Ello

tw // alcohol, drunk

Suara bising memekakan telinga menjadi penghantar Ayden menuju ketidaksadarannya. Kini ia telah meneguk botol vodka keduanya, dengan masing-masing berkonsentrasi 60%. Cairan membakar tenggorokan itu terus Ayden minum hingga ia merasakan kesadarannya diambang batas. Kepalanya berdenyut sakit, untaian pertengkaran kedua orangtuanya kembali terngiang di kepalanya. Lagi, ia meneguk kembali botol vodka ketiga nya. Hal itu tak luput dari penglihatan Eileen dan Deeren.

“Stop, anjing. Lu udah minum botol ke tiga bangsat. Mau mati gak gini caranya!!” Deeren merampas paksa botol vodka yang hendak diminum oleh Ayden. Ayden menatap Deeren nyalang, amarah tampak terpantri dengan jelas di wajahnya.

“Gausah atur gua.” Lagi, Ayden merebut botol vodka tersebut dan meneguknya kembali dengan kasar. Deeren memijat pelipisnya, ia menghembuskan nafasnya kasar dan memilih diam. Ayden yang seperti ini tidak akan mau diberi tahu, tidak akan ada yang dapat menghentikannya.

Ingatkan Ayden bahwa ia belum mengisi perutnya sama sekali seharian penuh. Botol ketiga berganti menjadi botol keempat, hingga pada botol kelima, Ayden berhenti. Kesadarannya hilang total. Ia ambruk begitu saja. Deeren, serta Eileen menatap nanar sahabatnya. Arziel telah pergi berbaur dengan lautan manusia itu, entah apa yang tengah ia lakukan bersama sekumpulan wanita dan pria di bawah lantai dansa itu. Dengan segera Deeren membopong tubuh Ayden dibantu Eileen.

“Anjing ay, lo makan apa aja sih bangsat. Berat banget, setan.” Keluh Eileen.


“Ren, ini kita bawa Ayden ke rumahnya apa gimana? This is already 4 fucking AM.” Eileen bertanya pada Dareen. Yang ditanya pun merasa kebingungan, ia terdiam sebentar sebelum menyalakan mesin mobilnya membelah jalanan ibu kota yang tampak lengang tanpa membalas ucapan pacarnya, Eileen.

“Apartemen.” Lirih Ayden. Hal itu tak luput dari pendengaran Eileen dan Dareen. Keduanya bertukar pandang, sebelum Dareen mengarahkan mobilnya menuju apartemen milik sahabatnya itu.

Suasana mobil hening. Eileen tampak sibuk dengan pikirannya, pun Dareen dengan jalanan di hadapannya. Tidak ada yang memulai pembicaraan, bahkan hingga keduanya sampai di apartemen kediaman sahabatnya itu.

Jeno mengalihkan atensinya kearah daksa ringkih yang berada di sebelahnya sesaat setelah ia telah mengabari sang ibunda di ujung sana. Dadanya berdenyut nyeri melihat kondisi sahabat kecilnya kini. Jemari Jeno terulur mengusap peluh yang membasahi wajah cantik sahabatnya.

Jaemin menggeliat kecil, tidurnya terusik. Sudah sangat lama sejak terakhir kali ia melihat Jaemin seperti ini. Jeno mengusap kening Jaemin dengan lembut, berusaha membuat Jaemin kembali tertidur.

“Ssshh.. sshh.. tidur lagi ya na.”

Yang terjadi justru sebaliknya, secara perlahan Jaemin membuka kelopak matanya, menyesuaikan dengan cahaya yang masuk ke retinanya. Jeno tersenyum kecil, ia mengusap rambut Jaemin yang sedikit basah oleh keringat.

“Hey...” Sapa Jeno lembut.

Jaemin terdiam sesaat, ia segera berhamburan ke pelukan Jeno. Jeno merasakan bajunya basah oleh air mata, Jaeminnya terisak di pelukannya. Amarah itu kembali mendominasi relung dada Jeno. Jeno memberikan usapan kecil punggung ringkih Jaemin, memberi Jaemin ketenangan bahwa ia aman sekarang.

“It's okay, Na.. you're save now.”

Jaemin mendesis lirih, “Nono, aku takut..”

Jeno paham, terlampau paham. Ia pun menggerakan jemarinya untuk mengusap surai hitam sang sahabat.

“Maaf karena datang terlambat.” Jaemin menggeleng ribut, biar bagaimanapun ini bukan salah Jeno.

“Terima kasih sudah datang..” Kedua sudut bibir Jeno mengembang membentuk bulan sabit.

“My pleasure.”

Jaemin mendongakkan kepalanya, netra keduanya bertemu. Jeno baru menyadari terdapat bekas merah yang cukup ketara di pipi bak porselen sahabatnya. Jeno mengernyitkan alisnya bingung.

“Loh? Ini kenapa?” Jeno bertanya dengan lembut. Yang ditanya berusaha mengalihkan atensinya, menolak tatapan penuh tanya lawan bicaranya.

“Jaemin, jawab.”

Jaemin memejamkan matanta sesaat, ia menghembuskan nafasnya kasar sebelum netranya kembali bertemu dengan obsidian milik Jeno.

“Jangan marah ya? Sama Mark itu.. gitu pokoknya?”

