya.
Tak lama berselang, makanan pesanan mereka tiba. Keduanya kembali makan dengan suasana yang hangat. Gabriel berusaha mencairkan suasana guna membuat Akbel kembali nyaman. Hal itu berhasil. Akbel seolah lupa dengan perasaan tak nyaman yang sebelumnya ia rasakan karena sekumpulan pria tersebut.
Setelah berbincang cukup lama dan menghabiskan makanan keduanya, Akbel dan Gabriel memutuskan untuk pulang dikarenakan waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Sebelum pulang Gabriel tampak mengabari sang kekasih dan dibalas sang kekasih dengan ucapan hati-hati dijalan.
Saat di perjalanan menuju ke parkiran, keduanya kembali melontarkan candaan. Jika orang lain tak mengetahui status keduanya, pasti orang akan berfikir kalau Gabriel dan Akbel berpacaran dan sedang melakukan date di hari kamis malam.
Akbel dan Gabriel berjalan denga santai menuju tempat dimana mobil Gabriel diparkirkan.
“Wow ada si cewek sexy. Ketemu lagi kita.” Seorang pria tampak menginterupsi jalan Akbel dan Gabriel.
Akbel mengeratkan jaket Gabriel yang ia kenakan. Gabriel berjalan di depan Akbel, menghalangi pria-pria tersebut yang berusaha untuk menyentuh Akbel.
“Siapa sih lo? Belagu banget dari tadi. Si manis itu pasti suara desahannya indah banget. Keliatan dari wajah cantiknya.” Ucap salah satu pria tersebut.
Gabriel yang geram pun akhirnya membisikkan sesuatu pada Akbel.
“Bell, dengerin kak Gab ya? Sekarang Akbel ke mobil duluan. Ambil kuncinya di kantong belakang kakak. Mereka biar kakak yang urus.” Bisik Gabriel pelan. Akb menggeleng ribut, pertanda ia tidak setuju dengan perkataan Gabriel.
“Akbel nurut aja oke? Kakak bakal dateng secepetnya. Atau kamu ke sana pelan-pelan dan panggil satpam oke?”
Pasrah. Akhirnya Akbel menurut. Sepersekian detik setelah Gabriel melihat anggukan ragu dari adik kekasihnya itu, ia segera maju dan memberikan pukulan pada salah satu pria itu.
“Brengsek. Berani banget lu ngatain cewek kaya gitu?! Punya otak gak anjing! Mulut sampah.” Gabriel berkata dengan marah.
Gabriel melayangkan pukulan demi pukulan yang mengenao wajah dan perut pria di hadapannya. Pukulan-pukulan lainnya harus ia terima. Gabriel hanya sendirian, sementara pria dihadapannya ada tujuh orang. Dari porsi badan pun Gabriel tahu bahwa ia akan kalah.
Pukulan-pukulan itu mengenai perut, wajah, punggung, kaki, bahkan hingga kepala Gabriel. Gabriel tidak mau kalah, ia berusaha kembali berdiri dan melayangkan pukulan pada masing-masing pria dihadapannya.
Prit.. prit.. prit..
“Anjing ada satpam wok kabur kabur.” Teriak salah satunya. Mereka pun berlari dan memapah temannya yang lain yang terkena pukula serta tendangan Gabriel hingga kesulitan berjalan.
Akbel bergegas menghampiri tubuh ringkih Gabriel. Kepala Gabriel mengeluarkan darah, hal itu tentu membuat Akbel panik setengah mati.
“Kak Gab ayo kita ke rumah sakit ya?” Akbel berkata dengan panik. Satpam tersebut pun menghampiri Gabriel dan Akbel yang kemudian meminta maaf atas kejadian yang menimpa Gabriel. Gabriel hanya menganggukkan kepala pertanda ia tidak masalah.
“Akbel sekarang kakak anter pulang ya? Yuk.” Gabriel berjalan dengan sedikit tertatih menuju mobilnya.
“Kak Gab.. maafin aku ya.. gara gara bela aku, kak Gab kaya gini.” Ucap Akbel setelah keduanya memasuki mobil milik Gabriel.
Gabriel tersenyum lembut, ia menatap Akbel yang kini tengah terisak. Akbel sendiri pasti merasa tidak nyaman akan perilaku pria-pria tadi.
“Akbel gak salah. Udah, kak Gab gapapa. Kayal ginian doang. Kak Gab mah kuat kok.” Gabriel berkata dengan senyuman manis terukir di belah bibirnya. Hal itu membuat tangis Akbel mereda, namun tak membuat perasaan khawatir Akbel mereda.
“Ke rumah sakit ya kak? Akbel temenin. Atau Akbel bilang ya ke kak Sena biar dateng.” Akbel hendak mengambil ponselnya sebelum diambil alih oleh Gabriel.
“Gak apa apa, bell. Udah tenang aja kakak gapapa. Jangan bilang Rumi ya?” Akbel awalnya ingin menolak, namun akhirnya ia luluh setelah Gabriel melayangkan tatapan memohonnya.
Jika ingin berkata jujur, sesungguhnya kini kepala Gabriel berdenyut hebat. Gabriel rasanya tidak kuat menahan denyutan pada kepalanya. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berusaha tampak biasa saja agar Akbel tidak merasa bersalah ataupun menangis. Selama perjalanan pun Gabriel beberapa kali melontarkan candaan agar Akbel tidak khawatir padanya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 55 menit, akhirnya keduanya sampai di depan rumah Akbel. Akbel mengajak Gabriel turun, namun dihadiahi gelengan dengan dalih ingin bertemu teman. Padahal sejujurnya agar Akbel tidak melihat dirinya yang bahkan sudah tidak mampu untuk terduduk seperti sekarang. Rasanya Gabriel ingin langsung ambruk saja, tapi sebisa mungkin ia menahannya.
