Ello

Gama dan Jehan telah sampai di pekarangan rumah milik Gama, motor CBR-250r tersebut telah terparkir sempurna di garasi milik Gama. Rumah bergaya minimalis menjadi hal yang pertama Jehan lihat. Rumah yang cukup besar namun sepi dan kosong, hanya ada beberapa maid yang tampak sedang bekerja disana.

“Yuk?” Gama menggenggam jemari Jehan, Jehan tidak berusaha menepis, justru ia mengikuti langkah kaki Gama dibelakangnya.

Jehan memasuki rumah minimalis itu, tidak ada satupun foto keluarga yang terpampang. Benar-benar sepi dan kosong. Hanya ada beberapa furnitur selayaknya rumah pada umumnya.

Hal ini membuat Jehan sedikit bertanya-tanya. Rumah itu memang besar, luas, serta nyaman. Tetapi entah mengapa, rumah itu begitu kosong dan seperti tidak bersahabat.

Apa Gama selama ini kesepian? Apa yang selama ini Gama rasakan? Sederetan pertanyaan tampak singgah di benak Gama.

Langkah keduanya terhenti di sebuah ruangan yang Jehan yakini sebagai ruang tamu. Jehan mendudukkan pantatnya di atas karpet bulu berwarna coklat beige disana. Daksa Gama tampak ikut mendudukkan pantatnya tepat di sebelah Jehan. Pikiran Jehan masih tetap sama, menerawang jauh dan menelisik setiap sudut ruangan di rumah Gama. Gama tampak sibuk mengambil buku-buku fisika miliknya, sedari tadi Gama tampak berceloteh riang namun Jehan seperti tidak merespon ucapannya.

“Jadi, lo mau nanyain yang mana?” Jehan sendiri sampai melupakan akan tujuannya ke rumah bergaya minimalis ini. Gama yang menyadari bahwa Jehan sedang tidak fokus pun menjentikkan jemarinya agar Jehan kembali fokus.

Dan, berhasil.

“Eh, sorry-sorry. Tadi lo nanya apa?” Jehan menatap Gama tak enak hati, Gama hanya mendengus kesal, lebih tepatnya berpura-pura marah.

“Gamaa jangan marah dong, gue lagi ngelamun tadi. Kalo marah nanti lo tambah jelek.” Entah mengapa Jehan menunjukkan sisinya yang satu ini, kini ia menatap Gama dengan tatapan memohon. Jehan sedikit mengerucutkan bibirnya.

Jehan sedang merajuk.

Gama terdiam, jantungnya kembali berdetak lima kali lebih cepat dari biasanya. Gama tahu betul Jehan seperti apa, lelaki kelahiran Jogja itu merupakan lelaki yang memiliki gengsi yang sangat tinggi. Pun, ia sedikit galak di mata banyak orang.

Dan kini, Jehan-nya sedang menatapnya dengan tatapan memohon. Tolong sadarkan Gama agar segera kembali ke kenyataan, ya. Gama rasa sekarang ia telah terbang hingga ke langit ke tujuh.

Tolong beritahu semesta untuk sedikit berbaik hati kepada Gama.

Gama tersenyum simpul, “jadi, mana yang lo gak ngerti, Jehandra Baskara.” Gama menatap Jehan intens. Yang ditatap seperti itu pun tampak salah tingkah. Ia segera mengambil beberapa lembar kertas dari ranselnya dan menyerahkannya kepada Gama.

“Oh materi Medan Megnet ya? Masih bingung dimananya tuh?” Gama tampak melihat kertas yang telah Jehan kerjakan. Jehan pun menjelaskan kesulitannya, ia benar-benar bertanya tentang apa yang ada dipikirannya sejak di perpustakaan tadi.

Gama mengangguk mengerti. Ia mengambil kertas kosong yang sebelumnya telah ia persiapkan. Ia pun menjelaskan setiap pertanyaan yang Jehan lontarkan. Jemarinya dengan lihai menulis rumus demi rumus tanpa melihat ke arah buku. Menjelaskannya dengan cara yang mudah dipahami dan juga menggunakan cara yang lebih simple. Jehan sendiri tampak terpana melihat kelihaian Gama dalam fisika. Jemarinya yang menggores rumus demi rumus di selembar kertas putih, rahangnya yang mengeras menandakan ia sedang serius sekarang. Jangan lupakan sorot mata tajam yang sukses membuat Jehan terpana.

“Gimana, paham engga?” Jehan mengangguk antusias. Dirinya sekarang benar-benar paham.

Gama tersenyum kecil, ia mengacak rambut Jehan. Jehan yang mendapat perlakuan tersebut tampak mematung sesaat, sebelum akhirnya Jehan melayangkan protes dan memukul lengan Gama kencang. Yang dipukul tampak mengaduh kesakitan sambil mengusap lengannya.

“Aw! Anjing, Je. Sakit tau.” Gama tampak memprotes pukulan Jehan karena sungguh, pukulannya cukup sakit. Jehan bersikap acuh dan tidak memperdulikannya, hal itu membuat Gama terkekeh. Karena mimik wajah Jehan ketika sedang kesal sungguh sangat menggemaskan.

Gama tidak tahu saja, perlakuan Gama barusan berhasil membuat jantung Jehan memompa lebih cepat. Jehan sendiri berharap, semoga Gama tidak mendengar deruan Jantungnya yang berisik kini.

Bandung terima kasih, sore ini kau telah bersahabat dengan sepasang adam dibawah langit Bandung, mereka menutup hari dengan sebait senyuman disana.

04.25 PM

Entah sudah berapa lama Gama masih setia menunggu pujaan hatinya sore itu. Semilir angin pada langit sore kala itu menemani Gama beserta pikiran-pikiran yang bersarang di kepalanya. Sebuah senyuman simpul terpantri di bibirnya mengingat kedekatan yang ia jalin bersama Jehan beberapa waktu kebelakang. Gama tidak tahu apa yang Jehan rasakan, sedari awal dia tidak pernah berekspektasi apapun ketika berusaha mendekati Jehan. Gama hanya ingin senyuman manis seperti malaikat itu dapat terus terpancar dari belah bibir Jehan. Gama tidak akan membiarkan setetes air mata kesedihan keluar dari mata indah penuh kehangatan itu.

“WOI!” Gama tampak terperanjat, jantungnya bertalu begitu cepat bagaikan sehabis lari marathon jakarta-bandung.

“Anjing, kanget.” Gama tampak mengusap dadanya naik turun. Dirinya benar-benar terkejut melihat daksa Jehan secara tiba-tiba berada dihadapannya.

“Lagian ngelamun. Mikirin apaan deh lo? Serius amat.” Alis Jehan berkerut, bertanda ia tengah bingung sekarang. Sialnya ekspresi kebingungan Jehan terlihat begitu menggemaskan di penglihatan Gama. Sekuat tenaga Gama mengendalikan dirinya agar tidak melakukan tindakan konyol yang sedang menari-nari dipikirannya.

Mencubit serta mencium seluruh wajah Jehan misalnya.

Tentu, Gama tidak akan melakukannya. Berada dekat dengan Jehan saja sudah lebih dari cukup. Tidak apa-apa seperti ini juga, Gama sudah bahagia.

“Jangan kepo dah lu kaya wartawan aja.” Jehan mendengus kesal, ia memutar matanya malas. Gama hanya terkekeh melihat tingkah menggemaskan pujaan hatinya.

“Udah yuk langsung aja? Tar baliknya jadi kemaleman lagi.” Gama mengambil helm dari motornya dan segera memakaikannya pada kepala Jehan.

klik!

“Nah udah aman deh.” Gama tampak menepuk helm yang tengah dikenakan Jehan sebanyak dua kali.

“Gausah di tepuk juga dong anjing.” Gama tergelak mendengar perkataan Jehan. Ia pun segera menaiki motornya disusul Jehan setelahnya.

Gama melajukan motornya keluar dari pekarangan sekolah dengam kecepatan sedang. Langit keorangean menyambut keduanya, Bandung hari ini tampak begitu bersahabat. Gama tersenyum kecil, ia berharap suatu saat Bandung dapat berteman dengannya, menerimanya yang berbeda dengan orang lain. Bandung, berbaik hatilah dengan Gama, ya?

TCKIT

“ANJING GAMA.” Gama tiba-tiba rem mendadak, spontan Jehan melingkarkan lengannya di perut Gama agar tidak terjatuh. Jantung Gama bertalu lebih cepat. Gama kembali disadarkan ketika Jehan menarik tangannya dari perutnya, belum sempat Jehan menarik sepenuhnya Gama kembali menarik pergelangan tangan Jehan dan melingkarkannya kembali di perutnya.

“Nanti jatuh, pegangan aja. Takut lu terbang soalnya.” Perkataan Gama dibalas oleh cubitan pelan di perut Gama. Gama hanya tertawa renyah, meski tampak protes Jehan tidak mengelak. Ia justru mengeratkan pelukannya dan menaruh kepalanya di pundak Gama.