Jeno memalingkan wajahnya, letupan emosi itu kembali hadir di dadanya. Jeno membenci siapapun yang menyakiti sahabatnya.

“Ada lagi?” Jeno berusaha sekuat tenaga menahan amarahnya.

Jaemin mengangguk, ia mengangkan tangan kanannya, menampilkan pergelangan tangannya yang memar. Jeno meraih tangan Jaemin dan mengusap lembut pergelangan tangannya.

“Ssshh, sakit..”

Jeno hendak beranjak dari duduknya untuk mengambil kotak P3K di apartment miliknya. Namun langkahnya terhenti saat netra Jaemin menatapnya dengan penuh ketakutan, Jaemin menahan pergerakannya.

“Aku ambil obat sebentar ya, Na? Aku gaakan kemana-mana okay?” Jeno berujar dengan lembut, namun lagi-lagi dihadiahi dengan gelengan.

“Jangan pergi, jangan tinggalin Nana lagi.” Jeno mengerti, ia pun kembali duduk di kasur empuk miliknya.

Jeno menepuk-nepuk pahanya, mengisyaratkan agar Jaemin duduk disana.

“Come here.”

Jaemin menurut dan membawa tubuhnya untuk duduk di atas pangkuan sahabatnya. Jaemin melingkarkan jemarinya pada pinggang kokoh sang sahabat. Ia mrngistirahatkan kepalanya pada perpotongan leher Jeno.

“Maaf karna terlambat datang.” Jaemin mengangguk, memberikan perasaan geli pada leher Jeno. Jeno menggerakkan jemarinya, mengusap kepala hingga tengkuk Jaemin, hingga Jeno dapat mendengar Jaemin kembali terlelap dalam tidurnya.

tw // fight

Jeno menggertakkan rahangnya sesaat setelah dirinya mendapat pesan dari ibunda Jaemin. Tatapan Jeno penuh akan kilatan amarah, ia menatap nyalang Mark yang kini tengah tertawa bersama Hendery dan Lucas di hadapannya. Ia meremat jemarinya kuat, kilatan emosi itu terpancar kuat di bola matanya.

“Dimana Jaemin?” Jeno berucap dengan dingin. Sontak hal itu membuat tawa Mark, Hendery, dan Lucas mereda saat itu juga.

“Jen apaan deh.. kan Mark sama kita. Mana tau dia? Sabar dulu sab—.” Hendery berusaha mencairkan suasana.

“Gue nanya ke lo Mark sekali lagi. Dimana Jaemin?” Lucas akhirnya menahan Hendery yang tengah berusaha menengahi keduanya.

Mark tersenyum sarkastik, ia mengambil rokok Marlboro miliknya, mengambil korek api dan membakar nikotin itu. Ia menatap Jeno remeh, seolah tak melakukan suatu kesalahan fatal.

“Yaelah, dia cowok bisa balik sendiri kali.” Mark menghisap nikotin itu lalu menghembuskannya ke depannya.

“Maksud lo?”

Mark tersenyum kecil, ia membalas. “Dia ribet banget, Jen. Jadi gue tinggal dia tadi.”

“MARK?!” Kali ini Hendery menatap sahabatnya dengan wajah terkejut.

Mark menggendikkan bahunya acuh, “habis ribet banget. Masa gue ajak ke pantai doang kayak gue bawa dia ke tepi jurang. Lebay banget, lemah jadi cowok.”

Mendengar kata “pantai” Jeno beranjak dari duduknya.

“PANTAI LU BILANG?!” Jeno berteriak dengan nyalang. Ia menarik kerah Mark keatas. Hal itu sontak menjadi tontonan cafe yang terbilang cukup ramai malam itu.

“Lu gak budeg kan? Bisa denger gue bilang apa barusan? Perlu gua ulang sekali lagi?”

Tanpa pikir panjang Jeno segera melayangkan pukulannya tepat mengenai rahang pemudi berdarah Canada itu.

BUGH

“BRENGSEK! LU TAU GAK DIA ADA TRAUMA PANTAI ANJING LO. BAJINGAN.”

BUGH BUGH BUGH

Pukulan bertubi-tubi Jeno layangkan. Mark tidak sempat melayangkan pukulan balasan, sudut bibirnya telah mengeluarkan darah, kepalanya pusing luar biasa.

“JEN! TAHAN EMOSI LU BANGSAT!” Kali ini Lucas berusaha menengahi keduany. Jeno segera menghempaskan tubuh Mark dengan kasar. Ia mengambil kunci motornya lalu berlari menyusuri cafe menuju pintu keluar. Sepanjang jalan berbagai pasang mata menatapnya dengan berbagai pandangan, namun Jeno tidak perduli. Yang ada di pikirannya kini hanya satu, Jaeminnya semoga tidak apa-apa.


Jeno melajukan laju motornya dengan kecepatan diatas rata-rata. Matanya memanas, perasaan bersalah itu menghiasi relung hatinya. Batinnya berkecamuk ribut, sungguh ia sangat khawatir.

“Nana kumohon bertahan sebentar. Maafkan aku.”


Jaemin masih berada di tempat yang sama. Ia memeluk erat lututnya. Langit telah berubah warna menjadi gelap. Tubuh Jaemin melemas, ia telah kehilangan seluruh tenaganya melawan rasa takut yang mendera jiwanya. Kepalanya terasa berat, pandangannya mulai mengabur. Ia menengadahkan kepalanya sesaat setelah merasakan seseorang membawanya ke dalam rengkuhan hangatnya. Jaemin tahu itu siapa.

