Ello

Aidan menghela nafas panjang sesaat setelah dirinya tidak mendapat respon apapun baik pada telefon ataupun pesan-pesan yang telah ia kirimkan ke pemuda di sebrang sana. Tanpa pikir panjang, Aidan bergegas mambawa tungkainya menuruni satu persatu anak tangga untuk menghampiri pemuda yang telah menjadi sebagian dari hidupnya sejak keduanya dilahirnya.

Detingan garpu dan sendok menjadi sambutan tat kala tungkai sang adam telah sampai pada anak tangga terakhir. Sang ibu, Kezia, menjadi orang pertama yang menyadari kehadiran putra keduanya itu.

“Pagi A' Ai. Yuk sini makan dulu. Abangnya tadi baru aja berangkat.” Sapa seorang wanita yang kini usianya tidak lagi muda, namun tetap terlihat cantik.

Garis-garis halus di wajah sang ibunda menjadi penanda bahwa usianya tidak lagi muda. Meski demikian, tidak melunturkan kecantikan dari wanita itu. Aidan tersenyum menanggapi sang ibunda, lalu ia menggeleng sebagai jawaban.

“Enggak deh, mi. Aku mau langsung berangkat aja. Takut telat, soalnya ini kayaknya Rara belum bangun deh?”

Sang ibunda menepuk keningnya pelan, melupakan fakta bahwa pemuda yang sudah dianggapnya anak sendiri itu kini tengah di rumah sendirian. Pasalnya, Rena sempat berpesan padanya untuk menitipkan Raskal dan Julian, karena Rena dan sang suami, Arga harus pergi ke Semarang untuk mengurus salah satu cabang bisnis baru yang akan dibuka oleh perusahaan yang Arga naungi dalam waktu dekat.

“Astaga, mami lupa deh harusnya ke sebelah ngurusin Rara sama Ian. Besok suruh Rara nginep sini aja ya, A? Soalnya kan dia agak susah dibangunin gitu, nanti telat lagi.” Aidan hanya mengangguk, tidak membantah karena apa yang sang ibunda katakan benar adanya.

“Yaudah mi, Aa' pamit berangkat dulu ya. Bilangin papi hati-hati anter adek ke sekolahnya.” Aidan pun datang menghampiri sang ibunda lalu mengecup puncak kepala ibundanya sebelum bergegas keluar untuk menghampiri tetangganya, tak lain dan tak bukan adalah Rara, pemuda yang telah menjadi temannya bertumbuk dan berkembang sejak keduanya lahir ke dunia.


Aidan memarkirkan motor miliknya di depan rumah dengan gaya classic Europe, milik kediaman keluarga Arga. Dengan tergesa ia langkahkan tungkainya memasuki rumah minimalis yang didominasi cat berwarna putih tulang itu. Aidan sudah hafal setiap tata letak ruangan di rumah ini diluar kepalanya. Ia langkahkan tungkainya untuk menaiki setiap anak tangga dengan tergesa, hingga netranya dapat menangkap sebuah pintu bercat putih dengan tulisan 'Ra's room' didepannya. Tanpa pikir panjang Aidan segera membuka kenop pintu itu. Matanya membola sempurna saat didapati sang sahabat kecilnya masih bergelung dengan nyaman dibalik selimut.

Aidan mengangkat tangannya guna melihat arloji yang melingkar dengan indah di pergelangan tangan kirinya.

Pukul 07.00

Aidan pun bergegas membangunkan sahabatnya itu dengan menggoyangkan badannya sedikit brutal.

“Woi Ra, bangun anjir. Kita telat.” Tidak ada sahutan dari yang bersangkutan. Raskal justru semakin mengeratkan selimutnya, tanpa memperdulikan guncangan yang telah dilakukan oleh Aidan.

Segala jenis cara telah Aidan lakukan, waktu bahkan telah menunjukkan pukul tujuh lewat lima menit. Merasa kehabisan akal, Aidan bergegas mengambil segelas air yang memang selalu Raskal sediakan, di atas nakas miliknya. Tanpa berpikir panjang, Aidan segera menyiramkan air tersebut ke wajah Raskal yang masih pulas dalam bunga tidurnya.

Dinginnya air menusuk kulit milik Raskal. Refleks, Raskal langsung terduduk karena kaget. Ia ingin melayangkan protes, sesaat sebelum dilihatnya sang sahabat, Aidan, sudah duduk dengan tangan bersila di depan dada. Aidan tampak berkali-kali lipat lebih menyeramkan dalam penampilan seperti ini. Aidan bahkak sudah sangat rapih sekarang.

Raskal hanya dapat menunjukkan cengiran khasnya saat mendapati wajah tak bersahabat milik Aidan, “Hehe.. A' Ai udah disini aja ya hehe.”

Selalu saja, Raskal akan menggunakan embel-embel A' Ai setiap kali dirinya melakukan kesalahan atau membuat sang adam merasa kesal.

“Gua tunggu 10 menit. Lebih sedikit, gua tinggal.” Aidan berkata dengan tegas.

Raskal langsung bangkit dari tidurnya dan bergegas ke kamar mandi beserta seragam miliknya yang untungnya telah ia siapkan sejak semalam.

Hanya butuh 7 menit bagi Raskal untuk selesai bersiap-siap. Aidan harus mengapresiasinya akan hal ini, karena jujur ini adalah rekor bersiap-siap tercepatnya. Aidan bergegas turun bersama Raskal dengan tergesa. Di bawah sudah ada Bi Yuna yang tengah membersihkan rumahnya. Bi Yuna memang akan selalu datang pagi sekitar pukul 7 lalu kembali pulang pada sore hari, yakni sekitar pukul 4 atau 5 sore.

“Bi Yuna, Aidan sama Raskal berangkat dulu ya! Dadah bibi!” Raskal berpamitan sambil mengenakan sepatunya dengan sedikit asal-asalan. Aidan hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah ajaib sahabatnya itu.

“Bi, kita berangkat ya.” Aidan ikut berpamitan.

Sang bibi pun tersenyum penuh arti, “hati-hati ya, den.” Aidan mengacungkan jempolnya tanda mengerti.


Aidan melajukan motor miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia berusaha mengejar waktu dan berharap keduanya bisa sampai tepat pada waktunya. Melihat cara menyetir Aidan yang ugal-ugalan itu membuat jantung Raskal berdegub kencang. Dalam hati ia berdoa, semoga dirinya masih diberikan Tuhan kesempatan untuk hidup. Tanpa sadar, jemari milik Raskal melingkar indah pada perut Aidan. Aidan tersenyum kecil di balik helm full face miliknya.

Keduanya sampai pada parkiran sekolah pukul 7 lebih 35 menit. Yang berarti upacara sudah dimulai sekitar 5 menit yang lalu. Dengan tergesa kedua anak adam itu berlari ke dalam. Namun sayang, karena telah terlambat, keduanya ditaruh di barisan khusus anak-anak yang terlambat juga tidak menggunakan atribut lengkap. Aidan tak banyak berkomentar, ia berdiri tepat di depan Raskal kini.

“Ai... maafin Ra ya... kita telat karena Ra telat bangun.” Cicit Raskal pelan, takut-takut suaranya terdengar oleh pengawas upacara.