Jika boleh meminta pada semesta, Gama ingin menghentikan waktu sekarang. Ribuan kupu-kupu seperti bersarang di perutnya, menciptakan sensasi menggelitik disana.

“Mcd dulu kan? Happy meal kaya biasa?” Gama sedikit berteriak agar Jehan dapat mendengarnya.

Jehan mengangguk antusias, Gama dapat melihatnya melalui kaca spion CBR-250r miliknya. Gama pun menaikkan sedikit kecepatannya agar segera sampai di tempat tujuan.

Siang itu, matahari bersinar cukup terik. Gama dan teman-temannya tengah melangsungkan mata pelajaran olahraga. Sebenarnya, terlalu siang untuk menjalankan aktivitas fisik seperti olahraga. Gama menarik pergelangan tangannya, netranya menatap apple watch di pergelangan tangannya.

Pukul 11.17 am.

“Cuacanya lagi cerah, pas banget buat olahraga. Yuk anak-anak jangan males-malesan. Malu sama semut. Sekarang kita akan melangsungkan materi basket. Seperti biasa tanding dulu deh, minggu lalu kan basic-basic tentang basket udah bapak tunjukkan.”

Pak Yanto tampak menjelaskan. Gama tampak berseri, meskipun cahaya matahari sangat menyengat kulitnya, hal itu tak menghilangkan buncahan rasa bahagia pada diri Gama. Pasalnya Gama sangat menyukai pelajaran olahraga.

“Bapak bagi tim jadi 2 ya. Hitung 1,2 aja gimana?” Yang lain mengangguk pasrah. Mau tidak mau harus dilangsungkan kan?

Gama berlawanan kelompok dengan Jehan. Entah mengapa, Jehan terlihat kurang baik saat ini. Bibirnya sedikit pucat? Atau itu hanya perasaan Gama saja? Entahlah, tetapi sekarang Gama cukup was-was melihat Jehan.

Pertandingan dimulai. Bola basket dikuasai oleh Luke, si captain basket Neo HighSchool. Luke mendribble bola dengan gesit, dia melayangkan bola ke ring basket dan mendapatkan three point.

Satu lapangan bersorak gembira. Pertandingan berlanjut, kali ini dikuasai oleh Gama. Gama mendribble bola tersebut kemudian mengopernya ke Hendra. Hendra tampak menguasai bola tersebut, namun tim lawan tampak menghalanginya. Hendra segera melemparkan kembali bola tersebut ke arah Gama. Gama sedikit melompat dan mengambil alih bola basket tersebut, mengarahkan bola tersebut ke ring basket. Sebelum pada akhirnya menggunakan teknik layup shoot. Kembali, tim Luka mendapatkan two point.

Gama tampak berlari kecil ke arah Luke dan Hendra. Mereka melakukan toss ala-ala menyambut Gama. Tawa ketiganya menggema cukup keras.

Ditengah sorakan mereka, tiba-tiba seorang anak berteriak nyaring.

“PAK! JEHAN PINGSAN!!” Mendengar itu Gama dikabuti perasaan takut luar biasa. Ia segera mengikuti arah suara teriakan tersebut.

Pak Yanto pun bergegas menghampiri, tanpa aba-aba Gama segera mengangkat tubuh Jehan dan membawanya ke UKS. Hal itu menjadi tontonan seluruh anak kala itu. Bagaimana tidak, Gama yang tidak banyak bicara tiba-tiba menghampiri Jehan yang terkapar dengan wajah memerah padam. Dapat dilihat ada sorot penuh kekhawatiran disana.

Sepeninggalnya Jehan dan Gama, Pak Yanto segera menyuruh anak-anak untuk melanjutkan pertandingan.

1092 words tags : fluff ini kisah tentang senjanya Jeno ditemani oleh dua porsi ayam geprek dan dua gelas besar es jeruk beserta obrolan ringannya dengan si cantik, nabaskala.


Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit, dan jeno masih berada di parkiran salah satu mall di dekat kampusnya. Ia masih berusaha mencari parkiran yang kosong. Matanya mengedar mencari lahan yang kosong untuk dirinya memarkirkan mobil pajero putih miliknya. Sudah kurang lebih sepuluh menit ia berputar dan mencari parkiran yang kosong.

Salahkan kota jakarta yang selalu ramai terutama pada jam pulang sekolah seperti ini. Hari itu mall itu terlihat ramai, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mobil yang terparkir di parkiran mall itu. Jeno berdecak kesal, ia tidak ingin membuat Nana menunggu lebih lama.

Jeno meraih benda kotak tipis miliknya dan segera mengirimkan pesan kepada Nana, sahabatnya. Di depannya ia melihat akhirnya ada lahan parkir kosong untuk mobilnya. Jeno bersorak gembira dalam hati. Akhirnya penantiannya berakhir. Ia segera memarkirkan mobilnya lalu bergegas keluar mobil untuk segera turun menemui Nana.

Namun sayang, semesta sepertinya sedang mempermainkannya. Ia harus bertemu dengan dia, wanita yang mati-matian Jeno hindari.

“Loh, kak Jeno?”

Deg.

Jeno menggenggam erat kunci mobil yang ia pegang sekuat tenaga. Dalam hati, ia mengumpati semesta karena harus bertemu dengan wanita yang ingin ia lenyapkan dari dunia, jika ia bisa.

Sayangnya ia tak bisa.

“Oh iya, hai Greta? Ngapain disini?” Jeno berbasa-basi. Sejujurnya hati dan pikirannya menyuruhnya untuk segera melangkagkan kaki dari tempat itu, sebelum situasi semakin memburuk.

“Ya biasalah jalan-jalan sama mami. Papi abis beliin mobil baru tau hadiah ulang tahun aku. Sama ini juga nih, lucu kan ya.” Greta tampak menunjukkan lehernya yang dilingkari oleh sebuah kalung cantik disana. Jeno tau betul harga kalung itu tidaklah murah.

Dan Jeno paham betul, senyuman manis milik Greta hanyalah sebuah senyuman palsu untuk memamerkan padanya bahwa ayahnya— oh ralat, ayahnya Greta, telah memberinya banyak barang-barang baru, seolah Greta adalah anak kesayangan sang ayah dan dirinya tak lebih dari anak yang terhina dan terbuang.

“Bagus dong.” Jeno tampak merespon sekenanya. Ia segera kembali berjalan, tanpa melihat kebelakang lagi. Tanpa tahu bahwa Greta tampak menghentakkan kakinya kesal karena respon Jeno yang terlampau cuek.

Jeno marah? Sangat. Rasanya ia ingin memukul Greta saat itu juga. Jemarinya ia kepalkan kuat, memori buruk itu kembali menghampirinya. Memori bahagia serta penuh luka. Seperti permen karet yang berawal manis dan berakhir pahit. Tak ada euphoria rasa buah-buahan manis yang semula terasa di lidah. Hanya rasa manis yang semu.

Jeno melangkahkan kakinya perlahan. Pikirannya melalang buana entah kemana. Ia seharusnya berbahagia kini. Bukan memikirkan masa lalunya yang terlampau kelam. Kak Cia pasti akan memarahinya jika tau bahwa ia melamun seperti ini.

Ia kini tengah menaiki lift, menghantarkannya pada lantai 2, tempat dimana starbucks tersebut berada. Kilatan amarah yang tertahan disana masih tercetak jelas, atensinya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, ia mencari sosok lelaki manis yang tak lain adalah Nana.

“Jeno sini!” Nana tampak melambai-lambaikan tangannya. Jeno tersenyum kecil, ia melangkahkan kakinya ke arah pria manis itu. Dia sedang menyesap kopinya yang hampir tandas.

“Lo lama banget ah kaya putri solo.” Jeno hanya terkekeh melihat candaan yang terlontar dari bibir ranum sahabatnya.

Nana tidak bodoh untuk tidak memahami perubahan mood Jeno. Nana tahu betul dengan melihat kilatan menyala pada mata indah milik sahabatnya. Rahang sahabatnya yang tampak mengeras, luapan emosinya terlihat jelas disana. Amarah meletup-letup yang bersarang di dadanya, bersiap untuk meledak kapan saja. Tetapi Nana juga punya seribu satu cara untuk mengembalikan Jeno-nya ke sedia kala.

“Kangen ya lo?” Nana memutar matanya malas saat melihat raut percaya diri Jeno disertai senyum tengil yang menghiasi wajahnya. Mood Jeno yang semula hancur akibat pertemuan tak terduga dengan Greta— kini kembali membaik. Dalam hati, Nana bersyukur karena amarah sang adam telah melunak, digantikan oleh ekspresi tengil penuh percaya diri miliknya.

Biarlah Jeno nya menunjukkan ekspresi percaya dirinya sekarang. Setidaknya hal itu lebih baik dibandingkan dirinya harus melihat tatapan penuh amarah milik Jeno tadi.