“Nana, hey.. maaf baru datang. You're save now. You have me. It's okay it's okay.” Jaemin tersenyum, ia mengeratkan pelukannya pada pinggang milik seseorang di hadapannya.

“Nono, terima kasih.”

Jaemin tidak tahu apa yang terjadi setelahnya. Yang ia tahu pandangannya berubah menjadi gelap, sesaat setelah sahabatnya, Jeno kembali menolongnya.

tw // verbal abuse, thalassophobia, trauma.

Jaemin mulai tersadar tat kala kedua netranya bertemu dengan hamparan pasir yang luas. Netranya bergerak tak tentu arah, sebuah ketakutan mencuat kepermukaan. Tangannya berkeringat dingin.

“Jaem ayok tu—.” Belum selesai Mark menyelesaikan ucapannya, Jaemin telah lebih dulu memotongnya.

“Kenapa kesini?” Suara Jaemin kini terasa dingin dan tidak bersahabat.

“Ya ke pantai? Liat sunset. Bagus tau Jaem, lo harus li—.”

“Pulang.” Mark mengernyitnya alisnya, bingung. Ia berusaha sekuat tenaga menahan gejolak emosi yang membakar dada.

“Apaan sih? Baru juga nyampe.” Mark bergegas menarik jemari Jaemin untuk mendekati bibir pantai.

“Gak mau.” Jaemin berusaha berontak, dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk melepaskan jengkraman kuat Mark pada pergelangan tangannya.

“LU KENAPA SIH ANJING. RIBET BANGET JADI ORANG.” Emosi Mark sudah berada di ujung tanduk. Jaemin mengalihkan pandangannya kearah lain.

Mark mencengkram kedua pipi berisi milik Jaemin. Mau tidak mau Jaemin menatap netra Mark dengan kilatan amarah yang membuncah disana. Jaemin menggenggam erat jemarinya, dadanya sesak luar biasa. Rasanya oksigen begitu sulit memasuki rongga paru-parunya.

“Gue udah baik ngajak lu kesini, anjing. Gatau terima kasih banget.” Mark menghempaskan kasar wajah Jaemin. Jaemin yang tidak bisa menjaga keseimbangannya pun berakhir terjatuh. Jaemin terdiam, dia tak melakukan aksi protes atau apapun. Tubuhnya lemas luar biasa. Memori-memori kelam miliknya perlahan terbuka bagaikan kaset yang rusak. Kepingan-kepingan memori buruk itu kembali tampil dalam pikirannya. Jaemin mendesah frustasi, ia menutup kedua telinganya guna menghilangkan suara-suara bising itu. Mark masih melayangkan sumpah serapah di hadapannya. Jaemin tak bisa mendengar apapun, seolah pendengarannya tuli.

“BAJINGAN. DENGER GUE NGOMONG GAK?”

Jaemin terdiam, ia tak merespon sedikitpun perkataan Mark. Mark yang kesal pun bergegas pergi meninggalkan Jaemin seorang diri tanpa memperdulikan teriakan tertahan milik pria manis itu.

Jaemin merogoh sakunya, mengetik dengan gemetar, ia butuh Jeno-nya. Hanya Jeno yang memahami kondisinya. Namun sialnya, daya ponselnya habis. Jaemin mulai terisak, kepalanya sakit luar biasa. Ia melingkarkan kedua lengannya di luntut miliknya, berharap sebuah keajaiban datang. Berharap Jeno-nya tiba-tiba muncul di hadapannya, meskipun itu mustahil.

“Nono... Nana takut...” lirihnya.

tw // verbal abuse, thalassophobia, trauma.

Jaemin mulai tersadar tat kala kedua netranya bertemu dengan hamparan pasir yang luas. Netranya bergerak tak tentu arah, sebuah ketakutan mencuat kepermukaan. Tangannya berkeringat dingin.

“Jaem ayok tu—.” Belum selesai Mark menyelesaikan ucapannya, Jaemin telah lebih dulu memotongnya.

“Kenapa kesini?” Suara Jaemin kini terasa dingin dan tidak bersahabat.

“Ya ke pantai? Liat sunset. Bagus tau Jaem, lo harus li—.”

“Pulang.” Mark mengernyitnya alisnya, bingung. Ia berusaha sekuat tenaga menahan gejolak emosi yang membakar dada.

“Apaan sih? Baru juga nyampe.” Mark bergegas menarik jemari Jaemin untuk mendekati bibir pantai.

“Gak mau.” Jaemin berusaha berontak, dengan sekuat tenaga ia berusaha untuk melepaskan jengkraman kuat Mark pada pergelangan tangannya.

“LU KENAPA SIH ANJING. RIBET BANGET JADI ORANG.” Emosi Mark sudah berada di ujung tanduk. Jaemin mengalihkan pandangannya kearah lain.

Mark mencengkram kedua pipi berisi milik Jaemin. Mau tidak mau Jaemin menatap netra Mark dengan kilatan amarah yang membuncah disana. Jaemin menggenggam erat jemarinya, dadanya sesak luar biasa. Rasanya oksigen begitu sulit memasuki rongga paru-parunya.