Aidan tak menjawab, ia hanya berdehem sebagai jawaban. Raskal juga tidak banyak berkomentar. Ia kembali menundukkan kepalanya, ia merasa sangat bersalah kini.

“Gapapa, Ra.” Ucap Aidan pelan.

Raskal segera mengangkat kepalanya dan tersenyum sumringah. Aidan memang tidak dapat melihat senyum itu, tapi Aidan tahu persis sahabatnya akan menyunggingkan senyum setiap kali hal seperti ini terjadi. Aidan tersenyum kecil, kecil sekali, sampai-sampai orang tidak akan menyadarinya.


Upacara telah selesai sekitar 10 menit yang lalu. Beberapa anak yang terlambat diberikan hukuman untuk berjemur di lapangan hingga jam istrirahat berkumandang. Sedangkan, anak-anak dengan atribut tidak lengkap ditugaskan untuk membersihkan lapangan sepulang sekolah.

Dan disinilah Aidan beserta Raskal dan 3 teman lainnya yang keduanya tidak tahu siapa namanya. Mereka kini sedang berdiri menghadap bendera. Sinar matahari pagi itu terasa cukup menyengat kulit. Aidan sudah terbiasa untuk menjalani hukuman seperti ini, pun harus berdiri di bawah teriknya sinat matahari walau dengan perut kosong sekalipun. Namun, tidak dengan Raskal. Anak itu kini terlihat sedikit pucat. Hal itu tidak luput dari penglihatan Aidan.

Melihat itu Aidan segera berganti berdiri di hadapan Raskal, sehingga cahaya matahari yang hendak mengenai Raskal terhalang oleh tubuh tegap milik Aidan. Raskal menatap bahu lebat milik sahabatnya itu, sudut bibirnya terangkat membentuk senyum indah disana.

Selalu saja, Aidan dan segala ke pekaannya akan melindungi Raskal. Hal sekecil ini lah yang membuat Raskal tidak sungkan untuk selalu bergantung pada Aidan.

Raskal merupakan anak pertama di keluarganya, tentu beban berat dipikul oleh Raskal. Walau tidak se seram beban yang dipikul kebanyakan orang, tetapi menjadi anak pertama tentu tetap berat. Raskal harus menjadi contoh, ia juga harus bisa bersikap lebih dewasa. Namun sosok Aidan lah yang selalu menjadi tempatnya bersandar. Raskal tidak perlu berupaya menjadi sosok yang sempurna. Karena Aidan akan selalu mengulurkan tangan dan membantu serta melindungi Raskal dalam hal apapun. Dan Raskal sangat bersyukur akan hal itu.

“Nanti istirahat langsung kantin ya, gue bayarin. Beli apa aja yang lu mau.” Suara bariton Aidan menyapu pendengaran Raskal.

Lagi, Raskal tersenyum tipis, “Beneran ya dibayarin? Gue boleh pilih makan apa aja? Gak nyesel? Gue porsi kuli loh.”

Aidan membalikkan tubuhnya, kini kedua mata onyx itu bertubrukan dengan sempurna dengan mata hazel milik Raskal.

“Emang pernah gue ingkarin omongan gue?” Raskal menggeleng sebagai jawaban.

Aidan tersenyum tipis, “Yaudah, pesen sebanyak apapun juga gapapa. Gak akan tiba-tiba jadi miskin juga.”

Raskal terkekeh dibuatnya, lalu ia mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya Aidan kembali berbalik ke depan, takut-takut ketahuan dan hukumannya ditambahkan. Mereka berdiam terus dalam posisi itu sampai jam istirahat pertama berkumandang.

Javier tampak memarkirkan mobil Porsche 911 miliknya lahan kosong yang tersedia. Nara mengedarkan pandangannya pada sekitar, ia hafal betul dengan tempat yang keduanya hampiri sekarang. Base camp tempat Javier, Nara, dan teman-temannya berkumpul semasa SMA. Nara mengerutkan dahinya bingung.

“Kita ngapain kesini?” Javier hanya tersenyum, tidak berniat menjawab pertanyaan sang kekasih.

Javier bergegas turun dari mobilnya dan berjalan mengitari mobilnya untuk membuka pintu mobil milik Nara. Nara pun turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan memasuki villa yang dahulu menjadi basecamp bagi keduanya dan teman-temannya untuk berbagi kisah.

Javier membuka pintu villa berwarna coklat tua di hadapannya. Dari pintu sudah terdengar suara sumpah serapah serta gelak tawa yang Nara hafal benar siapa pemiliknya. Seluruh teman-temannya disana, membuat Nara semakin dilanda kebingungan.

“Loh ada yang lain juga? Ngapain deh?” Lagi-lagi Javier hanya terdiam dan tersenyum lembut. Ia meraih jemari Nara lalu menariknya untuk berjalan menghampiri teman-temannya.

Suara gelak tawa serta candaan dari sekumpulan anak adam dan hawa itu terhenti sesaat bertepatan dengan hadirnya Javier dan Nara disana.

“Wetsehh ini dia bintang tamu kita. Akhirnya dateng juga.” Haikal orang pertama yang memberi sambutan, diikuti oleh ke delapan temannya yang lain.

Nara tertawa kecil dan ikut berbaur bersama teman-temannya. Setelah mereka berkuliah, mereka jarang bisa berkumpul di basecamp ini karena jaraknya yang cukup jauh dari kampus tempat mereka menggali ilmu.

Javier melepaskan genggamannya, ia tersenyum senang melihat Nara tampak bahagia dan tertawa tanpa beban di ujung sana. Javier tersenyum penuh arti. Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang di belakangnya.

“Mau mulai kapan jav?” Javier menimang-nimang.

“Sekarang juga gapapa sih vell. Usahain senatural mungkin ya? Nanti gue bakal jelasin ke Nara di akhir pokoknya jangan keliatan seolah ini direncanain. Paham kan?” Vella tampak tersenyum lalu mengacungkan jarinya tampak mengerti.

“Siap boss! Serahin semuanya sama gua dan Anya pokoknya lu nanti terima jadi aja!” Javier mengangguk lalu tersenyum simpul.

Thanks vell, emang lu sepupu paling the best deh.” Ucap Javier tulus.

“Lah gue enggak?” Entah sejak kapan Anya telah menguping pembicaraan keduanya. Javier tertawa renyah.

“Iya lu juga dah. Thanks banget, nanti bilang aja mau apa.”

“Kalau mau Nara bakal lu kasih gak?” Tanya Anya, iseng.

Javier menampilkan tatapan horornya. Anya terkikik geli sebelum kembali berucap. “Yaelah santai gue ga demen batangan kali. Tenang oke chill.. gue becanda doang anjir galak bener.”

Vella hanya menggelengkan kepalanya heran. Ia meninggalkan dua sepupu itu di sana dan bergegas menghampiri Nara dan yang lainnya.

“Hai guyss. Liat gue bawa apa?!” Vella memulai pembicaraan.

“Widih camera baru ya? Kok gue baru liat?” Tanya Rendra.

“Iya nih, dibeliin yang mulia Javier Pangestu.” Vella tertawa renyah yang diikuti oleh tawa keenam pria di hadapannya. Sudah sangat terbiasa dengan Javier yang dengan mudah membelikan apa saja pada teman-temannya maupun saudaranya.

“Lebay banget.” Javier tampak menimpali.