Tawa canda yang terlontar dari belah bibir keduanya menghiasi perjalanan mereka mengitari mall yang cukup besar pada siang menjalang sore itu. Jeno telah menenteng beberapa paper bag yang sudah dipastikan milik Nana. Jeno hanya membeli parfum dan sebuah baju. Sedangkan Nana kini telah membelikan lima paper bag— ralat, enam, ditambah dengan yang baru saja ia bayar.

“Udah puas belanjanya?” Yang ditatap demikian hanya menunjukkan cengiran khasnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika Nana dan Jeno ke mall, maka Jeno akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemani Nana berbelanja.

Sejujurnya, Jeno tidak terlalu menyukai berkeliling dan berbelanja berjam-jam seperti ini. Tapi tatapan penuh harap milik Nana, mampu meruntuhkan ketidak sukaannya. Melihat senyuman merekah Nana adalah hal yang paling Jeno sukai. Bagaimana sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, sangat manis, cantik. Jeno suka itu.

Jeno teringat kembali akan janjinya semasa kecil kepada Nananya.

'Pokoknya Jeje mau jadi super heronya Nana! Mau lindungin Nana dari orang jahat! Nanti orang jahatnya Jeje pukul sampe jatoh!!'

Dan dia memegang janji itu, hingga sekarang. Melindungi Nana dari jahatnya manusia di bumi ini. Setidaknya itu yang Jeno percaya, di depan nanti tidak ada yang tahu akan bagaimana. Manusia hanya berencana, semesta yang bertindak.

“Jeno cepetan ih jalannya lama banget heran.” Omel Nana. Jeno hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat sikap Nana yang tidak sabaran. Keduanya telah keluar dari mall tersebut dan tengah berjalan di parkiran, dengan Nana memimpin di depan. Jeno akhirnya berlari kecio menyeimbangkan langkah Nana dan bergegas menaruh barang belanjaan mereka di jok belakang, lalu menyalakan mobil untuk bergegas ke restoran ayam geprek yang berada tak jauh dari mall tersebut.


Jeno dan Nana

“Mbak, ayam gepreknya satu level 5 ya, sama satu lagi ayam geprek level 7. Buat minumnya es jeruknya aja 2 ya.” Nana menyebutkan pesanan mereka.

Setibanya Jeno dan Nana di restoran ayam geprek tersebut, keduanya mencari tempat yang nyaman. Pilihan mereka jatuh pada pojok restoran dengan tempat duduk lesehan, tempat biasa dirinya dan Nana makan setiap kali pulang dari kampus.

Nana telah menyebutkan pesanannya. Seperti biasa, pesanan mereka selalu sama. Nana sudah hafal diluar kepala apa yang biasa mereka pesan di restoran ini. Situasi di restoran saat itu cukup lenggang, tidak terlalu banyak pengunjung.

Salah satu penyaji makanan pernah berkata, setiap kali menjelang senja, sering kali restoran ini tidak terlalu ramai. Dan akan kembali ramai kira-kira pukul 7 malam. Entah mengapa demikian, Nana pun tidak mengerti.

Setelah pesanan keduanya tiba, keduanya makan dengan khidmat. Di temani oleh matahari yang kembali ke peraduannya, dan langit yang perlahan menggelap, beserta dua porsi ayam geprek dan dua gelas es jeruk. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hening tercipta diantara keduanya.

“Langitnya cantik ya.” Suara Nana memecahkan keheningan diantara keduanya. Jenk tersenyum simpul. “Iya, kayak lo ya? Cantik.” Setelah kata itu terlontar, Nana segera mencubit lengan Jeno.

“ANJIR NANA LENGAN GUE JADI KOTOR. BERSIHIN GAK?!”

“OGAH!! MAKANYA JADI ORANG JANGAN NYEBELIN DEH. MAMPUS KAN LU.”

1092 words tags : fluff ini kisah tentang senjanya Jeno ditemani oleh dua porsi ayam geprek dan dua gelas besar es jeruk beserta obrolan ringannya dengan si cantik, nabastala.


Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit, dan jeno masih berada di parkiran salah satu mall di dekat kampusnya. Ia masih berusaha mencari parkiran yang kosong. Matanya mengedar mencari lahan yang kosong untuk dirinya memarkirkan mobil pajero putih miliknya. Sudah kurang lebih sepuluh menit ia berputar dan mencari parkiran yang kosong.

Salahkan kota jakarta yang selalu ramai terutama pada jam pulang sekolah seperti ini. Hari itu mall itu terlihat ramai, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mobil yang terparkir di parkiran mall itu. Jeno berdecak kesal, ia tidak ingin membuat Nana menunggu lebih lama.

Jeno meraih benda kotak tipis miliknya dan segera mengirimkan pesan kepada Nana, sahabatnya. Di depannya ia melihat akhirnya ada lahan parkir kosong untuk mobilnya. Jeno bersorak gembira dalam hati. Akhirnya penantiannya berakhir. Ia segera memarkirkan mobilnya lalu bergegas keluar mobil untuk segera turun menemui Nana.

Namun sayang, semesta sepertinya sedang mempermainkannya. Ia harus bertemu dengan dia, wanita yang mati-matian Jeno hindari.

“Loh, kak Jeno?”

Deg.

Jeno menggenggam erat kunci mobil yang ia pegang sekuat tenaga. Dalam hati, ia mengumpati semesta karena harus bertemu dengan wanita yang ingin ia lenyapkan dari dunia, jika ia bisa.

Sayangnya ia tak bisa.

“Oh iya, hai Greta? Ngapain disini?” Jeno berbasa-basi. Sejujurnya hati dan pikirannya menyuruhnya untuk segera melangkagkan kaki dari tempat itu, sebelum situasi semakin memburuk.

“Ya biasalah jalan-jalan sama mami. Papi abis beliin mobil baru tau hadiah ulang tahun aku. Sama ini juga nih, lucu kan ya.” Greta tampak menunjukkan lehernya yang dilingkari oleh sebuah kalung cantik disana. Jeno tau betul harga kalung itu tidaklah murah.

Dan Jeno paham betul, senyuman manis milik Greta hanyalah sebuah senyuman palsu untuk memamerkan padanya bahwa ayahnya— oh ralat, ayahnya Greta, telah memberinya banyak barang-barang baru, seolah Greta adalah anak kesayangan sang ayah dan dirinya tak lebih dari anak yang terhina dan terbuang.

“Bagus dong.” Jeno tampak merespon sekenanya. Ia segera kembali berjalan, tanpa melihat kebelakang lagi. Tanpa tahu bahwa Greta tampak menghentakkan kakinya kesal karena respon Jeno yang terlampau cuek.

Jeno marah? Sangat. Rasanya ia ingin memukul Greta saat itu juga. Jemarinya ia kepalkan kuat, memori buruk itu kembali menghampirinya. Memori bahagia serta penuh luka. Seperti permen karet yang berawal manis dan berakhir pahit. Tak ada euphoria rasa buah-buahan manis yang semula terasa di lidah. Hanya rasa manis yang semu.

Jeno melangkahkan kakinya perlahan. Pikirannya melalang buana entah kemana. Ia seharusnya berbahagia kini. Bukan memikirkan masa lalunya yang terlampau kelam. Kak Cia pasti akan memarahinya jika tau bahwa ia melamun seperti ini.

Ia kini tengah menaiki lift, menghantarkannya pada lantai 2, tempat dimana starbucks tersebut berada. Kilatan amarah yang tertahan disana masih tercetak jelas, atensinya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, ia mencari sosok lelaki manis yang tak lain adalah Nana.

“Jeno sini!” Nana tampak melambai-lambaikan tangannya. Jeno tersenyum kecil, ia melangkahkan kakinya ke arah pria manis itu. Dia sedang menyesap kopinya yang hampir tandas.

“Lo lama banget ah kaya putri solo.” Jeno hanya terkekeh melihat candaan yang terlontar dari bibir ranum sahabatnya.

Nana tidak bodoh untuk tidak memahami perubahan mood Jeno. Nana tahu betul dengan melihat kilatan menyala pada mata indah milik sahabatnya. Rahang sahabatnya yang tampak mengeras, luapan emosinya terlihat jelas disana. Amarah meletup-letup yang bersarang di dadanya, bersiap untuk meledak kapan saja. Tetapi Nana juga punya seribu satu cara untuk mengembalikan Jeno-nya ke sedia kala.

“Kangen ya lo?” Nana memutar matanya malas saat melihat raut percaya diri Jeno disertai senyum tengil yang menghiasi wajahnya. Mood Jeno yang semula hancur akibat pertemuan tak terduga dengan Greta— kini kembali membaik. Dalam hati, Nana bersyukur karena amarah sang adam telah melunak, digantikan oleh ekspresi tengil penuh percaya diri miliknya.