“Gue udah baik ngajak lu kesini, anjing. Gatau terima kasih banget.” Mark menghempaskan kasar wajah Jaemin. Jaemin yang tidak bisa menjaga keseimbangannya pun berakhir terjatuh. Jaemin terdiam, dia tak melakukan aksi protes atau apapun. Tubuhnya lemas luar biasa. Memori-memori kelam miliknya perlahan terbuka bagaikan kaset yang rusak. Kepingan-kepingan memori buruk itu kembali tampil dalam pikirannya. Jaemin mendesah frustasi, ia menutup kedua telinganya guna menghilangkan suara-suara bising itu. Mark masih melayangkan sumpah serapah di hadapannya. Jaemin tak bisa mendengar apapun, seolah pendengarannya tuli.

“BAJINGAN. DENGER GUE NGOMONG GAK?”

Jaemin terdiam, ia tak merespon sedikitpun perkataan Mark. Mark yang kesal pun bergegas pergi meninggalkan Jaemin seorang diri tanpa memperdulikan teriakan tertahan milik pria manis itu.

Jaemin merogoh sakunya, mengetik dengan gemetar, ia butuh Jeno-nya. Hanya Jeno yang memahami kondisinya.

Jaemin berlari dengan sedikit tergesa-gesa sesaat setelah dirinya mendapat notifikasi pesan bahwa sang pujaan hati telah menunggunya di depan rumah. Ia mengunci rumahnya dengan tergesa, lalu bergegas menghampiri Mark—sang pujaan hati yang telah menunggunya diatas motor sport miliknya.

“Hai.” Sapanya dengan senyum mengembang di wajahnya. Seulas senyum terbit di belah bibir Jaemin. Ia pun membalas sapaan lawan bicaranya.

“Hai?”

“Nih, pake dulu.” Mark menyerahkan sebuah helm bogo berwarna biru langit ke hadapan Jaemin. Jaemin menerimanya dengan senang hati, masih dengan senyuman yang tak luntur dari paras eloknya.

Klik. Jaemin telah selesai memakai helmnya. Ia bergegas menaiki motor sport milik Mark. Sesaat setelah Jaemin berhasil mencari posisi yang nyaman di atas motor sport milik Mark, ia merasakan jemari Mark menarik pelan pergelangan tangannya. Ia melingkarkan jemari lentik milik Jaemin di perut Mark. Jaemin merasa seperti ribuan kupu-kupu bersarang di perutnya.

“Safety first.”

Mark melajukan motornya membelah jalanan Jakarta. Langit yang cerah sangat seolah mendukung dua insan yang tengah merajut rasa di atas sebuah motor sport keluaran terbaru.

Mark melajukan motornya dengan kecepatan normal. Sesekali Mark melakukan teknik mengerem mendadak, sedikit menjahili Jaemin. Jaemin tak sekali dua kali melayangkan protes. Ia mencubit pelan perut bidang Mark yang dihadiahi tawa keduanya.

“Kita mau kemana?”

Suara Jaemin beradu dengan kencangnya angin sepanjang perjalanan.

“Hah?”

“KITA MAU KEMANA, MARK?”

“Oh, mau ke tempat bagus. Lo pasti suka.”

Jaemin hanya mengangguk patuh. Ia tak lagi bertanya dan memilih menikmati macetnya jalanan ibukota di bawah langit cerah Jakarta.

Semua terjadi seperti mimpi, mimpi burukku kehilanganmu. warnings : depression after death , suicide attempt , suicidal thought.

Guide: Listen this while reading the whole chapter.


Satu tahun kemudian

Jeremy berjalan perlahan diantara gundukan tanah. Netranya berpencar mencari 'rumahnya' yang telah pergi. Sebuah batu nisan menuliskan nama Nathanael Athala disana. Jeremy tersenyum kecil, ia terduduk di atas gundukan tanah itu.

Hey pretty. Aku dateng lagi hehe, gak kerasa udah setahun aja kamu ninggalin aku disini.”

Hening, tidak ada sahutan apapun. Jeremy menghembuskan nafasnya kasar. Ia menengadahkan kepalanya ke atas, berharap air matanya tidak jatuh di hadapan sang kekasih.

Tapi lagi-lagi ia gagal.

“Nath, aku kangen..”

Lagi-lagi hening, Jeremy hanya dapat merasakan hembusan angin menerpa tubuhnya. Jeremy terkekeh, jika orang lain melihatnya seperti ini di tempat lain mungkin orang tersebut akan berkata bahwa ia gila.

Walaupun itu tidak sepenuhnya salah.

“Maaf ya Nath, baru bisa jenguk sekarang. Maaf aku gak punya nyali yang cukup untuk ketemu kamu di rumah baru kamu.” Air mata Jeremy terjun bebas begitu saja tanpa bisa ia tahan.

“Setelah kepergian kamu, semuanya kerasa berat. Aku— udah lulus SMA beberapa bulan setelah kepergian jamu. Nilai aku engga bisa dibilang baik, tapi itu cukup. Cukup untuk bikin kamu bangga kan?” Jeremy tersenyum lagi.

Jeremy mengusap batu nisan yang bertuliskan nama sang kekasih.

“Kamu itu nafas aku, nyawa aku, jantung aku. Ketika kamu pergi, kamu bawa semuanya dari aku. Kamu bawa diri aku sepenuhnya. Hanya raga aku aja yang tersisa disini, Nath.” Jeremy tersenyum kecil, hati kecilnya berdenyut nyeri. Perasaan-perasaan bersalah itu kembali hadir.