“Kak.. beneran gak mau masuk dulu? Ada bunda ayah udah balik. Biar diobatin lukanya dulu..” Akbel masih berusaha merayu Gabriel yang tentu saja tetap dihadiahi Gabriel dengan gelengan pelan. Gabriel tersenyum seolah berkata ia tidak apa-apa.
“Kakak gapapa kok. Udah sana turun, ini kakak udah ditunggu temen. Tenang aja oke.” Akbel akhirnya mengalah. Dengan langkah ragu ia keluar dari mobil milik kekasih kakaknya. Jaket leather itu masih menempel indah pada tubuh cantik Akbel.
“Dadah! Duluan ya. Salam buat ayah sama bunda.” Ucap Gabriel dengan senyum lembut. Lalu setelahnya Gabriel melajukan mobilnya keluar dari gerbang komplek tempat Arsena dan keluarganya tinggal. Gabriel masih berusaha untuk bisa sampai ke apartmentnya dengan selamat. Namun, ditengah jalan kepalanya semakin berdenyut hebat. Gabriel benar-benar tidak tahan lagi. Ia bergegas menepikan mobilnya dan mengirimkan pesan kepada Deo, sahabatnya.
Ditempat lain, Deo sedang asik berbaring di kasurnya sambil bermain salah satu games kesukaannya. Netranya membulay sempurna saat mendapat notifikasi dari Gabriel. Ia langsung menghentikan permainan game nya dan membuatnya menerima makian karena timnya kalah. Ia tak lagi mengindahkan hal tersebut dan memilih untuk bergegas keluar rumahnya menuju motor miliknya terparkir.
Bertepatan dengan Deo yang mengeluarkan motornya, Arsena tampak baru saja pulang dengan motornya. Arsena mengernyit melihat raut wajah panik yang ditunjukkan oleh Deo. Hati kecilnya mendorongnya untuk bertanya pada Deo. Entah bagaimana perasaannya dilanda panik sejak tadi.
“Deo? Lu mau kemana?” Tanya Arsena.
“Sen asli. Gue gatau gimana tiba-tiba Gabriel minta tolong gue dan dia ngirim location ini ke gue. Gak biasanya dia kaya gitu.” Mendengar nama pacarnya, Gabriel bergegas meraih paksa ponsel milik Deo. Menampilkan bubble chat Gabriel yang meminta tolong.
“Gua ikut.” Deo mengangguk dan membiarkan Arsena duduk di bangku penumpang. Deo melajukan motornya dengan kecepatan penuh.
Arsena terus berdoa semoga keadaan kekasihnya baik-baik saja. Walau perasaan Arsena berkata sebaliknya. Arsena dilanda perasaan panik luar biasa. Hingga netra keduanya bertemu pada salah satu mobil yang Arsena hafal benar kalau mobil itu adalah mob milik kekasihnya.
Arsena bergegas turun dari motor Deo dan membuka pintu mobil Gabriel. Beruntung pintu itu tidak terkunci. Begitu pintu mobil tersebut terbuka sempurna, Arsena disuguhkan penampakkan Gabriel yang jauh dari baik-baik saja. Darah mengering yang berada pada pelipisnya dengan tubuh yang dipenuhi ruam dan lebam serta mata yang tertutup.
“GAB!! GABB GALUCU. BANGUN.” Arsena meraih tubuh Gabriel dan menepuk nepuk pipi Gabriel pelan. Tidak ada pergerakan apapun dari tubuh Gabriel.
Melihat itu Deo bergegas menghampiri Arsena yang kini dilanda panik dan khawatir luar biasa.
“Lu angkat si Iyel terus taro di kursi belakang sama lu. Biar gua yang nyetir.” Arsena mengangguk lalu bergegas mengangkuy tubuh Gabriel dan membawanya ke kursi penumpang belakang.
Deo melajukan mob milik Gabriel dengan kecepatan penuh. Deo beberapa kali melihat kearah kaca spion dengan Arsena yang terus merengkuh tubuh Gabriel.
“He'll be fine, Sen. Don't worry.”
Meskipun Deo telah berkata demikian, tak membuat Arsena menjadi tenang. Pikirannya kacau melihat kondisi kekasihnya kini. Arsena bukanlah pria yang mudah menangis. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali ia menangis. Tapi melihat kondisi kekasihnya, buliran kristal itu perlahan turun. Arsena benar-benar khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada kekasihnya.
“Gab bangun.. jangan gini bercandanya enggak lucu. Bangun ya? Kan gua bilang hati-hati.. kenapa lu kayak gini.” Deo yang melihat Arsena bersikap seperti itu untuk pertama kali pun tertegun. Namun fokusnya kembali beralih pada jalanan. Ia melajukan mob Gabriel lebih cepat.
Tak lama berselang, mobil Gabriel tiba di rumah sakit. Arsena bergegas turun dan sedikit berlari dengan Gabriel digendongannya. Akhirnya Gabriel dibawa oleh tenaga medis yang ada untuk diperiksa lebih lanjut.
tw // fight, blood, rape, 🔞.
Hari ini mentari bersinar begitu terik, cuaca terasa sangat bersahabat seakan mendukung dua insan yang memiliki rencana untuk menghabiskan waktu berdua. Di dalam sebuah bilik di gedung Apartment tampak seonggok pria tengah mempersiapkan dirinya. Ia tampak memilah pakaian apa yang paling cocok ia kenakan untuk pergi hari ini. Netranya jatuh pada leather jaket beserta kaos berwarna putih polos serta suit pants membalut kakinya. Gabriel menatap pantulan dirinya di kaca, seakan puas akan busananya hari ini. Ia menyemprotkan parfum miliknya ke tubuhnya, lalu setelahnya ia tersenyum puas akan penampilannya yang menurutnya sudah sangat sempurna kini.