“Sirik aja lu. Mending lu semua pose deh ya, gue pengen check kamera! Kita hari ini foto yang banyak. Kebetulan Anya juga bawa kamera. Yuk yuk rapetan!” Vella tampak memberi intruksi.

Hari itu dihabiskan oleh mereka dengan sesi foto bersama. Senyum tak pernah luntur dari belah bibir Nara. Melihat itu Javier ikut tersenyum tulus. Ia berjanji akan berusaha untuk terus mempertahankan senyum indah sang kekasih.


Sesi foto telah berakhir. Kini keenam adam beserta dua hawa itu tampak bergelut dengan aktivitasnya masing-masing. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Pizza sebanyak lima box juga sudah habis dimakan hingga tak tersisa. Nara duduk bersebelahan dengan Javier. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu tegap sang kekasih.

Javier mengelus-elus surai legam milik Nara. Nara pun mendongakkan kepalanya. Tatapan keduanya terkunci.

Pumpkin..” Javier memulai pembicaraan. Netra Nara tidak lepas dari bola mata legam milik Javier.

“Aku emang enggak bisa kasih kamu foto keluarga kayak yang kamu pengen. But, we can built our own family. Disini, keluarga kamu. Ada aku, Haikal, Rendra, Mark, Cakra, dan Julian. Terus ada juga Vella dan Anya. Kita semua disini jadi keluarga kamu. Gapapa, ya? Nanti kita buat keluarga baru lagi. Ada aku, dan anak-anak kita kelak.” Nara tidak dapat membendung air matanya. Ia bergegas berhamburan ke pelukan Javier. Javier tersenyum lalu mengusap bahu bergetar milik sang kekasih.

“Makasih ya vier... when i said i love you, i really meant it. You're my world. Thank you.. thank you so much.” Nara berucap dengan wajah sembab disertai linangan air mata dan dada yang sesenggukan.

Javier mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi sang kekasih. Javier mengangkat tubuh Nara dan memindahkannya ke pangkuannya. Javier tersenyum tulus. Ia arahkan bibirnya pada kening Javier lalu mengecupnya lama.

My pleasure. Kebahagiaan kamu adalah tanggung jawab aku. Aku akan selalu mengusahakan itu. I love you more, pumpkin.” Dengan itu Nara kembali beringsut dalam pelukan Javier. Nara mengistirahatkan kepalanya pada dada bidang sang kekasih.

Malam itu ditutup dengan rasa haru. Nara sadar, ia tidak akan pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Ia juga sangat sadar bahwa rasanya tidak akan sama. Tapi, Nara sadar bahwa ia memiliki keluarga lain. Keluarga yang rela memberikan segalanya kepadanya. Termasuk waktu dan kasih sayang. Keluarganya tidak utuh, tapi kini Nara tahu bahwa ada keluarga lain yang dapat menjadi rumahnya, tempatnya berpulang.

Dan yang terpenting, ada Javier disana. Rumah bagi Nara, tempat Nara mengadu. Javier adalah definisi bahagia yang tidak akan terganti oleh harta sebanyak apapun. Javier itu penting, lebih penting dari apapun yang pernah Nara punya.

Javier tampak memarkirkan mobil Porsche 911 miliknya lahan kosong yang tersedia. Nara mengedarkan pandangannya pada sekitar, ia hafal betul dengan tempat yang keduanya hampiri sekarang. Base camp tempat Javier, Nara, dan teman-temannya berkumpul semasa SMA. Nara mengerutkan dahinya bingung.

“Kita ngapain kesini?” Javier hanya tersenyum, tidak berniat menjawab pertanyaan sang kekasih.

Javier bergegas turun dari mobilnya dan berjalan mengitari mobilnya untuk membuka pintu mobil milik Nara. Nara pun turun dari mobil. Keduanya berjalan beriringan memasuki villa yang dahulu menjadi basecamp bagi keduanya dan teman-temannya untuk berbagi kisah.

Javier membuka pintu villa berwarna coklat tua di hadapannya. Dari pintu sudah terdengar suara sumpah serapah serta gelak tawa yang Nara hafal benar siapa pemiliknya. Seluruh teman-temannya disana, membuat Nara semakin dilanda kebingungan.

“Loh ada yang lain juga? Ngapain deh?” Lagi-lagi Javier hanya terdiam dan tersenyum lembut. Ia meraih jemari Nara lalu menariknya untuk berjalan menghampiri teman-temannya.

Suara gelak tawa serta candaan dari sekumpulan anak adam dan hawa itu terhenti sesaat bertepatan dengan hadirnya Javier dan Nara disana.

“Wetsehh ini dia bintang tamu kita. Akhirnya dateng juga.” Haikal orang pertama yang memberi sambutan, diikuti oleh ke delapan temannya yang lain.

Nara tertawa kecil dan ikut berbaur bersama teman-temannya. Setelah mereka berkuliah, mereka jarang bisa berkumpul di basecamp ini karena jaraknya yang cukup jauh dari kampus tempat mereka menggali ilmu.

Javier melepaskan genggamannya, ia tersenyum senang melihat Nara tampak bahagia dan tertawa tanpa beban di ujung sana. Javier tersenyum penuh arti. Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang di belakangnya.

“Mau mulai kapan jav?” Javier menimang-nimang.

“Sekarang juga gapapa sih vell. Usahain senatural mungkin ya? Nanti gue bakal jelasin ke Nara di akhir pokoknya jangan keliatan seolah ini direncanain. Paham kan?” Vella tampak tersenyum lalu mengacungkan jarinya tampak mengerti.

“Siap boss! Serahin semuanya sama gua dan Anya pokoknya lu nanti terima jadi aja!” Javier mengangguk lalu tersenyum simpul.

Thanks vell, emang lu sepupu paling the best deh.” Ucap Javier tulus.

“Lah gue enggak?” Entah sejak kapan Anya telah menguping pembicaraan keduanya. Javier tertawa renyah.

“Iya lu juga dah. Thanks banget, nanti bilang aja mau apa.”

“Kalau mau Nara bakal lu kasih gak?” Tanya Anya, iseng.

Javier menampilkan tatapan horornya. Anya terkikik geli sebelum kembali berucap. “Yaelah santai gue ga demen batangan kali. Tenang oke chill.. gue becanda doang anjir galak bener.”

Vella hanya menggelengkan kepalanya heran. Ia meninggalkan dua sepupu itu di sana dan bergegas menghampiri Nara dan yang lainnya.

“Hai guyss. Liat gue bawa apa?!” Vella memulai pembicaraan.

“Widih camera baru ya? Kok gue baru liat?” Tanya Rendra.

“Iya nih, dibeliin yang mulia Javier Pangestu.” Vella tertawa renyah yang diikuti oleh tawa keenam pria di hadapannya. Sudah sangat terbiasa dengan Javier yang dengan mudah membelikan apa saja pada teman-temannya maupun saudaranya.

“Lebay banget.” Javier tampak menimpali.

“Sirik aja lu. Mending lu semua pose deh ya, gue pengen check kamera! Kita hari ini foto yang banyak. Kebetulan Anya juga bawa kamera. Yuk yuk rapetan!” Vella tampak memberi intruksi.