Biarlah Jeno nya menunjukkan ekspresi percaya dirinya sekarang. Setidaknya hal itu lebih baik dibandingkan dirinya harus melihat tatapan penuh amarah milik Jeno tadi.

Tawa canda yang terlontar dari belah bibir keduanya menghiasi perjalanan mereka mengitari mall yang cukup besar pada siang menjalang sore itu. Jeno telah menenteng beberapa paper bag yang sudah dipastikan milik Nana. Jeno hanya membeli parfum dan sebuah baju. Sedangkan Nana kini telah membelikan lima paper bag— ralat, enam, ditambah dengan yang baru saja ia bayar.

“Udah puas belanjanya?” Yang ditatap demikian hanya menunjukkan cengiran khasnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika Nana dan Jeno ke mall, maka Jeno akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemani Nana berbelanja.

Sejujurnya, Jeno tidak terlalu menyukai berkeliling dan berbelanja berjam-jam seperti ini. Tapi tatapan penuh harap milik Nana, mampu meruntuhkan ketidak sukaannya. Melihat senyuman merekah Nana adalah hal yang paling Jeno sukai. Bagaimana sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, sangat manis, cantik. Jeno suka itu.

Jeno teringat kembali akan janjinya semasa kecil kepada Nananya.

'Pokoknya Jeje mau jadi super heronya Nana! Mau lindungin Nana dari orang jahat! Nanti orang jahatnya Jeje pukul sampe jatoh!!'

Dan dia memegang janji itu, hingga sekarang. Melindungi Nana dari jahatnya manusia di bumi ini. Setidaknya itu yang Jeno percaya, di depan nanti tidak ada yang tahu akan bagaimana. Manusia hanya berencana, semesta yang bertindak.

“Jeno cepetan ih jalannya lama banget heran.” Omel Nana. Jeno hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat sikap Nana yang tidak sabaran. Keduanya telah keluar dari mall tersebut dan tengah berjalan di parkiran, dengan Nana memimpin di depan. Jeno akhirnya berlari kecio menyeimbangkan langkah Nana dan bergegas menaruh barang belanjaan mereka di jok belakang, lalu menyalakan mobil untuk bergegas ke restoran ayam geprek yang berada tak jauh dari mall tersebut.


Jeno dan Nana

“Mbak, ayam gepreknya satu level 5 ya, sama satu lagi ayam geprek level 7. Buat minumnya es jeruknya aja 2 ya.” Nana menyebutkan pesanan mereka.

Setibanya Jeno dan Nana di restoran ayam geprek tersebut, keduanya mencari tempat yang nyaman. Pilihan mereka jatuh pada pojok restoran dengan tempat duduk lesehan, tempat biasa dirinya dan Nana makan setiap kali pulang dari kampus.

Nana telah menyebutkan pesanannya. Seperti biasa, pesanan mereka selalu sama. Nana sudah hafal diluar kepala apa yang biasa mereka pesan di restoran ini. Situasi di restoran saat itu cukup lenggang, tidak terlalu banyak pengunjung.

Salah satu penyaji makanan pernah berkata, setiap kali menjelang senja, sering kali restoran ini tidak terlalu ramai. Dan akan kembali ramai kira-kira pukul 7 malam. Entah mengapa demikian, Nana pun tidak mengerti.

Setelah pesanan keduanya tiba, keduanya makan dengan khidmat. Di temani oleh matahari yang kembali ke peraduannya, dan langit yang perlahan menggelap, beserta dua porsi ayam geprek dan dua gelas es jeruk. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hening tercipta diantara keduanya.

“Langitnya cantik ya.” Suara Nana memecahkan keheningan diantara keduanya. Jenk tersenyum simpul. “Iya, kayak lo ya? Cantik.” Setelah kata itu terlontar, Nana segera mencubit lengan Jeno.

“ANJIR NANA LENGAN GUE JADI KOTOR. BERSIHIN GAK?!”

“OGAH!! MAKANYA JADI ORANG JANGAN NYEBELIN DEH. MAMPUS KAN LU.”

1092 words tags : fluff ini kisah tentang senjanya Jeno ditemani oleh dua porsi ayam geprek dan dua gelas besar es jeruk beserta obrolan ringannya dengan si cantik, nabastala.


Jeno dan Nana

Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit, dan jeno masih berada di parkiran salah satu mall di dekat kampusnya. Ia masih berusaha mencari parkiran yang kosong. Matanya mengedar mencari lahan yang kosong untuk dirinya memarkirkan mobil pajero putih miliknya. Sudah kurang lebih sepuluh menit ia berputar dan mencari parkiran yang kosong.

Salahkan kota jakarta yang selalu ramai terutama pada jam pulang sekolah seperti ini. Hari itu mall itu terlihat ramai, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mobil yang terparkir di parkiran mall itu. Jeno berdecak kesal, ia tidak ingin membuat Nana menunggu lebih lama.

Jeno meraih benda kotak tipis miliknya dan segera mengirimkan pesan kepada Nana, sahabatnya. Di depannya ia melihat akhirnya ada lahan parkir kosong untuk mobilnya. Jeno bersorak gembira dalam hati. Akhirnya penantiannya berakhir. Ia segera memarkirkan mobilnya lalu bergegas keluar mobil untuk segera turun menemui Nana.

Namun sayang, semesta sepertinya sedang mempermainkannya. Ia harus bertemu dengan dia, wanita yang mati-matian Jeno hindari.

“Loh, kak Jeno?”

Deg.

Jeno menggenggam erat kunci mobil yang ia pegang sekuat tenaga. Dalam hati, ia mengumpati semesta karena harus bertemu dengan wanita yang ingin ia lenyapkan dari dunia, jika ia bisa.

Sayangnya ia tak bisa.

“Oh iya, hai Greta? Ngapain disini?” Jeno berbasa-basi. Sejujurnya hati dan pikirannya menyuruhnya untuk segera melangkagkan kaki dari tempat itu, sebelum situasi semakin memburuk.

“Ya biasalah jalan-jalan sama mami. Papi abis beliin mobil baru tau hadiah ulang tahun aku. Sama ini juga nih, lucu kan ya.” Greta tampak menunjukkan lehernya yang dilingkari oleh sebuah kalung cantik disana. Jeno tau betul harga kalung itu tidaklah murah.

Dan Jeno paham betul, senyuman manis milik Greta hanyalah sebuah senyuman palsu untuk memamerkan padanya bahwa ayahnya— oh ralat, ayahnya Greta, telah memberinya banyak barang-barang baru, seolah Greta adalah anak kesayangan sang ayah dan dirinya tak lebih dari anak yang terhina dan terbuang.

“Bagus dong.” Jeno tampak merespon sekenanya. Ia segera kembali berjalan, tanpa melihat kebelakang lagi. Tanpa tahu bahwa Greta tampak menghentakkan kakinya kesal karena respon Jeno yang terlampau cuek.

Jeno marah? Sangat. Rasanya ia ingin memukul Greta saat itu juga. Jemarinya ia kepalkan kuat, memori buruk itu kembali menghampirinya. Memori bahagia serta penuh luka. Seperti permen karet yang berawal manis dan berakhir pahit. Tak ada euphoria rasa buah-buahan manis yang semula terasa di lidah. Hanya rasa manis yang semu.

Jeno melangkahkan kakinya perlahan. Pikirannya melalang buana entah kemana. Ia seharusnya berbahagia kini. Bukan memikirkan masa lalunya yang terlampau kelam. Kak Cia pasti akan memarahinya jika tau bahwa ia melamun seperti ini.

Ia kini tengah menaiki lift, menghantarkannya pada lantai 2, tempat dimana starbucks tersebut berada. Kilatan amarah yang tertahan disana masih tercetak jelas, atensinya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, ia mencari sosok lelaki manis yang tak lain adalah Nana.

“Jeno sini!” Nana tampak melambai-lambaikan tangannya. Jeno tersenyum kecil, ia melangkahkan kakinya ke arah pria manis itu. Dia sedang menyesap kopinya yang hampir tandas.

“Lo lama banget ah kaya putri solo.” Jeno hanya terkekeh melihat candaan yang terlontar dari bibir ranum sahabatnya.

Nana tidak bodoh untuk tidak memahami perubahan mood Jeno. Nana tahu betul dengan melihat kilatan menyala pada mata indah milik sahabatnya. Rahang sahabatnya yang tampak mengeras, luapan emosinya terlihat jelas disana. Amarah meletup-letup yang bersarang di dadanya, bersiap untuk meledak kapan saja. Tetapi Nana juga punya seribu satu cara untuk mengembalikan Jeno-nya ke sedia kala.

“Kangen ya lo?” Nana memutar matanya malas saat melihat raut percaya diri Jeno disertai senyum tengil yang menghiasi wajahnya. Mood Jeno yang semula hancur akibat pertemuan tak terduga dengan Greta— kini kembali membaik. Dalam hati, Nana bersyukur karena amarah sang adam telah melunak, digantikan oleh ekspresi tengil penuh percaya diri miliknya.