“Dah ganteng, waktunya jemput si cantik Akbel.” Ucapnya dengan senyum mengembang.
Gabriel melangkahkan kakinya menuju tempat dimana mobilnya diparkirkan. Ia menaiki mobilnya dan melajukan mobil tersebut membelah kota. Lalu lintas cukup padat, membuat perjalanan Gabriel harus memakan waktu lebih lama dari biasanya. Hal ini tidak menurunkan moodnya. Ia sangat bersemangat hari ini.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, berkisar 30 menit. Akhirnya mobil Gabriel terparkir dengan sempurna di depan rumah sang kekasih, Arsena. Ia bergegas turun dari mobilnya dan memasuki rumah yang cukup mewah milik sang kekasih. Ia langkahkan kakinya dengan senyum mengembang, diketuknya pintu rumah bercat cokelat tua tersebut.
Tok tok tok
Seorang pria tampak membuka pintu rumah tersebut. Gabriel hapal benar dengan pria dihadapannya, dibawanya Gabriel ke dalam dekapannya lalu dikecupnya pucuk kepala Gabriel singkat.
“Akbelnya belum siap. Yuk masuk dulu.” Ucapnya lembut yang diangguki Gabriel dengan pelan. Ia pun mengekori pria tersebut ke dalam rumah minimalis tersebut.
“KAK GAB TUNGGU YA AKU BELOM SIAP DIKIT LAGI.” Teriak seorang gadis dari lantai dua.
“Iyaa santai aja Akbel. Dandan yang cantik ya!” Kali ini Gabriel sedikit berteriak agar Akbel dapat mendengar suaranya.
“Ini rumah perasaan bukan hutan deh.” Seseorang tampak menginterupsi aksi Akbel dan Gabriel itu.
“Berisik dah lu.” Sungut Gabriel kesal. Arsena hanya terkekeh melihat wajah kesal sang kekasih.
“Eh lu belum berangkat emang? Kan bukannya ngisi seminar?”
“Iya ini mau berangkat kok. Yaudah lu hati-hati nanti ya. Have fun kalian berdua. Gua duluan. Nanti gausah pamit bunda, soalnya bunda sama ayah lagi pergi jalan tadi berdua.” Gabriel yang mengerti pun menganggukkan kepalanya. Setelahnya Arsena bergegas keluar rumah dan menaiki motornya menuju tempat dimana seminar akan dilangsungkan.
Tak lama berselang Akbel turun dengan sedikit tergesa. Kali ini Akbel mengenakan baju crop top tak berlengan berwarna tosca beserta celana panjang berwarna senada yang membalut kaki jenjangnya. Rambutnya digerai dengan sempurna dengan makeup tipis menambahkan kesan menawan pada gadis delapan belas tahun itu. Gabriel tersenyum melihat penampilan adik kekasihnya itu.
As usual, she's always perfect.
“Kak, yuk!” Akbel bergegas berjalan keluar diikuti oleh Gabriel di belakangnya.
Setelah Akbel selesai mengunci rumahnya, ia bergegas duduk di bangku penumpang tepat di sebelah Gabriel.
“Udah siap? Pake seatbelt-nya, biar kakak jalanin mobilnya.” Akbel menurut dan bergegas memasang seatbelts nya.
Selama perjalanan, suasana mobil tidak pernah hening. Keduanya melontarkan candaan serta tawa dari kedua belah bibir keduanya. Jalanan kota yang macet tak membuat keduanya bosan, keduanya menikmati waktu yang ada berdua.
Setelah memakan waktu sekitar 45 menit, mobil Gabriel telah terparkir sempurna di salah satu Mall di pusat kota. Akbel dan Gabriel bergegas turun dan berjalan santai menuju mall tersebut. Agenda Akbel dan Gabriel hari ini adalah membeli beberapa peralatan gambar untuk Akbel serta buku novel yang telah Akbel incar sejak lama. Gabriel tidak mengeluh sama sekali saat Akbel memilih buku-buku sedikit lama. Gabriel ikut memberikan pendapat saat Akbel bertanya padanya. Setelah selesai dengan semua urusannya, Akbel dan Gabriel memutuskan untuk mengisi perut mereka. Pasalnya mereka telah memutari mall kurang lebih tiga jam. Sekarang keduanya membutuhkan sedikit tenaga tambahan untuk melanjutkan acara mereka hari ini.
“Kamu mau makan apa?” Akbel tampak menimbang-nimbang mengenai apa yang hendak keduanya makan.
“Bebas deh. Kak Gab emang mau makan apa? Aku ikut aja.” Gabriel berfikir sejenak.
“Steak gimana?” Akbel pun menyetujuinya. Keduanya berjalan menuju salah satu kedai steak di Mall tersebut.
Setelah memesan makanan serta minuman yang hendak dimakan, Gabriel membuka ponselnya berniat memberikan kabar pada kekasihnya walau ia tahu pesannya tidak akan dibalas karena sang kekasih tengah mengisi seminar. Namun Gabriel tetap mengirimi pesan serta memberikan semangat pada sang kekasih.
Tanpa Gabriel sadari, tepat di belakang mereka terdapat sekumpulan pria berumur sekitar 20an. Mereka tampak menatap Akbel dengan tatapan lapar. Mereka saling menyikut satu sama lain. Netra sekumpulan pria tersebut berfokus pada pinggang mulus Akbel yang terekspos karena kini ia tengah mengenakan baju crop top. Hal itu tentu saja disadari oleh Akbel. Ia bergerak dengan tidak nyaman di tempatnya. Hal tersebut membuat Gabriel menyadari raut tidak menyenangkan yang tampil di wajah Akbel.