Hari itu dihabiskan oleh mereka dengan sesi foto bersama. Senyum tak pernah luntur dari belah bibir Nara. Melihat itu Javier ikut tersenyum tulus. Ia berjanji akan berusaha untuk terus mempertahankan senyum indah sang kekasih.


Sesi foto telah berakhir. Kini keenam adam beserta dua hawa itu tampak bergelut dengan aktivitasnya masing-masing. Waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam. Pizza sebanyak lima box juga sudah habis dimakan hingga tak tersisa. Nara duduk bersebelahan dengan Javier. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu tegap sang kekasih.

Javier mengelus-elus surai legam milik Nara. Nara pun mendongakkan kepalanya. Tatapan keduanya terkunci.

Pumpkin..” Javier memulai pembicaraan. Netra Nara tidak lepas dari bola mata legam milik Javier.

“Aku emang enggak bisa kasih kamu foto keluarga kayak yang kamu pengen. But, we can built our own family. Disini, keluarga kamu. Ada aku, Haikal, Rendra, Mark, Cakra, dan Julian. Terus ada juga Vella dan Anya. Kita semua disini jadi keluarga kamu. Gapapa, ya? Nanti kita buat keluarga baru lagi. Ada aku, dan anak-anak kita kelak.” Nara tidak dapat membendung air matanya. Ia bergegas berhamburan ke pelukan Javier. Javier tersenyum lalu mengusap bahu bergetar milik sang kekasih.

“Makasih ya vier... when i said i love you, i really meant it. You're my world. Thank you.. thank you so much.” Nara berucap dengan wajah sembab disertai linangan air mata dan dada yang sesenggukan.

Javier mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi sang kekasih. Javier mengangkat tubuh Nara dan memindahkannya ke pangkuannya. Javier tersenyum tulus. Ia arahkan bibirnya pada kening Javier lalu mengecupnya lama.

My pleasure. Kebahagiaan kamu adalah tanggung jawab aku. Aku akan selalu mengusahakan itu. #I love you more, pumpkin.*” Dengan itu Nara kembali beringsut dalam pelukan Javier. Nara mengistirahatkan kepalanya pada dada bidang sang kekasih.

Malam itu ditutup dengan rasa haru. Nara sadar, ia tidak akan pernah mendapat perhatian dan kasih sayang dari orangtuanya. Ia juga sangat sadar bahwa rasanya tidak akan sama. Tapi, Nara sadar bahwa ia memiliki keluarga lain. Keluarga yang rela memberikan segalanya kepadanya. Termasuk waktu dan kasih sayang. Keluarganya tidak utuh, tapi kini Nara tahu bahwa ada keluarga lain yang dapat menjadi rumahnya, tempatnya berpulang.

Dan yang terpenting, ada Javier disana. Rumah bagi Nara, tempat Nara mengadu. Javier adalah definisi bahagia yang tidak akan terganti oleh harta sebanyak apapun. Javier itu penting, lebih penting dari apapun yang pernah Nara punya.

Setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih, Javier, Nara pun bergegas bersiap-siap. Ia segera mengitari lemarinya, mencari pakaian terbaik yang akan ia kenakan hari ini. Pilihanya jatuh kepada kaos putih dibalut dengan cardigan motif kotak-kotak berwarna monochrome serta celana panjang hijau lumut. Nara merasa puas melihat baju yang telah ia pilih, ia pun tersenyum puas lalu bergegas ke kamar mandi untuk segera bersiap.

30 menit lamanya Nara mempersiapkan diri di kamar mandinya. Ia keluar dalam keadaan dirinya yang telah berbalut baju lengkap disertai rambut basah miliknya. Ketika pintu kamar mandi ia buka, hal pertama yang ia lihat adalah kekasihnya, Javier yang telah bermain game di ponsel miliknya di atas kasur dengan sprei putih tulang milik Nara. Nara tersenyum senang dan segera menghampiri sang kekasih.

Cup!

Satu kecupan mendarat pada tulang pipi sang kekasih. Javier yang semula fokus pada game segera memusatkan seluruh atensinya pada kekasihnya. Javier terkekeh lalu segera menarik pelan tubuh Nara hingga Nara terduduk di atas pahanya. Javier mencium leher Nara bertubi-tubi, diikuti oleh kekehan kegelian milik Nara.

“Ih geliii vier!”

Javier hanya menampilkan senyum bulan sabitnya, ia terkekeh lalu beralih merengkuh pinggang ramping kekasihnya. Javier pun menaruh dagunya pada pundak milik sang kekasih.

“Habis kamu wangi banget loh. Jadi pengen cium seharian.”

Nara memutar bola matanya malas.

“Ih awas biar cepet katanya mau pergi?! Aku mau ngeringin rambut dulu.” Javier menggeleng dan justru mengeratkan pelukannya.

Melihat tingkah sang dominan, Nara sedikit memukul jemari kekasihnya yang melingkar indah di perutnya.

“Vierrr ih!” Nara tampak kesal.

Melihat wajah kesal Nara diikuti oleh bibirnya yang diturunkan tanda merajuk, membuat Javier tertawa gemas. Ia segera mengacak rambut basah sang kekasih lalu mengecup bibirnya sekilas.

“Sini aku keringin rambutnya.” Javier menawarkan diri, lalu ia bergegas berdiri dan mengambil hair dryer milik kekasihnya yang sudah sangat ia hafal dimana tempat kekasihnya itu menaruh benda itu.

Javier tampak menuangkan hair tonic pada kulit kepala Nara seperti kebiasaan Nara setiap harinya. Ia memberikan pijatan-pijatan pelan pada kepala Nara. Lalu Javier tidak lupa menyemprotkan vitamin rambut pada surai legam sang kekasih. Dirasa sudah cukup, Javier segera mengarahkan hair dryer ke rambut basah Nara, setelahnya ia mulai mengeringkan rambut kekasihnya itu.

Nara tersenyum diperlakukan se special itu oleh sang kekasih. Ia tak memberikan penolakan, justru merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki kekasih seperti Javier.

Setelah sekitar 15 menit akhirnya rambut Nara kering, Javier segera mematikan hair dryer nya dan menaruhnya ke tempat semula. Javier kembali dengan sebuah sisir ditangannya. Jemarinya dengan telaten menata rambut Nara. Setelah dirasa cukup, Javier mengembalikan sisir itu ke tempatnya semula dan kembali ke hadapan sang kekasih dengan sejumlah skincare milik Nara di tangannya.

Nara tentu mengerti arah pandang Javier. Ini sudah seperti rutinitas mereka setiap akan pergi kemanapun.

Javier mengambil hydrating toner dan mengusapkannya pada wajah putih bak porselen milik Nara, kekasihnya. Nara mendongak dan menatap mata Javier yang kini tengah mengusapkan skincare pada wajahnya. Setelahnya Javier melanjutkan dengan mengoleskan serum, moisturizer, hingga diakhiri dengan sun screen. Selama itu pula tatapan Nara tidak pernah lepas dari wajah serius sang kekasih.

Cup!

Javier mengecup bibir Nara.

“Bayaran buat aku sebagai tukang salon hari ini.” Nara dibuat tertawa olehnya.

Melihat senyum manis yang terbit di wajah kekasihnya, membuat Javier ikut tersenyum senang. Senyuman Nara adalah hal terindah yang pernah Javier lihat selama hidupnya.