Biarlah Jeno nya menunjukkan ekspresi percaya dirinya sekarang. Setidaknya hal itu lebih baik dibandingkan dirinya harus melihat tatapan penuh amarah milik Jeno tadi.

Tawa canda yang terlontar dari belah bibir keduanya menghiasi perjalanan mereka mengitari mall yang cukup besar pada siang menjalang sore itu. Jeno telah menenteng beberapa paper bag yang sudah dipastikan milik Nana. Jeno hanya membeli parfum dan sebuah baju. Sedangkan Nana kini telah membelikan lima paper bag— ralat, enam, ditambah dengan yang baru saja ia bayar.

“Udah puas belanjanya?” Yang ditatap demikian hanya menunjukkan cengiran khasnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika Nana dan Jeno ke mall, maka Jeno akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemani Nana berbelanja.

Sejujurnya, Jeno tidak terlalu menyukai berkeliling dan berbelanja berjam-jam seperti ini. Tapi tatapan penuh harap milik Nana, mampu meruntuhkan ketidak sukaannya. Melihat senyuman merekah Nana adalah hal yang paling Jeno sukai. Bagaimana sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, sangat manis, cantik. Jeno suka itu.

Jeno teringat kembali akan janjinya semasa kecil kepada Nananya.

'Pokoknya Jeje mau jadi super heronya Nana! Mau lindungin Nana dari orang jahat! Nanti orang jahatnya Jeje pukul sampe jatoh!!'

Dan dia memegang janji itu, hingga sekarang. Melindungi Nana dari jahatnya manusia di bumi ini. Setidaknya itu yang Jeno percaya, di depan nanti tidak ada yang tahu akan bagaimana. Manusia hanya berencana, semesta yang bertindak.

“Jeno cepetan ih jalannya lama banget heran.” Omel Nana. Jeno hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat sikap Nana yang tidak sabaran. Keduanya telah keluar dari mall tersebut dan tengah berjalan di parkiran, dengan Nana memimpin di depan. Jeno akhirnya berlari kecio menyeimbangkan langkah Nana dan bergegas menaruh barang belanjaan mereka di jok belakang, lalu menyalakan mobil untuk bergegas ke restoran ayam geprek yang berada tak jauh dari mall tersebut.


“Mbak, ayam gepreknya satu level 5 ya, sama satu lagi ayam geprek level 7. Buat minumnya es jeruknya aja 2 ya.” Nana menyebutkan pesanan mereka.

Setibanya Jeno dan Nana di restoran ayam geprek tersebut, keduanya mencari tempat yang nyaman. Pilihan mereka jatuh pada pojok restoran dengan tempat duduk lesehan, tempat biasa dirinya dan Nana makan setiap kali pulang dari kampus.

Nana telah menyebutkan pesanannya. Seperti biasa, pesanan mereka selalu sama. Nana sudah hafal diluar kepala apa yang biasa mereka pesan di restoran ini. Situasi di restoran saat itu cukup lenggang, tidak terlalu banyak pengunjung.

Salah satu penyaji makanan pernah berkata, setiap kali menjelang senja, sering kali restoran ini tidak terlalu ramai. Dan akan kembali ramai kira-kira pukul 7 malam. Entah mengapa demikian, Nana pun tidak mengerti.

Setelah pesanan keduanya tiba, keduanya makan dengan khidmat. Di temani oleh matahari yang kembali ke peraduannya, dan langit yang perlahan menggelap, beserta dua porsi ayam geprek dan dua gelas es jeruk. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hening tercipta diantara keduanya.

“Langitnya cantik ya.” Suara Nana memecahkan keheningan diantara keduanya. Jenk tersenyum simpul. “Iya, kayak lo ya? Cantik.” Setelah kata itu terlontar, Nana segera mencubit lengan Jeno.

“ANJIR NANA LENGAN GUE JADI KOTOR. BERSIHIN GAK?!”

“OGAH!! MAKANYA JADI ORANG JANGAN NYEBELIN DEH. MAMPUS KAN LU.”

1092 words tags : fluff ini kisah tentang senjanya Jeno ditemani oleh dua porsi ayam geprek dan dua gelas besar es jeruk beserta obrolan ringannya dengan si cantik, nabastala.


!(Jeno dan Nana)[https://i.imgur.com/p4tKGDL.jpg]

Waktu telah menunjukkan pukul dua lewat tiga puluh menit, dan jeno masih berada di parkiran salah satu mall di dekat kampusnya. Ia masih berusaha mencari parkiran yang kosong. Matanya mengedar mencari lahan yang kosong untuk dirinya memarkirkan mobil pajero putih miliknya. Sudah kurang lebih sepuluh menit ia berputar dan mencari parkiran yang kosong.

Salahkan kota jakarta yang selalu ramai terutama pada jam pulang sekolah seperti ini. Hari itu mall itu terlihat ramai, hal ini dibuktikan dengan banyaknya mobil yang terparkir di parkiran mall itu. Jeno berdecak kesal, ia tidak ingin membuat Nana menunggu lebih lama.

Jeno meraih benda kotak tipis miliknya dan segera mengirimkan pesan kepada Nana, sahabatnya. Di depannya ia melihat akhirnya ada lahan parkir kosong untuk mobilnya. Jeno bersorak gembira dalam hati. Akhirnya penantiannya berakhir. Ia segera memarkirkan mobilnya lalu bergegas keluar mobil untuk segera turun menemui Nana.

Namun sayang, semesta sepertinya sedang mempermainkannya. Ia harus bertemu dengan dia, wanita yang mati-matian Jeno hindari.

“Loh, kak Jeno?”

Deg.

Jeno menggenggam erat kunci mobil yang ia pegang sekuat tenaga. Dalam hati, ia mengumpati semesta karena harus bertemu dengan wanita yang ingin ia lenyapkan dari dunia, jika ia bisa.

Sayangnya ia tak bisa.

“Oh iya, hai Greta? Ngapain disini?” Jeno berbasa-basi. Sejujurnya hati dan pikirannya menyuruhnya untuk segera melangkagkan kaki dari tempat itu, sebelum situasi semakin memburuk.

“Ya biasalah jalan-jalan sama mami. Papi abis beliin mobil baru tau hadiah ulang tahun aku. Sama ini juga nih, lucu kan ya.” Greta tampak menunjukkan lehernya yang dilingkari oleh sebuah kalung cantik disana. Jeno tau betul harga kalung itu tidaklah murah.

Dan Jeno paham betul, senyuman manis milik Greta hanyalah sebuah senyuman palsu untuk memamerkan padanya bahwa ayahnya— oh ralat, ayahnya Greta, telah memberinya banyak barang-barang baru, seolah Greta adalah anak kesayangan sang ayah dan dirinya tak lebih dari anak yang terhina dan terbuang.

“Bagus dong.” Jeno tampak merespon sekenanya. Ia segera kembali berjalan, tanpa melihat kebelakang lagi. Tanpa tahu bahwa Greta tampak menghentakkan kakinya kesal karena respon Jeno yang terlampau cuek.

Jeno marah? Sangat. Rasanya ia ingin memukul Greta saat itu juga. Jemarinya ia kepalkan kuat, memori buruk itu kembali menghampirinya. Memori bahagia serta penuh luka. Seperti permen karet yang berawal manis dan berakhir pahit. Tak ada euphoria rasa buah-buahan manis yang semula terasa di lidah. Hanya rasa manis yang semu.

Jeno melangkahkan kakinya perlahan. Pikirannya melalang buana entah kemana. Ia seharusnya berbahagia kini. Bukan memikirkan masa lalunya yang terlampau kelam. Kak Cia pasti akan memarahinya jika tau bahwa ia melamun seperti ini.

Ia kini tengah menaiki lift, menghantarkannya pada lantai 2, tempat dimana starbucks tersebut berada. Kilatan amarah yang tertahan disana masih tercetak jelas, atensinya mengedar ke seluruh penjuru ruangan, ia mencari sosok lelaki manis yang tak lain adalah Nana.

“Jeno sini!” Nana tampak melambai-lambaikan tangannya. Jeno tersenyum kecil, ia melangkahkan kakinya ke arah pria manis itu. Dia sedang menyesap kopinya yang hampir tandas.

“Lo lama banget ah kaya putri solo.” Jeno hanya terkekeh melihat candaan yang terlontar dari bibir ranum sahabatnya.

Nana tidak bodoh untuk tidak memahami perubahan mood Jeno. Nana tahu betul dengan melihat kilatan menyala pada mata indah milik sahabatnya. Rahang sahabatnya yang tampak mengeras, luapan emosinya terlihat jelas disana. Amarah meletup-letup yang bersarang di dadanya, bersiap untuk meledak kapan saja. Tetapi Nana juga punya seribu satu cara untuk mengembalikan Jeno-nya ke sedia kala.