“Akbel, kenapa?” Tanyanya lembut. Akbel memilih diam tak bersuara. Netra Gabriel terpusat pada sekumpulan pria di belakang Akbel yang kini menatap Akbel dengan pandangan lapar. Beberapa diantaranya tampak bersiur sambil mengeluarkan senyuman miring seolah menggoda.
Hal itu membuat Gabriel geram. Ia pun bergegas melepas leather jaketnya, menyisakan kaus putih polosnya lalu memasangkannya di tubuh Akbel. Akbel yang terkejut pun memilih untuk mengenakan jaket milik kekasih kakaknya itu.
“Mau pindah aja bel?” Akbel menggeleng pelan. Tatapan para pria tersebut tampak mencemooh kearah Gabriel. Lalu akhirnya berangsur menghilang. Akbel dapat bernafas lega setelahnya.
Tak lama berselang, makanan pesanan mereka tiba. Keduanya kembali makan dengan suasana yang hangat. Gabriel berusaha mencairkan suasana guna membuat Akbel kembali nyaman. Hal itu berhasil. Akbel seolah lupa dengan perasaan tak nyaman yang sebelumnya ia rasakan karena sekumpulan pria tersebut.
Setelah berbincang cukup lama dan menghabiskan makanan keduanya, Akbel dan Gabriel memutuskan untuk pulang dikarenakan waktu telah menunjukkan pukul enam sore. Sebelum pulang Gabriel tampak mengabari sang kekasih dan dibalas sang kekasih dengan ucapan hati-hati dijalan.
Saat di perjalanan menuju ke parkiran, keduanya kembali melontarkan candaan. Jika orang lain tak mengetahui status keduanya, pasti orang akan berfikir kalau Gabriel dan Akbel berpacaran dan sedang melakukan date di hari kamis malam.
Akbel dan Gabriel berjalan denga santai menuju tempat dimana mobil Gabriel diparkirkan.
“Wow ada si cewek sexy. Ketemu lagi kita.” Seorang pria tampak menginterupsi jalan Akbel dan Gabriel.
Akbel mengeratkan jaket Gabriel yang ia kenakan. Gabriel berjalan di depan Akbel, menghalangi pria-pria tersebut yang berusaha untuk menyentuh Akbel.
“Siapa sih lo? Belagu banget dari tadi. Si manis itu pasti suara desahannya indah banget. Keliatan dari wajah cantiknya.” Ucap salah satu pria tersebut.
Gabriel yang geram pun akhirnya membisikkan sesuatu pada Akbel.
“Bell, dengerin kak Gab ya? Sekarang Akbel ke mobil duluan. Ambil kuncinya di kantong belakang kakak. Mereka biar kakak yang urus.” Bisik Gabriel pelan. Akb menggeleng ribut, pertanda ia tidak setuju dengan perkataan Gabriel.
“Akbel nurut aja oke? Kakak bakal dateng secepetnya. Atau kamu ke sana pelan-pelan dan panggil satpam oke?”
Pasrah. Akhirnya Akbel menurut. Sepersekian detik setelah Gabriel melihat anggukan ragu dari adik kekasihnya itu, ia segera maju dan memberikan pukulan pada salah satu pria itu.
“Brengsek. Berani banget lu ngatain cewek kaya gitu?! Punya otak gak anjing! Mulut sampah.” Gabriel berkata dengan marah.
Gabriel melayangkan pukulan demi pukulan yang mengenao wajah dan perut pria di hadapannya. Pukulan-pukulan lainnya harus ia terima. Gabriel hanya sendirian, sementara pria dihadapannya ada tujuh orang. Dari porsi badan pun Gabriel tahu bahwa ia akan kalah.
Pukulan-pukulan itu mengenai perut, wajah, punggung, kaki, bahkan hingga kepala Gabriel. Gabriel tidak mau kalah, ia berusaha kembali berdiri dan melayangkan pukulan pada masing-masing pria dihadapannya.
Prit.. prit.. prit..
“Anjing ada satpam wok kabur kabur.” Teriak salah satunya. Mereka pun berlari dan memapah temannya yang lain yang terkena pukula serta tendangan Gabriel hingga kesulitan berjalan.
Akbel bergegas menghampiri tubuh ringkih Gabriel. Kepala Gabriel mengeluarkan darah, hal itu tentu membuat Akbel panik setengah mati.
“Kak Gab ayo kita ke rumah sakit ya?” Akbel berkata dengan panik. Satpam tersebut pun menghampiri Gabriel dan Akbel yang kemudian meminta maaf atas kejadian yang menimpa Gabriel. Gabriel hanya menganggukkan kepala pertanda ia tidak masalah.
“Akbel sekarang kakak anter pulang ya? Yuk.” Gabriel berjalan dengan sedikit tertatih menuju mobilnya.
“Kak Gab.. maafin aku ya.. gara gara bela aku, kak Gab kaya gini.” Ucap Akbel setelah keduanya memasuki mobil milik Gabriel.
Gabriel tersenyum lembut, ia menatap Akbel yang kini tengah terisak. Akbel sendiri pasti merasa tidak nyaman akan perilaku pria-pria tadi.
“Akbel gak salah. Udah, kak Gab gapapa. Kayal ginian doang. Kak Gab mah kuat kok.” Gabriel berkata dengan senyuman manis terukir di belah bibirnya. Hal itu membuat tangis Akbel mereda, namun tak membuat perasaan khawatir Akbel mereda.