“Yaudah yuk sekarang.” Javier menengadahkan tangannya dihadapan Nara, memberi kode kepada Nara untuk menggenggam jemarinya, yang tentu saja diterima dengan baik oleh Nara.

Keduanya berjalan beriringan menuruni setiap anak tangga hingga keduanya sampai di depan mobil Javier Porsche 911 berwarna putih milik Javier. Javier pun membukakan pintu untuk Nara dan mempersilahkan Nara masuk. Baru setelahnya Javier memutari mobilnya dan masuk dalam kursi kemudi.

Javier memundurkan mobilnya setelahnya ia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jemari Javier bertaut dengan sempurna pada jemari mungil Nara.

“Kita mau kemana sih?”

Javier tidak menjawab.

“Ih Vier jawab!”

Javier terkekeh, ia mengusap telapak tangan Nara dengan lembut, lalu mengalihkan atensinya sekilas pada sang kekasih sebelum kembali menatap padatnya jalanan ibu kota di pukul 5 sore.

“Rahasia. Suprise pokoknya.” Nara menautkan alisnya bingung, bibirnya tertekuk cemberut. Ia sungguh sangat penasaran.

Cup!

“IH VIER KENAPA CIUM CIUM?”

Javier hanya tertawa puas mendengar kalimat protes yang keluar dari belah bibir sang kekasih, Nara.

“Tunggu aja, nanti juga tau. Pasti kamu suka.”


Setelah membaca pesan yang dikirimkan oleh sang kekasih, Javier, Nara pun bergegas bersiap-siap. Ia segera mengitari lemarinya, mencari pakaian terbaik yang akan ia kenakan hari ini. Pilihanya jatuh kepada kaos putih dibalut dengan cardigan motif kotak-kotak berwarna monochrome serta celana panjang hijau lumut. Nara merasa puas melihat baju yang telah ia pilih, ia pun tersenyum puas lalu bergegas ke kamar mandi untuk segera bersiap.

30 menit lamanya Nara mempersiapkan diri di kamar mandinya. Ia keluar dalam keadaan dirinya yang telah berbalut baju lengkap disertai rambut basah miliknya. Ketika pintu kamar mandi ia buka, hal pertama yang ia lihat adalah kekasihnya, Javier yang telah bermain game di ponsel miliknya di atas kasur dengan sprei putih tulang milik Nara. Nara tersenyum senang dan segera menghampiri sang kekasih.

Cup!

Satu kecupan mendarat pada tulang pipi sang kekasih. Javier yang semula fokus pada game segera memusatkan seluruh atensinya pada kekasihnya. Javier terkekeh lalu segera menarik pelan tubuh Nara hingga Nara terduduk di atas pahanya. Javier mencium leher Nara bertubi-tubi, diikuti oleh kekehan kegelian milik Nara.

“Ih geliii vier!”

Javier hanya menampilkan senyum bulan sabitnya, ia terkekeh lalu beralih merengkuh pinggang ramping kekasihnya. Javier pun menaruh dagunya pada pundak milik sang kekasih.

“Habis kamu wangi banget loh. Jadi pengen cium seharian.”

Nara memutar bola matanya malas.

“Ih awas biar cepet katanya mau pergi?! Aku mau ngeringin rambut dulu.” Javier menggeleng dan justru mengeratkan pelukannya.

Melihat tingkah sang dominan, Nara sedikit memukul jemari kekasihnya yang melingkar indah di perutnya.

“Vierrr ih!” Nara tampak kesal.

Melihat wajah kesal Nara diikuti oleh bibirnya yang diturunkan tanda merajuk, membuat Javier tertawa gemas. Ia segera mengacak rambut basah sang kekasih lalu mengecup bibirnya sekilas.

“Sini aku keringin rambutnya.” Javier menawarkan diri, lalu ia bergegas berdiri dan mengambil hair dryer milik kekasihnya yang sudah sangat ia hafal dimana tempat kekasihnya itu menaruh benda itu.

Javier tampak menuangkan hair tonic pada kulit kepala Nara seperti kebiasaan Nara setiap harinya. Ia memberikan pijatan-pijatan pelan pada kepala Nara. Lalu Javier tidak lupa menyemprotkan vitamin rambut pada surai legam sang kekasih. Dirasa sudah cukup, Javier segera mengarahkan hair dryer ke rambut basah Nara, setelahnya ia mulai mengeringkan rambut kekasihnya itu.

Nara tersenyum diperlakukan se special itu oleh sang kekasih. Ia tak memberikan penolakan, justru merasa beruntung dan bersyukur karena memiliki kekasih seperti Javier.

Setelah sekitar 15 menit akhirnya rambut Nara kering, Javier segera mematikan hair dryer nya dan menaruhnya ke tempat semula. Javier kembali dengan sebuah sisir ditangannya. Jemarinya dengan telaten menata rambut Nara. Setelah dirasa cukup, Javier mengembalikan sisir itu ke tempatnya semula dan kembali ke hadapan sang kekasih dengan sejumlah skincare milik Nara di tangannya.

Nara tentu mengerti arah pandang Javier. Ini sudah seperti rutinitas mereka setiap akan pergi kemanapun.

Javier mengambil hydrating toner dan mengusapkannya pada wajah putih bak porselen milik Nara, kekasihnya. Nara mendongak dan menatap mata Javier yang kini tengah mengusapkan skincare pada wajahnya. Setelahnya Javier melanjutkan dengan mengoleskan serum, moisturizer, hingga diakhiri dengan sun screen. Selama itu pula tatapan Nara tidak pernah lepas dari wajah serius sang kekasih.

Cup!

Javier mengecup bibir Nara.

“Bayaran buat aku sebagai tukang salon hari ini.” Nara dibuat tertawa olehnya.

Melihat senyum manis yang terbit di wajah kekasihnya, membuat Javier ikut tersenyum senang. Senyuman Nara adalah hal terindah yang pernah Javier lihat selama hidupnya.

“Yaudah yuk sekarang.” Javier menengadahkan tangannya dihadapan Nara, memberi kode kepada Nara untuk menggenggam jemarinya, yang tentu saja diterima dengan baik oleh Nara.

Keduanya berjalan beriringan menuruni setiap anak tangga hingga keduanya sampai di depan mobil Javier Porsche 911 berwarna putih milik Javier. Javier pun membukakan pintu untuk Nara dan mempersilahkan Nara masuk. Baru setelahnya Javier memutari mobilnya dan masuk dalam kursi kemudi.

Javier memundurkan mobilnya setelahnya ia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang. Jemari Javier bertaut dengan sempurna pada jemari mungil Nara.

“Kita mau kemana sih?”

Javier tidak menjawab.

“Ih Vier jawab!”

Javier terkekeh, ia mengusap telapak tangan Nara dengan lembut, lalu mengalihkan atensinya sekilas pada sang kekasih sebelum kembali menatap padatnya jalanan ibu kota di pukul 5 sore.

“Rahasia. Suprise pokoknya.” Nara menautkan alisnya bingung, bibirnya tertekuk cemberut. Ia sungguh sangat penasaran.

Cup!

“IH VIER KENAPA CIUM CIUM?”

Javier hanya tertawa puas mendengar kalimat protes yang keluar dari belah bibir sang kekasih, Nara.

“Tunggu aja, nanti juga tau. Pasti kamu suka.”