“Kangen ya lo?” Nana memutar matanya malas saat melihat raut percaya diri Jeno disertai senyum tengil yang menghiasi wajahnya. Mood Jeno yang semula hancur akibat pertemuan tak terduga dengan Greta— kini kembali membaik. Dalam hati, Nana bersyukur karena amarah sang adam telah melunak, digantikan oleh ekspresi tengil penuh percaya diri miliknya.

Biarlah Jeno nya menunjukkan ekspresi percaya dirinya sekarang. Setidaknya hal itu lebih baik dibandingkan dirinya harus melihat tatapan penuh amarah milik Jeno tadi.

Tawa canda yang terlontar dari belah bibir keduanya menghiasi perjalanan mereka mengitari mall yang cukup besar pada siang menjalang sore itu. Jeno telah menenteng beberapa paper bag yang sudah dipastikan milik Nana. Jeno hanya membeli parfum dan sebuah baju. Sedangkan Nana kini telah membelikan lima paper bag— ralat, enam, ditambah dengan yang baru saja ia bayar.

“Udah puas belanjanya?” Yang ditatap demikian hanya menunjukkan cengiran khasnya. Sudah menjadi hal yang biasa jika Nana dan Jeno ke mall, maka Jeno akan menghabiskan waktu berjam-jam untuk menemani Nana berbelanja.

Sejujurnya, Jeno tidak terlalu menyukai berkeliling dan berbelanja berjam-jam seperti ini. Tapi tatapan penuh harap milik Nana, mampu meruntuhkan ketidak sukaannya. Melihat senyuman merekah Nana adalah hal yang paling Jeno sukai. Bagaimana sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan, sangat manis, cantik. Jeno suka itu.

Jeno teringat kembali akan janjinya semasa kecil kepada Nananya.

'Pokoknya Jeje mau jadi super heronya Nana! Mau lindungin Nana dari orang jahat! Nanti orang jahatnya Jeje pukul sampe jatoh!!'

Dan dia memegang janji itu, hingga sekarang. Melindungi Nana dari jahatnya manusia di bumi ini. Setidaknya itu yang Jeno percaya, di depan nanti tidak ada yang tahu akan bagaimana. Manusia hanya berencana, semesta yang bertindak.

“Jeno cepetan ih jalannya lama banget heran.” Omel Nana. Jeno hanya dapat menggelengkan kepalanya melihat sikap Nana yang tidak sabaran. Keduanya telah keluar dari mall tersebut dan tengah berjalan di parkiran, dengan Nana memimpin di depan. Jeno akhirnya berlari kecio menyeimbangkan langkah Nana dan bergegas menaruh barang belanjaan mereka di jok belakang, lalu menyalakan mobil untuk bergegas ke restoran ayam geprek yang berada tak jauh dari mall tersebut.


“Mbak, ayam gepreknya satu level 5 ya, sama satu lagi ayam geprek level 7. Buat minumnya es jeruknya aja 2 ya.” Nana menyebutkan pesanan mereka.

Setibanya Jeno dan Nana di restoran ayam geprek tersebut, keduanya mencari tempat yang nyaman. Pilihan mereka jatuh pada pojok restoran dengan tempat duduk lesehan, tempat biasa dirinya dan Nana makan setiap kali pulang dari kampus.

Nana telah menyebutkan pesanannya. Seperti biasa, pesanan mereka selalu sama. Nana sudah hafal diluar kepala apa yang biasa mereka pesan di restoran ini. Situasi di restoran saat itu cukup lenggang, tidak terlalu banyak pengunjung.

Salah satu penyaji makanan pernah berkata, setiap kali menjelang senja, sering kali restoran ini tidak terlalu ramai. Dan akan kembali ramai kira-kira pukul 7 malam. Entah mengapa demikian, Nana pun tidak mengerti.

Setelah pesanan keduanya tiba, keduanya makan dengan khidmat. Di temani oleh matahari yang kembali ke peraduannya, dan langit yang perlahan menggelap, beserta dua porsi ayam geprek dan dua gelas es jeruk. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Hening tercipta diantara keduanya.

“Langitnya cantik ya.” Suara Nana memecahkan keheningan diantara keduanya. Jenk tersenyum simpul. “Iya, kayak lo ya? Cantik.” Setelah kata itu terlontar, Nana segera mencubit lengan Jeno.

“ANJIR NANA LENGAN GUE JADI KOTOR. BERSIHIN GAK?!”

“OGAH!! MAKANYA JADI ORANG JANGAN NYEBELIN DEH. MAMPUS KAN LU.”

1003 words warn : mentioned of ciggarettes and some of family issue, self harm, anxiety. every day i look forward to meeting you, looking at you, and talking to you. but it wasn't a meeting like this that i expected.


Al dan El first meet after 1 year like a stranger

Kincring

Suara lonceng terdengar, di coffee shop ini memang terdapat sebuah lonceng yang berada tepat di depan pintu. Jadi ketika pengunjung yang lain datang, semua pengunjung coffe shop tersbut dapat mengetahuinya. Hari itu Al beserta teman-temannya mengunjungi tempat yang biasa mereka datangi ketika senggang. Coffee shop milik Neo University menjadi pilihan mereka.

Coffee shop ini berada di dekat fakultas Kedokteran. Jarak antara gedung asrama menuju coffee shop ini cukup jauh. Sehingga kelima sekawan tersebut memilih menggunakan kendaraan roda dua milik mereka.

Waktu telah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Mereka telah berada di sana kurang lebih satu jam. Genta sengaja memesan tempat di smoking area karena mereka ingin menghabiskan beberapa batang rokok terlebih dahulu, sebelum kembali ke asrama.

Kelima anak tersebut kini sedang terfokus pada ponsel mereka masing-masing. Mengumpat dan menyerukan satu sama lain ketika permainan mereka tidak memuaskan.

“Lu sih kok gak lindungin gua?”

“Lah kan gua bilang jangan disitu. Lo nya aja gabisa main.”

“Anjir gara-gara lu nih kalah.”

“Berisik elah game doang. Gak ada yang salah udah. Diem atau mulut lu pada gua lakban satu-satu.” Perdebatan yang dilakukan oleh Cakra, Genta, dan Harsa terhenti begitu saja ketik Rendy bersuara untuk menengahi. Pasalnya Rendy sudah sangat jengah dengan sifat kekanakan mereka. Padahal mereka akan memasuki tahun kedua sebagai mahasiswa teknik sipil.

Dret

Suara deret kursi tampak menginterupsi kegiatan keempat lelaki tampan di hadapan Al. Atensi keempat lelaki di hadapannya mengarah kepadanya, menatap Al dengan sorot mata bertanya-tanya. Al tampak beranjak dari tempatnya. Paham dengan tatapan penuh tanya dari sahabatnya itu, Al pun memberikan alasan.

“Gue mau ke toilet dulu.” Keempat lelaki itu mengangguk dan kembali pada aktivitas mereka masing-masing yakni pusrank game yang sempat tertunda karena suara tersebut.

Al berjalan dengan santai menyusuri meja demi meja sampai dirinya berada di dekat kamar mandi pria di coffee shop tersebut. Saat dirinya hendak memasuki kamar mandi, telinga menangkap suara perdebatan seseorang. Al sangat hafal di luar kepala siapa pemilik suara tersebut.

Elvino Nathanael.

“Ma, mama gabisa gitu dong? Ya mama pikir aku disini ngapain?”

“Apaan sih ma? Terus gimana?”

“Ya aku gak ada kalo sekarang, ma.”

“Lah? Minta papa? Mana bisa? Mama gabisa seenaknya kaya gitu.” Panggilan terputus secara sepihak. El tampak menghela nafas lelah. Ia menengadahkan wajahnya guna menahan laju air mata yang siap terjun bebas kapan saja dari mata indahnya.

Al yang semula ingin ke kamar mandi pun, melupakan niatnya. Ia segera menghampiri El, sang pujaan hati. Al menarik pergelangan tangan El dengan lembut, membawanya pergi sejauh mungkin dari tempat itu. El yang semula ingin memberontak, mengurungkan niatnya. Ia melihat tubuh tegap yang selama setahun belakangan menghiasi pikirannya.

El merutuki semesta, mengapa semesta mempertemukannya dengan cara seperti ini. Sungguh rasanya El sangat malu sekarang.


Play this song while you read this chapter

“Nih.” Al tampak menyodorkan satu cup eskrim tepat di hadapan El. El mengerutkan alisnya bingung. Al pun hanya tersenyum kecil, menarik pelan tangan El agar menerima es krim yang telah ia beli.

Kini mereka telah berada di taman kampus, salah satu taman yang jarang dikunjungi mahasiswa lain. Taman itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka. Taman ini berada tidak jauh dari Fakultas Seni Rupa dan Design.

“Kalau mau nangis gapapa. It's okay to cry, right? Jangan ditahan. Semua orang punya limitnya masing-masing.” Al memulai pembincaraan di tengah keheningan keduanya.