“Ke rumah sakit ya kak? Akbel temenin. Atau Akbel bilang ya ke kak Sena biar dateng.” Akbel hendak mengambil ponselnya sebelum diambil alih oleh Gabriel.
“Gak apa apa, bell. Udah tenang aja kakak gapapa. Jangan bilang Rumi ya?” Akbel awalnya ingin menolak, namun akhirnya ia luluh setelah Gabriel melayangkan tatapan memohonnya.
Jika ingin berkata jujur, sesungguhnya kini kepala Gabriel berdenyut hebat. Gabriel rasanya tidak kuat menahan denyutan pada kepalanya. Ia melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang, berusaha tampak biasa saja agar Akbel tidak merasa bersalah ataupun menangis. Selama perjalanan pun Gabriel beberapa kali melontarkan candaan agar Akbel tidak khawatir padanya.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 55 menit, akhirnya keduanya sampai di depan rumah Akbel. Akbel mengajak Gabriel turun, namun dihadiahi gelengan dengan dalih ingin bertemu teman. Padahal sejujurnya agar Akbel tidak melihat dirinya yang bahkan sudah tidak mampu untuk terduduk seperti sekarang. Rasanya Gabriel ingin langsung ambruk saja, tapi sebisa mungkin ia menahannya.
“Kak.. beneran gak mau masuk dulu? Ada bunda ayah udah balik. Biar diobatin lukanya dulu..” Akbel masih berusaha merayu Gabriel yang tentu saja tetap dihadiahi Gabriel dengan gelengan pelan. Gabriel tersenyum seolah berkata ia tidak apa-apa.
“Kakak gapapa kok. Udah sana turun, ini kakak udah ditunggu temen. Tenang aja oke.” Akbel akhirnya mengalah. Dengan langkah ragu ia keluar dari mobil milik kekasih kakaknya. Jaket leather itu masih menempel indah pada tubuh cantik Akbel.
“Dadah! Duluan ya. Salam buat ayah sama bunda.” Ucap Gabriel dengan senyum lembut. Lalu setelahnya Gabriel melajukan mobilnya keluar dari gerbang komplek tempat Arsena dan keluarganya tinggal. Gabriel masih berusaha untuk bisa sampai ke apartmentnya dengan selamat. Namun, ditengah jalan kepalanya semakin berdenyut hebat. Gabriel benar-benar tidak tahan lagi. Ia bergegas menepikan mobilnya dan mengirimkan pesan kepada Deo, sahabatnya.
Ditempat lain, Deo sedang asik berbaring di kasurnya sambil bermain salah satu games kesukaannya. Netranya membulay sempurna saat mendapat notifikasi dari Gabriel. Ia langsung menghentikan permainan game nya dan membuatnya menerima makian karena timnya kalah. Ia tak lagi mengindahkan hal tersebut dan memilih untuk bergegas keluar rumahnya menuju motor miliknya terparkir.
Bertepatan dengan Deo yang mengeluarkan motornya, Arsena tampak baru saja pulang dengan motornya. Arsena mengernyit melihat raut wajah panik yang ditunjukkan oleh Deo. Hati kecilnya mendorongnya untuk bertanya pada Deo. Entah bagaimana perasaannya dilanda panik sejak tadi.
“Deo? Lu mau kemana?” Tanya Arsena.
“Sen asli. Gue gatau gimana tiba-tiba Gabriel minta tolong gue dan dia ngirim location ini ke gue. Gak biasanya dia kaya gitu.” Mendengar nama pacarnya, Gabriel bergegas meraih paksa ponsel milik Deo. Menampilkan bubble chat Gabriel yang meminta tolong.
“Gua ikut.” Deo mengangguk dan membiarkan Arsena duduk di bangku penumpang. Deo melajukan motornya dengan kecepatan penuh.
Arsena terus berdoa semoga keadaan kekasihnya baik-baik saja. Walau perasaan Arsena berkata sebaliknya. Arsena dilanda perasaan panik luar biasa. Hingga netra keduanya bertemu pada salah satu mobil yang Arsena hafal benar kalau mobil itu adalah mob milik kekasihnya.
Arsena bergegas turun dari motor Deo dan membuka pintu mobil Gabriel. Beruntung pintu itu tidak terkunci. Begitu pintu mobil tersebut terbuka sempurna, Arsena disuguhkan penampakkan Gabriel yang jauh dari baik-baik saja. Darah mengering yang berada pada pelipisnya dengan tubuh yang dipenuhi ruam dan lebam serta mata yang tertutup.
“GAB!! GABB GALUCU. BANGUN.” Arsena meraih tubuh Gabriel dan menepuk nepuk pipi Gabriel pelan. Tidak ada pergerakan apapun dari tubuh Gabriel.
Melihat itu Deo bergegas menghampiri Arsena yang kini dilanda panik dan khawatir luar biasa.
“Lu angkat si Iyel terus taro di kursi belakang sama lu. Biar gua yang nyetir.” Arsena mengangguk lalu bergegas mengangkuy tubuh Gabriel dan membawanya ke kursi penumpang belakang.
Deo melajukan mob milik Gabriel dengan kecepatan penuh. Deo beberapa kali melihat kearah kaca spion dengan Arsena yang terus merengkuh tubuh Gabriel.
“He'll be fine, Sen. Don't worry.”
Meskipun Deo telah berkata demikian, tak membuat Arsena menjadi tenang. Pikirannya kacau melihat kondisi kekasihnya kini. Arsena bukanlah pria yang mudah menangis. Bahkan ia lupa kapan terakhir kali ia menangis. Tapi melihat kondisi kekasihnya, buliran kristal itu perlahan turun. Arsena benar-benar khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada kekasihnya.