Kisah cinta orang-orang emang berbeda-beda. Ada yang love at first sight, ada yang benci jadi cinta, ada yang love hate relationship, ada juga yang dari best friend become lovers.

Kalau Sunghoon, kisah cintanya unik. Unik sekali. Jika mengingat awal perjumpaannya dengan lelaki yang kini menjadi kekasihnya itu, ia akan tertawa. Pertemuan mereka itu tidak sengaja, di sebuah bus pada pukul 7 pagi. Sunghoon masih ingat jelas, hari itu hari sabtu, tanggal 17 Maret 2018. Sunghoon sedang buru-buru untuk mengikuti acara opening pembukaan butik sang ibunda.

Ia memilih duduk di salah satu kursi yang kebetulan kosong. Lalu tak lama berselah, seorang nenek tampak naik. Tubuhnya sudah sepuh, Sunghoon tidak gila untuk tetap duduk dan nenek itu berdiri. Jadi ia bergerak berdiri lalu membiarkan nenek itu duduk di tempatnya. Sunghoon menuntun nenek itu untuk duduk.

Sunghoon tidak tahu letak kesalahannya dimana. Tetapi sepertinya nenek itu sedang sensi, atau amarahnya mudah tersulut. Nenek itu mengomel panjang karena supir yang ngerem mendadak. Sunghoon mengusap telinganya karena suara nenek itu nyaring sekali memasuki pendengarannya.

Tak lama seorang pemuda naik ke bus, lengkap dengan pakaian casualnya. Nenek itu tiba-tiba memukul pemuda itu berkali-kali dengan tasnya. Pemuda itu kebingungan dan mengaduh kesakitan.

Sunghoon melongo sejadi-jadinya. Karena supir tadi memang berhenti mendadak akibat panggilan dari pemuda itu. Merasa tidak tega, Sunghoon berusaha menenangkan si nenek. Namun bukannya tenang, si nenek semakin marah. Ia ikut memukul Sunghoon dan mengomelinya. Sunghoon tidak tahu apa yang dibicarakan wanita sepuh itu. Kini mereka jadi pusat perhatian.

Sunghoon malu sekali.

Tak lama pemuda itu menariknya keluar dari bus. Sunghoon tentu kebingungan, namun karena keadaan yang sudah tidak kondusif, ia memilih untuk diam saja.

Setelah turun keduanya membenarkan penampilan mereka yang sedikit berantakan. Keduaya menghela nafas kesal.

Well... tadi itu agak aneh ya.” Pemuda itu lebih dulu bersuara.

“Itu nenek-nenek lagi kenapa ya sensi banget kaya masker.” Kali ini Sunghoon menimpali.

Pemuda itu tertawa kecil. “Gak sopan lho sama orangtua.”

Sunghoon menggendikkan bahunya tidak perduli, “peduli setan. Masa mentang-mentang udah tua jadi bisa mukulin stranger gitu anjir?”

Tanpa sadar Sunghoon mencebikkan wajahnya kesal. Wajahnya kini tertekuk.

“Hahahaha yaudahlah ya, semoga panjang umur buat neneknya.” Pemuda itu berujar diiringi dengan kekehannya.

Tak lama bus lain datang.

“Kalau begitu aku duluan ya. Makasih udah nolongin tadi.” Pemuda itu mengangguk lalu tersenyum.

Dan begitulah pertemuan pertama mereka. Tidak ada perasaan berbunga saat kedua mata itu menatap mata bulat Sunghoon. Pun tidak ada ujaran kebencian akibat pria itu yang tiba-tiba menarik pergelangan tangannya padahal dia sedang buru-buru.

Obrolan itu singkat, sangat singkat. Tanpa memperhatikan detail satu sama lain. Tanpa tahu nama satu sama lain. 17 Maret 2018 pertemuan pertama mereka. Masih sama, as a stranger.

Namun sepertinya semesta memang ingin bermain-main. Keesokan paginya saat berangkat sekolah, Sunghoon kembali menaiki busnya. Kali ini jam arlojinya menunjukkan pukul 6 lewat 20 menit.

Sunghoon mendapat tempat duduk. Jadi ia memilih duduk dan memakai earphone nya. Ia mendengarkan lagu secara acak dari playlistnya.

Tiba-tiba di pemberhentian berikutnya, seseorang naik. Sunghoon tidak menyadari itu karena asik membaca buku novel yang entah sudah ia baca berapa kali, sampai ia hafal benar jalan ceritanya. Pun pemuda itu tidak terlihat mengenali eksistensi Sunghoon. Sepertinya pertemuan mereka bukan apa-apa bagi keduanya.

Ketika bus sampai di halte pemberhentian sekolah Sunghoon, ia bergegas berdiri dan keluar dari bus tersebut. Tanpa menyapa atau bersitatap dengan pemuda itu. Keduanya tampak tidak menyadari eksistensi satu sama lain.

Hingga...

“Sunghoon!” Panggil seorang wanita. Sunghoon sudah hafal benar suara itu, itu Karina. Gadis yang telah mendekatinya selama hampir 1 semester ini. Sunghoon meringis saja, sedikit kesal karena harus menemui gadis itu di pagi cerah ini. Padahal mood Sunghoon sedang baik.

“Emh, iya Rin.” Sunghoon membalas dengan sekenanya. Setelahnya Sunghoon dapat merasakan ia berceloteh sepanjang perjalanan.

Sunghoon memilih menulikan pendengarannya. Ia mengencangkan suara musik pada earphone nya dan berjalan tanpa mengindahkan Karina di sebelahnya.

Hingga Sunghoon sampai ke kelasnya, ia segera masuk ke kelasnya dan menduduki kursinya. Karina yang merasa terabaikan pun cemberut, lalu menghentak-hentakkan kakinya dan bergegas pergi meninggalkan kelas Sunghoon.

Sunghoon sih tidak perduli. Ia memilih kembali menenggelamkan dirinya pada bacaan novel yang tadi ia baca.

Sampai ia menyadari sesuatu.

“Novel gua mana anjir..” Sunghoon berujar dengan panik.

Teman-temannya menatapnya bingung. “Lo ga bawa novel di genggaman lo kaya biasanya, hoon. Ketinggalan kali?”

Holy shit. Sunghoon pasti meninggalkannya di bus tadi.

Sunghoon pasrah saja kalau sudah begini. Bahunya langsung merosot. Mood Sunghoon hancur seketika.

Sunghoon terbangun dari tidur lelapnya. Ia mengedarkan pandangan dan tatapannya jatuh pada jam di atas nakas milik Jongseong, jam itu menunjukkan pukul tiga dini hari.

Sunghoon memandang lekat-lekat wajah terlelap Jongseong. Dalan hati ia bersyukur bisa memiliki pria itu di sisinya. Pria yang selalu bersedia menolongnya, menjadi sandaran untuknya. Pria yang selalu berada di sisinya dalan kondisi apapun.

Have I saved the world in the past? to have you in my life now?

Sunghoon mengarahkan jemarinya menelusuri setiap lekuk wajah Jongseong. Jongseongnya sempurna. Selalu sempurna.

And Sunghoon didn't deserve this man at all.

Omongan ayahnya terus berputar di kepalanya bagaikan kaset rusak. Ia lelah, sangat lelah kini. Dadanya kembali sesak, sesak sekali.