And I'm sorry for whatever you've been going through. Also, sorry tadi gue gak sengaja denger.” El mengangguk dengan senyum getir. Al sama sekali tak menatapnya, memberi El ruang untuk jujur dengan perasaannya sendiri.

Perlahan perkataan-perkataan sang ibu di telephone tadi kembali berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Perkataan-perkataan menusuk, mulai dari hinaan, cacian, bahkan kalimat kasar yang tak seharusnya seorang ibu perkatakan kepada anaknya. Pertahanan El runtuh saat itu juga. El menangis dalam diam. Es krim yang berada pada genggamannya pun telah mencair. El larut dalam rasa sedih yang selama ini ia simpan seorang diri.

Jemari lentik El terulur, ia menggoreskan kuku-kuku tajamnya pada kulit putih susu miliknya. Goresan-goresan yang diberikan oleh kuku-kuku tajam milik El menyisakan bekas kemerahan di lengan kiri El. Tangisan yang semula kecil menjadi isakan-isakan yang menyayat hati. Siapapun yang mendengarnya akan ikut merasakan sakit dan penderitaan yang El rasakan.

Dengan sigap Al segera melepaskan jemari El yang tengah menggoreskan kukunya pada lengan kirinya. Ia segera membawa El kedalam pelukannya. Melontarkan kalimat-kalimat penenang kepada sang pujaan hati.

Hey, it's okay I'm here okay. Jangan diterusin. Gapapa nangis sebanyak yang kamu mau, but please don't hurt yourself.

Kata-kata Al seperti sihir. Perlahan El melingkarkan tangannya pada pinggang Al, menenggelamkan wajahnya pada dada Al dengan tangis yang semakin terasa memilukan. Al hanya dapat mengusap rambut hingga punggung El bergantian dengan gerakan teratur. Sesekali ia mengecup pundak El untuk sedikit memberikan El ketenangan.

Entah berapa lama mereka berada di posisi yang sama. Selang beberapa saat, El tampak merenggangkan pelukannya. Ditatapnya baju Al yang basah oleh air matanya. Perasaan bersalah pun menghinggapinya.

“Al.. maaf, baju lo jadi basah..” Al hanya terkekeh kecil. Ia mendaratkan tangannya di kepala El dan mengusapnya pelan. “No problem. I also can share my shoulder every time you need it.” Senyum bulan sabit itu terpantri di wajah Al. El hanya terdiam membeku, memandangi pahatan sempurna yang ada di hadapannya.

“Udah malem, bentar lagi jam malemnya abis. Yuk, balik?” Al menuntun El untuk berdiri. Ia melepaskan jaketnya dan memakaikannya di tubuh El.

“Dingin, nanti lo masuk angin. Jadi pake aja. Lo kamar berapa? Gedungnya sama gak sih?” El terdiam beberapa saat, dirinya masih memproses apa yang terjadi padanya hari ini.

“Hey?” Jentikan jari Al menginterupsi lamunannya. El merasakan pipinya memerah, ia merasa sangat malu. “Eh, emm— beneran gapapa jaketnya gue pake? Aduh gapapa deh gausah.” El merasa sangat tidak enak, tangannya bergerak hendak melepaskan jaket milik Al tersebut. Al menahannya, menggenggam tangannya sambil menggelengkan kepalanya tegas.

El paham betul dengan ekspresi itu. Ekspresi yang menyiratkan bahwa dirinya tidak menerima penolakan.

“O-okey.. em, gue di Gedung B kamar 113.” Al tampak mengganggukkan kepalanya. Ia menggenggam jemari halus milik El dan menuntunnya menuju tempat ia memarkirkan motornya. Ia bergegas melajukan motornya ke gedung asrama milik El dan dirinya.


Al.

1003 words warn : mentioned of ciggarettes and some of family issue, self harm, anxiety. every day i look forward to meeting you, looking at you, and talking to you. but it wasn't a meeting like this that i expected.


Al dan El first meet after 1 year like a stranger

Kincring

Suara lonceng terdengar, di coffee shop ini memang terdapat sebuah lonceng yang berada tepat di depan pintu. Jadi ketika pengunjung yang lain datang, semua pengunjung coffe shop tersbut dapat mengetahuinya. Hari itu Al beserta teman-temannya mengunjungi tempat yang biasa mereka datangi ketika senggang. Coffee shop milik Neo University menjadi pilihan mereka.

Coffee shop ini berada di dekat fakultas Kedokteran. Jarak antara gedung asrama menuju coffee shop ini cukup jauh. Sehingga kelima sekawan tersebut memilih menggunakan kendaraan roda dua milik mereka.

Waktu telah menunjukkan hampir pukul delapan malam. Mereka telah berada di sana kurang lebih satu jam. Genta sengaja memesan tempat di smoking area karena mereka ingin menghabiskan beberapa batang rokok terlebih dahulu, sebelum kembali ke asrama.

Kelima anak tersebut kini sedang terfokus pada ponsel mereka masing-masing. Mengumpat dan menyerukan satu sama lain ketika permainan mereka tidak memuaskan.

“Lu sih kok gak lindungin gua?”

“Lah kan gua bilang jangan disitu. Lo nya aja gabisa main.”

“Anjir gara-gara lu nih kalah.”

“Berisik elah game doang. Gak ada yang salah udah. Diem atau mulut lu pada gua lakban satu-satu.” Perdebatan yang dilakukan oleh Cakra, Genta, dan Harsa terhenti begitu saja ketik Rendy bersuara untuk menengahi. Pasalnya Rendy sudah sangat jengah dengan sifat kekanakan mereka. Padahal mereka akan memasuki tahun kedua sebagai mahasiswa teknik sipil.

Dret

Suara deret kursi tampak menginterupsi kegiatan keempat lelaki tampan di hadapan Al. Atensi keempat lelaki di hadapannya mengarah kepadanya, menatap Al dengan sorot mata bertanya-tanya. Al tampak beranjak dari tempatnya. Paham dengan tatapan penuh tanya dari sahabatnya itu, Al pun memberikan alasan.

“Gue mau ke toilet dulu.” Keempat lelaki itu mengangguk dan kembali pada aktivitas mereka masing-masing yakni pusrank game yang sempat tertunda karena suara tersebut.

Al berjalan dengan santai menyusuri meja demi meja sampai dirinya berada di dekat kamar mandi pria di coffee shop tersebut. Saat dirinya hendak memasuki kamar mandi, telinga menangkap suara perdebatan seseorang. Al sangat hafal di luar kepala siapa pemilik suara tersebut.

Elvino Nathanael.

“Ma, mama gabisa gitu dong? Ya mama pikir aku disini ngapain?”

“Apaan sih ma? Terus gimana?”

“Ya aku gak ada kalo sekarang, ma.”

“Lah? Minta papa? Mana bisa? Mama gabisa seenaknya kaya gitu.” Panggilan terputus secara sepihak. El tampak menghela nafas lelah. Ia menengadahkan wajahnya guna menahan laju air mata yang siap terjun bebas kapan saja dari mata indahnya.

Al yang semula ingin ke kamar mandi pun, melupakan niatnya. Ia segera menghampiri El, sang pujaan hati. Al menarik pergelangan tangan El dengan lembut, membawanya pergi sejauh mungkin dari tempat itu. El yang semula ingin memberontak, mengurungkan niatnya. Ia melihat tubuh tegap yang selama setahun belakangan menghiasi pikirannya.

El merutuki semesta, mengapa semesta mempertemukannya dengan cara seperti ini. Sungguh rasanya El sangat malu sekarang.


Play this song while you read this chapter

“Nih.” Al tampak menyodorkan satu cup eskrim tepat di hadapan El. El mengerutkan alisnya bingung. Al pun hanya tersenyum kecil, menarik pelan tangan El agar menerima es krim yang telah ia beli.

Kini mereka telah berada di taman kampus, salah satu taman yang jarang dikunjungi mahasiswa lain. Taman itu sepi, hanya ada beberapa mahasiswa yang tengah sibuk dengan aktivitas mereka. Taman ini berada tidak jauh dari Fakultas Seni Rupa dan Design.

“Kalau mau nangis gapapa. It's okay to cry, right? Jangan ditahan. Semua orang punya limitnya masing-masing.” Al memulai pembincaraan di tengah keheningan keduanya.

And I'm sorry for whatever you've been going through. Also, sorry tadi gue gak sengaja denger.” El mengangguk dengan senyum getir. Al sama sekali tak menatapnya, memberi El ruang untuk jujur dengan perasaannya sendiri.

Perlahan perkataan-perkataan sang ibu di telephone tadi kembali berputar di kepalanya seperti kaset rusak. Perkataan-perkataan menusuk, mulai dari hinaan, cacian, bahkan kalimat kasar yang tak seharusnya seorang ibu perkatakan kepada anaknya. Pertahanan El runtuh saat itu juga. El menangis dalam diam. Es krim yang berada pada genggamannya pun telah mencair. El larut dalam rasa sedih yang selama ini ia simpan seorang diri.