“Gab bangun.. jangan gini bercandanya enggak lucu. Bangun ya? Kan gua bilang hati-hati.. kenapa lu kayak gini.” Deo yang melihat Arsena bersikap seperti itu untuk pertama kali pun tertegun. Namun fokusnya kembali beralih pada jalanan. Ia melajukan mob Gabriel lebih cepat.
Tak lama berselang, mob Gabriel tiba di rumah sakit. Arsena bergegas turun dan sedikit berlari dengan Gabriel digendongannya. Akhirnya Gabriel dibawa oleh tenaga medis yang ada untuk diperiksa lebih lanjut.
Bryan membuka pintu apartemen milik kekasihnya dengan hati-hati. Apartemen yang ditinggali oleh Ayden cukup luas, dengan satu kamar utama dan satu kamar tamu. Bryan mengedarkan pandangannya ke penjuru apartemen milik kekasihnya, dengan langkah pasti ia melangkahkan tungkainya pada kamar utama di apartemen ini.
Ia membuka kamar milik kekasihnya dengan perlahan. Begitu pintu tersebut terbuka sempurna, netranya menangkap seseorang yang tengah meringkuk sambil memegang perutnya. Suara rintihan tertahan terdengar keluar dari belah bibirnya. Tanpa pikir panjang, Bryan segera melangkahkan tungkainya ke kasur tempat kekasihnya berbaring. Ia dudukkan bokongnya pada ujung kasur milik sang kekasih, ia usap perlahan pundak kekasihnya.
“Hey... perutnya sakit ya?” Mendapat usapan lembut pada pundaknya, Ayden membalikkan badannya. Netra keduanya bertemu. Ayden tampak menahan perihnya, matanya berkaca-kaca dengan sudut mata yang mengeluarkan air. Bibirnya pucat pasi. Bryan benar-benar panik melihat kondisi kekasihnya kini.
“Astaga Ay... kamu kenapa sampai kayak gini?” Baru saja Ayden ingin menyahuti kekasihnya, ia harus kembali merasakan hantaman pada perutnya.
Peluh tampak membasahi wajahnya dengan rintihan yang terus keluar dari belah bibirnya. Melihat kondisi kekasihnya, Bryan segera membawa Ayden ke dalam gendongannya dan bergegas membawanya ke rumah sakit.
“Sa...kit... Bri... gakuat...” Isak tangis Ayden mulai terdengar. Bryan dibuat semakin panik setelah tidak dirasakan kembali pergerakan pada tubuh Ayden, Ayden menutup matanya dengan sempurna.
“Ay... ay... bangun!!!” Bryan menggoyangkan tubuh kekasihnya pelan, namun Ayden tidak meresponnya sama sekali. Bryan benar-benar dilanda panik.
Bryan tampak tidak sabaran menunggu lift terbuka. Lift pertama, penuh. Bryan harus kembali menghembuskan nafas gusar saat tak menemukan tempat untuk keduanya. Lalu lift kedua tidak kunjung datang. Karena Bryan tidak tahan, ia bergegas menuju pintu darurat, menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa.
“Sayang, tahan ya? Tahan sebentar.”
“Wali dari saudara Ayden?” Seorang dokter tampak bertanya seusai dokter tersebut memeriksa kondisi Ayden, kekasihnya.
“Iya dok, saya pacarnya.” Dokter tersebut tampak menghembuskan nafasnya pelan.
“Perutnya tidak terisi sama sekali, lalu mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Kini pasien harus bedrest selama kurang lebih 3 hari di rumah sakit. Pasien juga harus menjalani sejumlah pemeriksaan untuk memeriksa kondisi luka pada lambungnya.” Ucap sang dokter. Bryan mengangguk mengerti sebelum izin untuk menjenguk kekasihnya.
Bryan melangkahkan tungkainya pada bangsal milik kekasihnya. Disana kekasihnya terbaring dengan infus di jemarinya. Wajahnya pucat pasi, tak menghilangkan parasnya yang cantik. Bryan mendudukkan pantatnya pada salah satu kursi di dekat bangsal sang kekasih. Digenggamnya jemari ringkih itu dengan lembut, lalu diusapnya perlahan.
“What happened... gak biasanya kamu sampai kayak gini. Did something borthering you? I'm here, always.” Bryan mengarahkan jemarinya pada rambut Ayden, diusapnya surai hitam milik sang kekasih. Bryan membenarkan poni kekasihnya yang menutupi wajah cantik milik sang kekasih.
Perlahan kedua mata Ayden terbuka. Netranya mengendar menatap sekitar.
“Hey sweetheart.. ada yang sakit?” Bryan tampak bertanya dengan lembut, Ayden menggeleng lemah sebagai jawaban.
“Kamu kenapa sayang. Did something happened to you?” Ayden terdiam, ia membuang muka, menghindari tatapan teduh sang kekasih. Bryan menarik dagu kekasihnya, agar sang kekasih menatap matanya.
“Hey.. gapapa kalau belum mau cerita. I'm here always don't worry.“
“Mau.. peluk..” Bryan pun mengerti, ia segera membaringkan tubuhnya di sebelah sang kekasih. Ayden menenggelamkan wajahnya pada dada Bryan.
“Mereka berantem lagi, Bri. Aku cuman.. capek. Berisik banget. Mereka juga bilang nyesel lahirin dan besarin aku. Mereka berantem berdua, kenapa aku dibawa-bawa.. kenapa.. mereka mending cerai aja daripada kayak gini.” Hancur sudah pertahanan yang Ayden bangun sekuat mungkin. Bryan yang memberikan usapan-usapan pelan pada kepala Ayden.