Sunghoon berhenti menyapu wajah Jongseong dengan jemarinya. Ia remat kuat-kuat dadanya yang kini kembali terasa nyeri.

Sebenarnya Jongseong sudah terbangun sejak tadi. Namun ia berpura-pura tidur, membiarkan Sunghoon melakukan apa yang ia inginkan. Namun ketika Jongseong mendengar isak lirih itu keluar dari belah bibir Sunghoon, ia langsung membuka kedua matanya.

“Hey... Kenapa? Sakit lagi?” Jongseong bertanya dengan lembut.

Sunghoon mengangguk sebagai jawaban. Jongseong tarik daksa pemuda itu dan membawanya pada dekapannya. Ia tepuk tepuk pelan punggung Sunghoon dan mengusapnya pelan. Jongseong kecup puncak kepala Sunghoon berkali-kali lalu bisikkan kata-kata penenang padanya.

Setelahnya dirasa Sunghoon lebih tenang, Jongseong renggangkan pelukannya. Jemari besarnya bergerak untuk mengusap air mata Sunghoon. Wajah pemuda itu kini memerah karena terlalu banyak menangi, pun dengan hidungnya. Matanya berwarna merah dan masih tersisa sisa-sisa air mata disana.

Jongseong menangkup wajah kekasihnya. Lalu ia cium hidung kekasihnya itu, setelahnya ia lanjutkan ke arah pipi kanan, kiri, kening, dan berakhir pada bibir. Sunghoon terpaku, mata bulatnya mengerjap berkali-kali.

Memang Jongseong sudah biasa menciumnya seperti ini, memperlakukannya dengan sangat manis. Namun, tetap saja mampu membuat jantung Sunghoon bertalu lebih cepat dari biasanya.

Hangat. Itulah perasaan yang Sunghoon rasakan pada hatinya kini. Ia tersenyum kecil lalu melingkarkan tangannya pada leher sang dominan.

Setelahnya Sunghoon kembali membawa bibirnya menyentuh bibir sang dominan. Kali ini lebih intens, Sunghoon sedikit lumat bibir tipis itu. Tak lama Jongseong mendominasi ciuman itu. Ciuman itu tidak ada nafsu sedikitpun. Keduanya hanya berbagi rasa cinta melalui senyuman. Keduanya hanya saling menyalurkan rasa disana. Ciuman yang lembut dan tak menuntut.

Setelah dirasakan pasokan oksigen menipis, keduanya menjauhkan wajah mereka, sedikit sekali, sampai-sampai hidung keduanya masih dapat bersentuhan.

“I like your lips, really.” Jongseong berujar jujur. Sunghoon hanya terkekeh.

“I like everything about you.” Balas Sunghoon yang mendapat senyuman kecil sebagai respon dari lawan bicaranya.

“I love you. Please stay alive ya? Don't hurt yourself and please dont ever think to giveup.” Jongseong menatapnya dengan teduh.

Sunghoon mengagguk, “I will try my best, ya?”

Sunghoon tidak bisa berjanji pada kekasihnya ini. Karena sejujurnya, Sunghoon sudah sangat lelah. Namun ia akan berusaha sebisanya.

Begitu sampai di apartment Jongseong, Sunghoon meminta waktu sendiri. Jongseong dengan senang hati memberinya waktu.

Dan disinilah Sunghoon, berada di dalam kamar Jongseong. Ia telah mengunci kamar Jongseong dan tak mengizinkan kekasihnya itu masuk. Air mata Sunghoon tidak dapat berhenti mengalir setelah mendengar perkataan ayahnya tadi.

Anak gak tahu diri.

Tidak punya masa depan.

Lacur?

Serendah itu Sunghoon dimata ayahnya sendiri?

Sunghoon merasakan dadanya sesak bukan main. Sunghoon bahkan kesulitan untuk bernafas. Nafasnya tercekat, tangannya bergetar hebat, kepalanya sakit luar biasa. Sunghoon berusaha bernafas sebisanya, namun dirinya tidak bisa. Yang ada justru dadanya terasa semakin sesak. Sunghoon benar-benar tidak kuat lagi.

Panic attack.

Pikiran-pikiran buruknya berkecamuk di dalam kepalanya.

Menyuruhnya untuk mati.

Menyuruhnya untuk pergi.

Menyuruhnya untuk menyudahi hidupnya.

Jemari Sunghoon bergetar hebat. Netranya mengendar ke arah sekitarnya, mencari benda yang sekiranya dapat mengalihkan panic attack yang ia rasakan ini.

Tatapannya terpaku pada sebuah cutter yang berada di atas meja milik Jongseong. Dengan segera Sunghoon mengambilnya dan hendak menggoreskan pergelangan tangannya dengan benda tajam itu hingga

TOK TOK

“Hey sayang.. aku masuk ya? Buka pintunya.” Jongseong berujar dengan panik, namun Sunghoon tak menjawab apapun.

Sunghoon masih berusaha mengalihkan rasa sakitnya, mengalihkan sesak yang terasa begitu menyakitkan. Ia remat kuat-kuat surainya lalu ia tarik sekencang-kencangnya. Tangisnya pun semakin menjadi. Jongseong dapat mendengar dengan jelas tangisan memilukan itu. Dada Jongseong bergemuruh hebat, sungguh ia takut sekali sekarang. Ia pun bergegas mencari kunci cadangan.

Karena dilanda panik, Jongseong sampai melupakan letak kunci cadangan miliknya. Ia menggeram frustasi.

“DIMANA SIH ANJING.” Makinya pada diri sendiri.

“Fuck, fuck, fuck.” Jongseong semakin panik.

Hingga akhirnya Jongseong menemukanya, kunci itu berada di dalam laci di bawah TV.

Jongseong bergegas membuka kamarnya. Jantungnya terasa jatuh ke mata kaki ketika netranya melihat dengan jelas dimana Sunghoon hendak menggoreskan pergelangan tangannnya dengan cutter. Jongseong langsung panik, Ia berlari secepat yang ia bisa lalu mengambil paksa cutter itu dan membuangnya ke sembarang arah. Jongseong membawa Sunghoon ke dalam pelukannya.

“Ini aku Jongseong, please don’t do that. I won’t leave you. You’re too precious. Please, please… I’m here... I love you so much.

Perlahan kesadaran Sunghoon kembali. Ia mengeratkan pelukannya pada tubuh Jongseong. Ia hirup lamat-lamat aroma fabric milik sang kekasih. Namun ketika Jongseong kembali merasakan Sunghoon kembali kesulitan bernafas, ia segera merenggangkan pelukannya.

“Hey… look at me ya? Ayo nafas pelan pelan. Inhale Exhale okay. Nah iya gitu, ayo diulang ya? Ikutin aku.” Jongseong berujar diikuti oleh arahannya untuk ikut melakukan pernafasan panjang yang berulang tersebut.

Sunghoon menurut, ia berusaha melakukan teknik pernafasan berulang itu. Sunghoon meremat kuat jemari Jongseong. Jongseong terus membantunya untuk bernafas.