“Kamu adalah warna terindah yang pernah hadir. Sekarang kehidupan aku abu-abu, Nath. Bahkan aku gak melanjutkan kuliah.” Netra Jeremy berfokus pada batu nisam bertuliskan nama kekasihnya, Nathan.

Seolah langit tahu bahwa salah seorang manusia di bumi tengah bersedih. Sore itu, langit turut bersedih akan luka yang selama satu tahun ini Jeremy alami. Langit ikut menangis, menangis bersama Jeremy yang kini tubuhnya telah basah oleh rintikan hujan yang membasuh bumi.

Setelah kepergian Nathan, Jeremy mengalami banyak hal. Ketakutan untuk mandi di dalam bathup. Memori itu akan kembali terulang saat dirinya melihat sebuah bathup. Dia akan lebih memilih mandi dibawah guyuran shower dibanding bathup. Tubuh Nathan yang terbujur kaku menjadi memori membekas yang tak akan pernah hilang dalam benak Jeremy.

Berkali-kali Jeremy berusaha mengakhiri hidupnya. Ia melakukan berbagai cara mulai dari tidak mau makan, mengurung diri, memukul benda apa saja yang ada di dekatnya hingga menyebabkan lengannya dipenuhi darah, hingga meminum cairan beracun seperti pembersih kamar mandi.

Tapi entah mengapa, semesta selalu membiarkannya tetap hidup. Menjalani hidup dengan perasaan bersalah. Keluarga Jeremy membawanya ke rumah sakit jiwa dan jeremy melalukan sejumlah perawatan disana selama satu tahun terakhir.

Selama satu tahun ini, Jeremy bertahan dengan obat-obatan setiap harinya. Tubuhnya yang dulu kuat serta berisi perlahan menjadi kurus dan tak terurus. Tatapan matanya kosong, bibirnya kering dan pucat, senyum bulan sabit itu tak pernah lagi terpantri di bibirnya.

Jeremy Navendra lebih pantas disebut sebagai mayat hidup dibandingkan seorang manusia.


Jeremy telah berada di makam milik kekasihnya selama 5 jam. Ia sama sekali tak berniat untuk beranjak atau sekedar memindahkan tungkainya ke sisi yang lain. Kini Jeremy tengah membaringkan tubuhnya disamping gundukan tanah itu, merengkuh tanah itu dalam pelukannya, membayangkan bahwa ia tengah memeluk semestanya.

Tenang.

Itu yang Jeremy rasakan sekarang. Tenang, nyaman, damai. Rasanya hangat, seperti kehangatan Nathan ketika merengkuh tubuhnya dahulu. Nathan yang setia merengkuhnya ketika semesta memperlakukannya buruk. Nathan yang setia mengusap surai coklat milik Jeremy dengan gerakan teratur.

Jeremy merindukannya.

Jeremy merindukan dekapan itu, tawa Nathan yang telah lama tak ia dengar, usapan penuh kasih sayang yang Nathan berikan padanya. Jeremy benar-benar merindukannya. Jeremy memejamkan matanya sebentar, ia sungguh tidak perduli meski tubuhnya kini menggigil kedinginan atau meski hujan terus turun membasahi tubuhnya. Jeremy hanya menginginkan berdekatan dengan semestanya, meski hanya sebentar, Jeremy ingin merasakan hangat itu lagi.

Perlahan mata Jeremy terpejam, ia ingin mengistirahatkan dirinya dari hiruk pikuk dunia. Ia ingin menyerah, terlalu lelah berjuang, terlalu lelah menghadapi kejamnya dunia. Dunia tidak memiliki tempat yang layak untuk Jeremy.

Nathan, jika aku tidak bisa bertemu denganmu, setidaknya datanglah ke mimpiku.


Hamparan rumput hijau yang asri membentang luas, Jeremy tidak tahu mengapa ia berada disini. Seingatnya, ia sedang berada di makam kekasihnya dan tengah memeluk kekasihnya. Jeremy tidak mengerti dimana ia berada sekarang.

“Hey..” Sapa seseorang.

Suara ini, suara yang selalu Jeremy harapkan untuk dapat ia dengar kembali, barang hanya sekali. Suara lembut dan tulus, suara yang tidak pernah menyakitinya. Suara yang selalu ia rindukan setiap harinya.

Jeremy mengedarkan pandangannya, netranya bertemu dengan mata indah nan cantik milik seseorang yang selalu ia harapkan hadirnya setiap detiknya.

Tanpa aba-aba Jeremy berlari ke arahnya, merengkuh tubuh itu seerat mungkin, rasanya jika ia lengah sedikit saja maka tubuh itu akan hilang dari pandangannya.

“Hey, calm down. So, hows life?” Suara lembut itu kembali Jeremy dengar. Jemarinya mengusap rambut Jeremy dengan gerakan teratur.

“Buruk. Selalu buruk, tanpa kamu.” Nathan tersenyum, meski Jeremy tak mungkin melihatnya.

“I know it must be hard for you. I'm so sorry for left you alone.” Jeremy mengangguk dalam rengkuhan Nathan. Ia hanya ingin memeluk Nathan selama yang ia bisa.