“Sssstt.. iya ngerti sayang, gausah dilanjut ya? You have me now. Sekarang gak ada yang bakal nyakitin kamu. I'll protect you from everything.“
Ayden mengangguk lemah, belah bibirnya terus mengeluarkan isakan-isakan kecil. Dengan telaten jemari Bryan mendaratkan usapan-usapan lembut pada kepala hingga tengkuk sang kekasih. Bibir tipis Bryan membisikkan kalimat-kalimat penenang pada telinga sang kekasih. Perlahan suara isakan kecil Ayden berubah menjadi tangisan pilu yang menyesakkan. Bryan tidak menyuruhnya berhenti menangis, ia terus memberikan usapan-usapan pada punggung sang kekasih, ia mengeratkan pelukannya pada pinggang sang kekasih. Bryan mengecup kepala Ayden berkali-kali.
“Bri.... aku capek. Kalau emang aku enggak diinginkan sejak dulu, kenapa aku harus dilahirin? Kenapa—.”
“Sssttt.. sayang, stop it okay? Gausah dilanjut. Ada aku disini, kalau ada apa-apa ada aku. I'll always here by your side okay? Kesayangan Bryan hebat. Don't give up ya?” Bryan mengeratkan pelukannya.
Dalam relung hati terdalamnya sejujurnya Bryan panik. Ia sangat takut kehilangan kekasihnya ini. Namun, ia berusaha setenang mungkin. Ia berusaha menguatkan kekasihnya. Memberi tahunya bahwa jika dunia jahat kepadanya, akan selalu ada dia disisinya.
Ayden kembali terisak, diangkatnya jemarinya, dikepalnya sekuat tenaga, berakhir dengan Ayden memukul kepalanya dengan brutal. Melihat pergerakan Ayden, Bryan dilanda panik luar biasa. Jemari Ayden bergetar hebat. Ayden jauh dari kata baik-baik saja.
“Hey hey.. jangan dipukul kepalanya. Hey, sayang.” Bryan menarik paksa pergelangan tangan kekasihnya, dibawanya kepala sang kekasih ke dalam pelukannya. Bryan memberikan kecupan kecupan pada setiap inchi wajah kekasihnya.
“Aku disini, aku disini. Jangan sakitin diri kamu lagi ya? Aku disini, sama kamu.” Perlahan kepalan tangan Ayden mengendur, Ayden kembali terisak pilu. Ia eratkan pelukannya pada pinggang sang kekasih.
“Sayang... sedih banget sih nangisnya. Sssttt... I'm here ya, aku gak kemana mana. Kamu aman sama aku.” Lagi, jemari Ayden bergerak teratur pada surai hitam kekasihnya.
Ayden menyamankan posisinya pada dada kekasihnya, ia memejamkan matanya merasakan setiap usapan pada surainya hingga Bryan merasakan nafas teratur pada Ayden pertanda kekasihnya telah terlelap.
“Sleep well sayang. You did a really good job. Don't hurt yourself again.” Sekali lagi, Bryan mengecup puncak kepala kekasihnya sebelum menyusul kekasihnya ke alam mimpi.
K.
Bryan membuka pintu apartemen milik kekasihnya dengan hati-hati. Apartemen yang ditinggali oleh Ayden cukup luas, dengan satu kamar utama dan satu kamar tamu. Bryan mengedarkan pandangannya ke penjuru apartemen milik kekasihnya, dengan langkah pasti ia melangkahkan tungkainya pada kamar utama di apartemen ini.
Ia membuka kamar milik kekasihnya dengan perlahan. Begitu pintu tersebut terbuka sempurna, netranya menangkap seseorang yang tengah meringkuk sambil memegang perutnya. Suara rintihan tertahan terdengar keluar dari belah bibirnya. Tanpa pikir panjang, Bryan segera melangkahkan tungkainya ke kasur tempat kekasihnya berbaring. Ia dudukkan bokongnya pada ujung kasur milik sang kekasih, ia usap perlahan pundak kekasihnya.
“Hey... perutnya sakit ya?” Mendapat usapan lembut pada pundaknya, Ayden membalikkan badannya. Netra keduanya bertemu. Ayden tampak menahan perihnya, matanya berkaca-kaca dengan sudut mata yang mengeluarkan air. Bibirnya pucat pasi. Bryan benar-benar panik melihat kondisi kekasihnya kini.
“Astaga Ay... kamu kenapa sampai kayak gini?” Baru saja Ayden ingin menyahuti kekasihnya, ia harus kembali merasakan hantaman pada perutnya.
Peluh tampak membasahi wajahnya dengan rintihan yang terus keluar dari belah bibirnya. Melihat kondisi kekasihnya, Bryan segera membawa Ayden ke dalam gendongannya dan bergegas membawanya ke rumah sakit.
“Sa...kit... Bri... gakuat...” Isak tangis Ayden mulai terdengar. Bryan dibuat semakin panik setelah tidak dirasakan kembali pergerakan pada tubuh Ayden, Ayden menutup matanya dengan sempurna.
“Ay... ay... bangun!!!” Bryan menggoyangkan tubuh kekasihnya pelan, namun Ayden tidak meresponnya sama sekali. Bryan benar-benar dilanda panik.
Bryan tampak tidak sabaran menunggu lift terbuka. Lift pertama, penuh. Bryan harus kembali menghembuskan nafas gusar saat tak menemukan tempat untuk keduanya. Lalu lift kedua tidak kunjung datang. Karena Bryan tidak tahan, ia bergegas menuju pintu darurat, menuruni setiap anak tangga dengan tergesa-gesa.
“Sayang, tahan ya? Tahan sebentar.”