Jemari lentik El terulur, ia menggoreskan kuku-kuku tajamnya pada kulit putih susu miliknya. Goresan-goresan yang diberikan oleh kuku-kuku tajam milik El menyisakan bekas kemerahan di lengan kiri El. Tangisan yang semula kecil menjadi isakan-isakan yang menyayat hati. Siapapun yang mendengarnya akan ikut merasakan sakit dan penderitaan yang El rasakan.

Dengan sigap Al segera melepaskan jemari El yang tengah menggoreskan kukunya pada lengan kirinya. Ia segera membawa El kedalam pelukannya. Melontarkan kalimat-kalimat penenang kepada sang pujaan hati.

Hey, it's okay I'm here okay. Jangan diterusin. Gapapa nangis sebanyak yang kamu mau, but please don't hurt yourself.

Kata-kata Al seperti sihir. Perlahan El melingkarkan tangannya pada pinggang Al, menenggelamkan wajahnya pada dada Al dengan tangis yang semakin terasa memilukan. Al hanya dapat mengusap rambut hingga punggung El bergantian dengan gerakan teratur. Sesekali ia mengecup pundak El untuk sedikit memberikan El ketenangan.

Entah berapa lama mereka berada di posisi yang sama. Selang beberapa saat, El tampak merenggangkan pelukannya. Ditatapnya baju Al yang basah oleh air matanya. Perasaan bersalah pun menghinggapinya.

“Al.. maaf, baju lo jadi basah..” Al hanya terkekeh kecil. Ia mendaratkan tangannya di kepala El dan mengusapnya pelan. “No problem. I also can share my shoulder every time you need it.” Senyum bulan sabit itu terpantri di wajah Al. El hanya terdiam membeku, memandangi pahatan sempurna yang ada di hadapannya.

“Udah malem, bentar lagi jam malemnya abis. Yuk, balik?” Al menuntun El untuk berdiri. Ia melepaskan jaketnya dan memakaikannya di tubuh El.

“Dingin, nanti lo masuk angin. Jadi pake aja. Lo kamar berapa? Gedungnya sama gak sih?” El terdiam beberapa saat, dirinya masih memproses apa yang terjadi padanya hari ini.

“Hey?” Jentikan jari Al menginterupsi lamunannya. El merasakan pipinya memerah, ia merasa sangat malu. “Eh, emm— beneran gapapa jaketnya gue pake? Aduh gapapa deh gausah.” El merasa sangat tidak enak, tangannya bergerak hendak melepaskan jaket milik Al tersebut. Al menahannya, menggenggam tangannya sambil menggelengkan kepalanya tegas.

El paham betul dengan ekspresi itu. Ekspresi yang menyiratkan bahwa dirinya tidak menerima penolakan.

“O-okey.. em, gue di Gedung B kamar 113.” Al tampak mengganggukkan kepalanya. Ia menggenggam jemari halus milik El dan menuntunnya menuju tempat ia memarkirkan motornya. Ia bergegas melajukan motornya ke gedung asrama milik El dan dirinya.


Al.

690 words tags : fluff, a little bit hurt. everyone knows jeno want to keeps nana save. but, when he wasn't here anymore who can guarantee it?


08.25 pm

Malam itu seperti malam-malam biasanya. Keduanya bersenda gurau bertukar tawa. Mencoba sebanyak mungkin untuk mengukir memori-memori baru sebelum terpisah selama dua tahun lamanya. Melupakan fakta mengenai 'perpisahan' yang harus mereka hadapi.

Nana loves it. He loves being around Jeno. He feels safe. Nana tersenyum menatap jalanan Jakarta yang cukup padat meski waktu telah menunjukkan pukul 08.25 pm. Nana kembali menerawang masa-masanya dengan Jeno. Bagaimana selama 20 tahun hidupnya, Jeno selalu berusaha untuk menjaganya.

Jeno wants to keep Nana safe. All he wants is Nana happiness. That's all.

Di tengah lamunannya, Nana tampak merasakan sebuah tangan mengisi jemari-jemarinya yang kosong. Nana menatap Jeno yang terfokus sepenuhnya pada jalanan di hadapannya. Seulas senyuman kembali terukir di bibir ranum milik Nana. Dia hanya ingin menikmati waktu yang ada. Mengukir banyak kepingan memori untuk selalu ia ingat saat berjauhan nanti.

Nana needs Jeno a lot. Tapi, Nana tidak boleh egois kan? Nana harus melepas Jeno mengejar cita-citanya.

Cita-cita Jeno untuk menempuh pendidikan ke negeri kicir itu. Cita-cita itu di depan mata. Siapa Nana yang dapat merebut impian sahabatnya itu?

“Hey, jangan ngelamun.” Jeno tampak menjawil hidung Nana lembut. Nana hanya membalasnya dengan bibir yang ditekuk.

“Wanna play some song?” Nana tampak mengimbang-imbang. Berfikir kira-kira lagu apa yang cocok diputar saat ini.

Jemari Nana menyusuri playlist lagu Spotify milik Jeno. Jeno tersenyum kecil menatap sahabatnya itu.

“Lama banget deh milih lagu aja.” Jeno tampak protes. Sebenarnya niatnya hanya membuat Nana kesal saja. Karena sejujurnya Jeno menyukai wajah kesal Nana. Menurutnya sangat lucu dan menggemaskan.

Dan berhasil. Nana mendengus kesal sebagai jawaban. Lalu jemarinya jatuh pada salah satu lagu yang tampaknya cocok untuk mereka saat ini.

Location Unknown— HONNE, BEKA.

Alunan musik lembut mulai mengalun dengan indah. Baris demi baris, kata demi kata. Jeno tidak bodoh untuk tidak menyadari buliran air mata yang tertahan di pelupuk Nana. Jeno tahu betul alasannya apa.

I don't care how long is takes I know you will worth the wait On the first flight back to your side Travelling places i aint seen you in ages But i hope you will comeback to me

Nana mengalihkan pandangannya, menatap luar jendela dengan air mata yang entah sejak kapan mulai berjatuhan. Jeno terdiam sejenak, mengeratkan genggamannya pada stir mobil Range Rover miliknya.

Jeno segera meminggirkan mobilnya. Ia melepas seatbelt miliknya agar lebih leluasa bergerak. Jeno segera menggenggam jemari lentik milik Nana. Nana tak bergeming. Ia tak bergerak dari tempatnya sedikitpun. Bahkan tatapannya pun masih sama. Menatap luar jendela dengan derai air mata yang sudah tidak bisa dibendung lagi.

And it's hurts Jeno heart so much.

Jeno perlahan melepas seatbelt yang melekat pada tubuh Nana. Ia menarik daksa milik Nana dan mendekapnya seerat yang ia bisa. Membiarkan Nana menumpahkan isak tangisnya disana. Keduanya terdiam dalam posisi yang sama. Sama-sama sedih akan perpisahan yang harus mereka hadapi. Sama-sama tidak rela melepas satu sama lain.

Keduanya menangis. Nana dengan tangisan yang cukup keras terdengar, dan Jeno dengan tangisan tertahannya. Jeno mengusap lembut punggung Nana yang bergetar hebat. Jeno mengecup puncak kepala Nana dengan lembut. Seolah hari itu adalah malam perpisahan mereka.

“Aku pergi satu minggu lagi.” Ucapnya lembut tepat di telinga Nana. Nana hanya dapat diam tak merespon apapun. Ia semakin menenggelamkan wajahnya di dada bidang sahabatnya.

“Please comeback after 2 years, promise?” Nana tampak menatap Jeno dengan tatapan ketidak relaan. Jeno mengusap wajah Nana yang basah oleh air mata.

“Yes. I'm promise. I'll be back here. Comeback to you.” Jeno berucap dengan penuh keyakinan. Membuat pertahanan Nana kembali hancur. Nana kembali menubruk tubuh Jeno dan merengkuhnya dengan erat.

“Hey hey, we still have one weeks. We can go out and makes a lot of memories before i go, right?” Jeno kembali menenangkan. Nana hanya mengangguk tanda menyetujui. Jeno terkekeh dan mengusak surai hitam milik Nana.

“Jangan bandel selama gue gak disini oke? Gue bakal selalu ngabarin kok. I'm promise to contact you as often as i can.” Jaemin mengangguk sebagai jawaban.

Jeno merenggangkan pelukannya, lalu memakaikan kembali seatbelt milik Nana. Ia kembali pada posisinya dan menjalankan mobilnya lagi. Berkeliling kota Jakarta, mengingat setiap inchi dari kota yang telah membesarkannya hingga hari ini.

Ia tidak akan lupa, dan ia akan kembali. Ia berjanji akan hal itu.


Al.