Please, bawa aku pergi. Aku lebih baik ikut bersamamu.” Nathan menghembuskan nafasnya pelan. Sejujurnya jika boleh, ia akan dengan senang hati membawa Jeremy ke tempatnya sekarang, ke rumah barunya.

“I'm so sorry but, i can't.” Jeremy semakin mengeratkan pelukannya. Ia sangat takut, takut sekali kehilangan sosok Nathan lagi.

“Tolong lanjutkan hidup kamu, Jer. Tolong berbahagia. Kita akan bertemu lagi saat memang sudah waktunya.”

“Aku capek, Nath. Gak ada lagi tempat aku pulang. Rasanya dunia terlalu kejam untukku.” Nathan mengangguk paham, ia sangat paham akan perasaan Jeremy.

“Tetaplah hidup, setidaknya untukku. Jagalah dirimu baik-baik. Berhenti menyakiti dirimu. Aku mencintaimu lebih dari apapun.”

“Lalu kenapa kamu meninggalkan aku?” Lagi, Nathan hanya tersenyum. Ia melonggarkan pelukannya, mengusap wajah Jeremy yang dipenuhi oleh air mata. Ia menghapuskan air mata itu, mendaratkan sebuah kecupan singkat di bibirnya.

Nathan meraba wajah Jeremy dengan jemarinya. Pahatan wajahnya itu tetap terlihat sempurna meski kini tubuh itu tak lagi sekokoh setahun yang lalu, pipi itu terlihat lebih tirus, sorotan mata itu tidak lagi penuh kehangatan. Jeremy memejamkan matanya, merasakan jemari lentik nan hangat milik Nathan di permukaan kulit wajahnya.

Ketika Jeremy membuka kedua matanya, ia melihat Nathan berjalan menjauh. Baju putih terang miliknya tampak bercahaya, Jeremy tak berkutik, ia tak dapat pergi menyusul Nathan disana. Ia hanya dapat terdiam dengan derai air mata yang terus membasahi wajahnya.

Hari itu, Jeremy belajar untuk melepas, melepas bebannya dan merelakan segalanya. Ia belajar untuk menjalani kehidupannya kembali, seperti permintaan Nathan.

Jeremy Navendra telah menemukan kembali alasan ia untuk tetap bertahan. Nathanael Athala tidak pernah meninggalkan Jeremy, ia selalu dan akan selalu berada di sisi Jeremy.

tw : suicide , suicidal thought , anxiety. this part may triggered some of you. Please be carefull. Read by your own risk.


Jeremy melajukan motornya membelah jalanan Jakarta di sore hari sesaat setelah dirinya melihat postingan kekasihnya, Nathan beberapa saat yang lalu. Jantungnya bertalu dengan cepat, ia diliputi oleh perasaan cemas tak berujung.

Dalam hati ia merapalkan doa, semoga kekasihnya masih memilih bertahan bersamanya. Ia memandang jalanan yang sedikit macet sore itu. Ia merutuki setiap orang yang menghalanginya jalannya. Jeremy melesatkan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat beberapa orang tampak berteriak disertai klakson yang saling bersahutan.

Jeremy terus merapalkan doa dalam hati. Harapan akan keadaan Nathan. Hatinya gelisah, Jeremy benar-benar menyesal menolak permintaan Nathan sore tadi. Berbagai perkataan 'seandainya' bermunculan dalam benaknya seperti kaset rusak.

“Sayang kumohon tetap bertahan disini. Kumohon jangan menyerah.” Jeremy berteriak frustasi dalam hatinya.


Kini dirinya telah sampai di depan rumah minimalis milik kekasihnya. Rumah yang didominasi oleh warna putih tulang itu tampak sepi. Jeremy bergegas berlari kedalam sesaat setelah dirinya memarkir asal motor miliknya.

Ia menaiki satu persatu anak tangga dengan langkah lebar. Ia berlari secepat yang ia bisa, bahkan nyaris saja terjatuh. Namun ia tak menghiraukannya. Netranya tertuju pada sebuah pintu berwarna coklat tua dengan tulisan “Nathan's room” di depannya.

Jeremy segera membuka pintu kamar itu tak sabaran. Netranya menatap ke seluruh penjuru ruangan.

Kosong.

Jeremy mendesah frustasi. Ia melihat botol obat milik kekasihnya yang tampak berserakan. Netranya terarah pada pintu kamar mandi.

Pikirannya kalut, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia sangat takut akan kemungkinan-kemungkinan yang kini bersarang di kepalanya.

Jeremy membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Jemarinya bergetar hebat, nafasnya naik turun dengan tempo acak serta dadanya yang berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.

Begitu Jeremy membuka pintu kamar mandi itu dengan sempurna, nafasnya tercekat, jantungnya terasa berhenti berdetak. Tungkainya terasa tak mampu menopang bobot tubuhnya. Jeremy jatuh berlutut, menatap kekasihnya yang tubuhnya sudah tidak lagi bernyawa. Berada dibawah balutan air di dalam bathup miliknya.

Dunia Jeremy hancur detik itu juga. Jeremy berjalan merangkak, tidak perduli dengan celananya yang basah. Air matanya telah meluruh tanpa permisi. Berlomba-lomba untuk jatuh. Isakan terdengar dari bibir ranum Jeremy, hatinya berdenyut nyeri. Kekasihnya, dengan bibir yang sudah membiru di dalam bath up sana. Jeremy segera mengangkat tubuh Nathan, membawanya ke dalam pelukannya, merengkuh tubuh itu seerat yang ia bisa.