“Wali dari saudara Ayden?” Seorang dokter tampak bertanya seusai dokter tersebut memeriksa kondisi Ayden, kekasihnya.
“Iya dok, saya pacarnya.” Dokter tersebut tampak menghembuskan nafasnya pelan.
“Perutnya tidak terisi sama sekali, lalu mengkonsumsi alkohol dalam jumlah besar. Kini pasien harus bedrest selama kurang lebih 3 hari di rumah sakit. Pasien juga harus menjalani sejumlah pemeriksaan untuk memeriksa kondisi luka pada lambungnya.” Ucap sang dokter. Bryan mengangguk mengerti sebelum izin untuk menjenguk kekasihnya.
Bryan melangkahkan tungkainya pada bangsal milik kekasihnya. Disana kekasihnya terbaring dengan infus di jemarinya. Wajahnya pucat pasi, tak menghilangkan parasnya yang cantik. Bryan mendudukkan pantatnya pada salah satu kursi di dekat bangsal sang kekasih. Digenggamnya jemari ringkih itu dengan lembut, lalu diusapnya perlahan.
“What happened... gak biasanya kamu sampai kayak gini. Did something borthering you? I'm here, always.” Bryan mengarahkan jemarinya pada rambut Ayden, diusapnya surai hitam milik sang kekasih. Bryan membenarkan poni kekasihnya yang menutupi wajah cantik milik sang kekasih.
Perlahan kedua mata Ayden terbuka. Netranya mengendar menatap sekitar.
“Hey sweetheart.. ada yang sakit?” Bryan tampak bertanya dengan lembut, Ayden menggeleng lemah sebagai jawaban.
“Kamu kenapa sayang. Did something happened to you?” Ayden terdiam, ia membuang muka, menghindari tatapan teduh sang kekasih. Bryan menarik dagu kekasihnya, agar sang kekasih menatap matanya.
“Hey.. gapapa kalau belum mau cerita. I'm here always don't worry.“
“Mau.. peluk..” Bryan pun mengerti, ia segera membaringkan tubuhnya di sebelah sang kekasih. Ayden menenggelamkan wajahnya pada dada Bryan.
“Mereka berantem lagi, Bri. Aku cuman.. capek. Berisik banget. Mereka juga bilang nyesel lahirin dan besarin aku. Mereka berantem berdua, kenapa aku dibawa-bawa.. kenapa.. mereka mending cerai aja daripada kayak gini.” Hancur sudah pertahanan yang Ayden bangun sekuat mungkin. Bryan yang memberikan usapan-usapan pelan pada kepala Ayden.
“Sssstt.. iya ngerti sayang, gausah dilanjut ya? You have me now. Sekarang gak ada yang bakal nyakitin kamu. I'll protect you from everything.“
Ayden mengangguk lemah, belah bibirnya terus mengeluarkan isakan-isakan kecil. Dengan telaten jemari Bryan mendaratkan usapan-usapan lembut pada kepala hingga tengkuk sang kekasih. Bibir tipis Bryan membisikkan kalimat-kalimat penenang pada telinga sang kekasih. Perlahan suara isakan kecil Ayden berubah menjadi tangisan pilu yang menyesakkan. Bryan tidak menyuruhnya berhenti menangis, ia terus memberikan usapan-usapan pada punggung sang kekasih, ia mengeratkan pelukannya pada pinggang sang kekasih. Bryan mengecup kepala Ayden berkali-kali.
“Bri.... aku capek. Kalau emang aku enggak diinginkan sejak dulu, kenapa aku harus dilahirin? Kenapa—.”
“Sssttt.. sayang, stop it okay? Gausah dilanjut. Ada aku disini, kalau ada apa-apa ada aku. I'll always here by your side okay? Kesayangan Bryan hebat. Don't give up ya?” Bryan mengeratkan pelukannya.
Dalam relung hati terdalamnya sejujurnya Bryan panik. Ia sangat takut kehilangan kekasihnya ini. Namun, ia berusaha setenang mungkin. Ia berusaha menguatkan kekasihnya. Memberi tahunya bahwa jika dunia jahat kepadanya, akan selalu ada dia disisinya.
Ayden kembali terisak, diangkatnya jemarinya, dikepalnya sekuat tenaga, berakhir dengan Ayden memukul kepalanya dengan brutal. Melihat pergerakan Ayden, Bryan dilanda panik luar biasa. Jemari Ayden bergetar hebat. Ayden jauh dari kata baik-baik saja.
“Hey hey.. jangan dipukul kepalanya. Hey, sayang.” Bryan menarik paksa pergelangan tangan kekasihnya, dibawanya kepala sang kekasih ke dalam pelukannya. Bryan memberikan kecupan kecupan pada setiap inchi wajah kekasihnya.
“Aku disini, aku disini. Jangan sakitin diri kamu lagi ya? Aku disini, sama kamu.” Perlahan kepalan tangan Ayden mengendur, Ayden kembali terisak pilu. Ia eratkan pelukannya pada pinggang sang kekasih.
“Sayang... sedih banget sih nangisnya. Sssttt... I'm here ya, aku gak kemana mana. Kamu aman sama aku.” Lagi, jemari Ayden bergerak teratur pada surai hitam kekasihnya.
Ayden menyamankan posisinya pada dada kekasihnya, ia memejamkan matanya merasakan setiap usapan pada surainya hingga Bryan merasakan nafas teratur pada Ayden pertanda kekasihnya telah terlelap.
“Sleep well sayang. You did a really good job. Don't hurt yourself again.” Sekali lagi, Bryan mengecup puncak kepala kekasihnya sebelum menyusul kekasihnya ke alam mimpi.
K.