“Nggak.. hey, cantik. Sayangnya Jeremy, kamu lagi becanda kan? Bangun ayo. Bangun Nath. Gak lucu ah becandanya.” Air mata Jeremy terus meluruh tanpa henti.

Jeremy masih berusaha, ia menekan dada Nathan lalu meniupkan nafas buatan disana. Berkali-kali ia mencoba sekuat tenaga. Menggoyangkan tubuh Nathan kembali setelahnya. Namun hasilnya tetap sama.

Tubuh itu terdiam kaku tanpa pergerakan sedikitpun.

Ingatan Jeremy kembali kepada beberapa hari yang lalu, mengenai pertanyaan Nathan. Saat itu ia bertanya bagaimana jika dirinya menghilang. Yang Jeremy tahu menghilang yang harus dicari, jika menghilang seperti ini, kemana Jeremy harus mencarinya?

“Nathan, sayang.. aku berjanji akan mencarimu kemana saja. Bahkan hingga ujung dunia sekalipun. Tetapi jika begini, aku harus mencarimu kemana hm?” Jeremy mengusap kulit Nathan yang telah membiru. Ia kembali merengkuh tubuh itu untuk terakhir kali. Berharap Tuhan masih berbaik hati dengannya dan mengembalikan sang kekasih ke dalam pelukannya.

Tetapi itu hanyalah angan-angan belaka. Nyatanya, semesta merenggut paksa harta paling berharga dari Jeremy.


Nathanael Athala akan selalu menjadi luka sekaligus memori terindah yang pernah hadir dalam hidup Jeremy.

tw : suicide , suicidal thought , anxiety. this part may triggered some of you. Please be carefull. Read by your own risk.


Jeremy melajukan motornya membelah jalanan Jakarta di sore hari sesaat setelah dirinya melihat postingan kekasihnya, Nathan beberapa saat yang lalu. Jantungnya bertalu dengan cepat, ia diliputi oleh perasaan cemas tak berujung.

Dalam hati ia merapalkan doa, semoga kekasihnya masih memilih bertahan bersamanya. Ia memandang jalanan yang sedikit macet sore itu. Ia merutuki setiap orang yang menghalanginya jalannya. Jeremy melesatkan motornya dengan kecepatan diatas rata-rata, membuat beberapa orang tampak berteriak disertai klakson yang saling bersahutan.

Jeremy terus merapalkan doa dalam hati. Harapan akan keadaan Nathan. Hatinya gelisah, Jeremy benar-benar menyesal menolak permintaan Nathan sore tadi. Berbagai perkataan 'seandainya' bermunculan dalam benaknya seperti kaset rusak.

“Sayang kumohon tetap bertahan disini. Kumohon jangan menyerah.” Jeremy berteriak frustasi dalam hatinya.


Kini dirinya telah sampai di depan rumah minimalis milik kekasihnya. Rumah yang didominasi oleh warna putih tulang itu tampak sepi. Jeremy bergegas berlari kedalam sesaat setelah dirinya selesai memarkir asal motor miliknya.

Ia menaiki satu persatu anak tangga dengan langkah lebar. Ia berlari secepat yang ia bisa, bahkan nyaris saja terjatuh. Namun ia tak menghiraukannya. Netranya tertuju pada sebuah pintu berwarna coklat tua dengan tulisan “Nathan's room” di depannya.

Jeremy segera membuka pintu kamar itu tak sabaran. Netranya menatap ke seluruh penjuru ruangan.

Kosong.

Jeremy mendesah frustasi. Ia melihat botol obat milik kekasihnya yang tampak berserakan. Netranya terarah pada pintu kamar mandi.

Pikirannya kalut, tubuhnya bergetar ketakutan. Ia sangat takut akan kemungkinan-kemungkinan yang kini bersarang di kepalanya.

Jeremy membuka pintu kamar mandi dengan hati-hati. Jemarinya bergetar hebat, nafasnya naik turun dengan tempo acak serta dadanya yang berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya.

Begitu Jeremy membuka pintu kamar mandi itu dengan sempurna, nafasnya tercekat, jantungnya terasa berhenti berdetak. Tungkainya terasa tak mampu menopang bobot tubuhnya. Jeremy jatuh berlutut, menatap kekasihnya yang tubuhnya sudah tidak lagi bernyawa. Berada dibawah balutan air di dalam bathup miliknya.

Dunia Jeremy hancur detik itu juga. Jeremy berjalan merangkak, tidak perduli dengan celananya yang basah. Air matanya telah meluruh tanpa permisi. Berlomba-lomba untuk jatuh. Isakan terdengar dari bibir ranum Jeremy, hatinya berdenyut nyeri. Kekasihnya, dengan bibir yang sudah membiru di dalam bath up sana. Jeremy segera mengangkat tubuh Nathan, membawanya ke dalam pelukannya, merengkuh tubuh itu seerat yang ia bisa.

“Nggak.. hey, cantik. Sayangnya Jeremy, kamu lagi becanda kan? Bangun ayo. Bangun Nath. Gak lucu ah becandanya.” Air mata Jeremy terus meluruh tanpa henti.

Jeremy masih berusaha, ia menekan dada Nathan lalu meniupkan nafas buatan disana. Berkali-kali ia mencoba sekuat tenaga. Menggoyangkan tubuh Nathan kembali setelahnya. Namun hasilnya tetap sama.

Tubuh itu terdiam kaku tanpa pergerakan sedikitpun.

Ingatan Jeremy kembali kepada beberapa hari yang lalu, mengenai pertanyaan Nathan. Saat itu ia bertanya bagaimana jika dirinya menghilang. Yang Jeremy tahu menghilang yang harus dicari, jika menghilang seperti ini, kemana Jeremy harus mencarinya?

“Nathan, sayang.. aku berjanji akan mencarimu kemana saja. Bahkan hingga ujung dunia sekalipun. Tetapi jika begini, aku harus mencarimu kemana hm?” Jeremy mengusap kulit Nathan yang telah membiru. Ia kembali merengkuh tubuh itu untuk terakhir kali. Berharap Tuhan masih berbaik hati dengannya dan mengembalikan sang kekasih ke dalam pelukannya.

Tetapi itu hanyalah angan-angan belaka. Nyatanya, semesta merenggut paksa harta paling berharga dari Jeremy.


Nathanael Athala akan selalu menjadi luka sekaligus memori terindah yang pernah hadir dalam hidup Jeremy.

tw : suicide , suicidal thought , anxiety. this part may triggered some of you. Please be carefull. Read by your own risk.


Baskara telah terbit dari timur, menghantarkan Nathan kembali kepada realita. Realita pahit yang harus ia jalani setiap harinya. Ia menggenggam erat surai hitam legam miliknya lantas menariknya sekuat tenaga. Ia berusaha menghalau teriakan-teriakan yang bersarang di kepalanya.

Nathan membawa tubuhnya berdiri, ia bercermin disana. Ia melihat perawakannya pada cermin di hadapannya. Kantung matanya yang berwarna kehitaman, bibir yang kering dan pucat, tubuh ringkihnya yang dibalut oleh kaus berwarna putih, lengannya yang dipenuhi bekas sayatan-sayatan yang masih baru, meninggalkan luka yang cukup dalam. Nathan meringis, melihat betapa hancurnya dirinya kini, dalam hati menertawakan perjalanan hidupnya yang sarat akan rasa sakit. Sungguh sangat mengenaskan.

Isi kepalanya kembali bersahut-sahutan. Mengatakan seuntaian kata tidak pantas disana.

Dasar jelek. Bodoh, Nathan bodoh. Nathan tidak pantas hidup. Semua orang akan pergi meninggalkanmu Dasar pria lemah Kamu seharusnya mati saja.

Teriakan-teriakan itu terus bersahut-sahutan. Nathan kembali meremat surainya sekuat tenaga, memukul kepalanya sekeras yang ia bisa. Teriakan cemooh itu terus terdengar disana.

Dengan sisa tenaga yang ada, Nathan mengambil kotak obat di atas nakas. Ia mengambil beberapa pil obat, melebihi dosis yang seharusnya. Lalu segera meneguk air putig yang selalu tersedia di nakas.

Teriakan-teriakan itu berangsur menghilang. Nathan menyandarkan tubuhnya pada dinding berwarna putih tulang tersebut, ia berusaha menstabilkan emosi yang ada pada dirinya. Dadanya bergerak naik turun dengan tempo acak. Ia meremat dadanya sebentar, merasakan ngilu bersarang di dadanya. Nathan memejamkan matanya, menjemput alam mimpi, ia lelah setelah berperang dengan dirinya sendiri hari ini. Atau mungkin jika diizinkan, ia ingin kedua netranya tidak lagi dapat menatap alam semesta.


04.00 PM

Nathan kembali terbangun dari tidurnya, masih dengan posisi yang sama, bersandar pada dinding berwarna putih tulang di kamarnya. Badannya terasa sedikit sakit, ia ingin segera mandi sekarang.

Perasaannya tidak berangsur membaik, teriakan-teriakan itu kembali terdengar bersahut-sahutan. Nathan menggeleng ribut. Sungguh, sungguh ia tidak tahan lagi. Rasanya dirinya berada di ujung jurang, ia sudah lelah. Ia lelah untuk berjuang di dunia yang fana ini.

Jeremy, maaf. Maafkan aku. Tolong berbahagia, meski tanpa hadirnya aku disisimu.

Dengan itu Nathan segera meraih ponselnya, mengetik beberapa pesan kepada semestanya.

Berharap Jeremy akan datang sama seperti hari-hari sebelumnya. Mengembalikannya pada kenyataan bahwa dunia tidak se jahat itu. Dunia masih berpihak padanya.

Tapi, nihil. Yang Nathan dapatkan adalah sebuah penolakan.

“Maafkan aku Jeremy.”

Nathan kembali meraih ponselnya sebentar, menulis sesuatu disana. Lalu ia menaruh kembali ponselnya dan bergegas ke kamar mandi. Ia menyalakan keran air dan mengisi bathup hingga penuh. Lalu ia merendamkan tubuhnya ke dalam bathup berusaha menampik segala pikiran buruk di kepalanya. Teriakan-teriakan itu terus bersahutan disana. Dadanya kembali bergemuruh, kepalanya sakit luar biasa.

Hari itu, Nathanael Athala menyerah pada dunia.