Sakit kepalanya masih ada, namun perlahan berangsur berkurang. Setelah dirasa telah lebih baik, Jongseong kembali membawa Sunghoon ke dalam pelukannya. Ia peluk daksa itu dengan sekuat yang ia bisa. Air mata Jongseong jatuh begitu saja. Sunghoon yang merasakan pundaknya basah pun kembali menangis. Ia menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher sang dominan. Sunghoon meremat baju yang Jongseong kenakan.

“Please don’t do that again. I can’t lost you. Please..” Jongseong berucap dengan lirih.

Sunghoon menganggukkan kepalanya pelan dan merapalkan kata maaf berkali-kali. Keadaan Sunghoon memang berangsur membaik, panic attack yang ia rasakan perlahan menghilang. Namun secara tiba-tiba pandangannya mengabur, dan setelahnya ia jatuh tak sadarkan diri dengan bobot tubuh yang ia tumpukan sepenuhnya pada sang dominan.

tw // fight, child abuse, blood.

“Sayang, kamu yakin udah gapapa? Mau pulang sekarang? Kata dokternya satu hari lagi loh.” Jongseon bertanya dengan khawatir. Sunghoon hanya tersenyum lalu menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.

“Aku masih ada kewajiban buat bantu dekor. Acara tahunannya sebentar lagi. I'll be okay. Nanti kalau ada apa-apa aku janji bakal bilang kamu!” Sunghoon berusaha meyakinkan kekasihnya. Jongseong tidak tega melihat Sunghoon menatapnya dengan tatapan memohon seperti sekarang, jadi ia tersenyum lalu mengusak surai hitam milik Sunghoon.

“Promise?” Jongseong mengulurkan jari kelingkingnya ke hadapan Sunghoon.

Melihat itu Sunghoon terkekeh geli, lalu menatap Jongseong dengan senyuman lebarnya. “Promise!” kemudian Sunghoon jemari kelingkingnya dengan milik Jongseong.

Keduanya keluar dari ruang rawat inap itu lalu membayar beberapa biaya admistrasi dan mengurus segala jenis biaya yang Sunghoon tidak mengerti. Sunghoon diperintahkan Jongseong untuk menunggu di ruang tunggu loby rumah sakit sementara Jongseong mengurus administrasi yang ada.

Netra bulat Sunghoon bertemu tatap dengan seorang gadis kecil dengan wajah pucat. Rambutnya berwarna coklat gelap, tergerai dengan indah. Gadis itu tidak sendirian. Dia bersama dengan sesosok wanita yang tidak kalah cantik dengan dirinya, Sunghoon berasumsi bahwa wanita cantik itu adalah ibunya.

Hal selanjutnya yang Sunghoon lihat adalah, gadis itu merengek kepada sang ibunda. Ibundanya mengusap surainya lembut lalu mengecup puncak kepala buah hatinya lembut. Anak itu sepertinya tengah menunggu giliran untuk diperiksa oleh dokter.

Samar-samar Sunghoon dapat mendengar pembicaraan keduanya.

“Mami, kepala dede pusing banget hiks… sakit mami… gasuka rasanya enggak enak.” Si wanita cantik itu menatap buah hatinya dengan iba, lalu ia membawa buah hatinya ke pangkuannya dan mengecup puncak kepala sang buah hati sambil mengelus-elus punggungnya lembut dan sedikit menggoyangkan tubuhnya.

“Iya dede, bentar ya sabar nanti ketemu dokter biar pusingnya ilang. Anaknya mami kan jagoan ya.” Ucapnya lembut.

Gadis itu masih menangis hingga nafasnya tersenggal-senggal. Wanita itu tidak marah karena sang buah hati menangis, pun tidak memaki atau memukulnya. Wanita itu membelai surai coklat tua milik buah hatinya dan terus berusaha menenangkan buah hatinya.

Tak lama seorang pria tampak menghampirinya. Pria itu sepertinya berusia tidak terlalu jauh dari sang wanita cantik. Dari pergerakan bibirnya, terlihat sang pria menatap buah hatinya khawatir dan bertanya mengenai keadaan gadis kecilnya. Gadis kecil itu tidak berhenti menangis, hingga sang ayah tidak tega dan membawa gadis itu ke dalam gendongannya. Ia ayun-ayunkan tubuhnya sambil terus mencium pipinya lembut. Pria itu merapalkan berbagai kalimat penenang.

Hal itu tidak lepas dari penglihatan Sunghoon. Tanpa permisi air matanya turun membasahi pipinya. Sunghoon tidak tahu rasanya diperlakukan sedemikian baik ketika sakit. Karena—ketika ia sakit kedua orang tua nya akan mencaci makinya dengan kalimat-kalimat yang menusuk hati.

Juga, walau tengah sakit—Sunghoon harus tetap membantu membersihkan rumah. Ia tidak pernah diperhatikan sedemikiam rupa. Jangankan untuk dipeluk, diberi makan saja jarang. Dia tidak pernah diizinkan bergabung untuk makan bersama kakak dan ayah ibunya. Sunghoon hanya akan makan makanan sisa dari mereka di pojok dapur rumahnya. Jika makanan itu habis tandas tak bersisa—maka Sunghoon harus menahan lapar dan tidak makan.

Sunghoon bahkan pernah tidak makan selama tiga hari dan berakhir jatuh tak sadarkan diri. Jika om Jaehyun tidak menolongnya, mungkin ia sudah tinggal nama.

Hyewon sering kali memberikan Sunghoon makanan miliknya secara diam-diam, namun sering kali ditolak oleh Sunghoon. Bahkan selama ini Hyewon selalu diam-diam membelikan Sunghoon barang-barang mulai dari baju, sepatu, hingga peralatan sekolah dari hasil modellingnya.

Karena orangtuanya tidak akan pernah membelikannya.

Kalau dipikir-pikir—Sunghoon dapat bertahan hingga hari ini saja sudah menjadi suatu keajaiban bukan? Sunghoon hebat kan?

Lamunan Sunghoon terhenti saat seseorang mengusap kepalanya lembut. Sunghoon mendongak dan mendapati kekasihnya tengah menatapnya teduh. Jongseong ini siap berikan segala cinta yang ia miliki sepenuhnya untuk Sunghoon. Dan Sunghoon bersyukur akan hal itu.

Jongseong sudah menyadari arah penglihatan Sunghoon sejak ia membayar administrasi tadi. Selama dua tahun menjalin hubungan dengan Sunghoon, sedikit banyak Jongseong dapat memahami isi pikiran Sunghoon.

Jongseong kini berlutut di hadapan Sunghoon, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Sunghoon yang tengah terduduk di kursi rumah sakit itu. Jongseong beri senyuman lembut, lalu Jongseong usap air mata Sunghoon dengan jemari besarnya. Setelahnya Sunghoon berhamburan ke dalam pelukan Jongseong. Jemarinya bergerak teratur di punggung Sunghoon lalu mengusapnya lembut. Jongseong berikan kalimat-kalimat penenang pada sang kekasih.

“It’s okay I’m here, you can cry as much as you want.”

Setelah menangis kurang lebih selama lima belas menit, Sunghoon perlahan merenggangkan pelukannya. Jonseong tersenyum lembut lalu mengecup kening Sunghoon lembut.

“Udah puas nangisnya? Masih mau lagi?” Sunghoon menggeleng pelan walau kini nafasnya masih tersenggal-senggal.

“Sedih banget nangisnya bayinya aku… I’m sorry, I wish we can met sooner so I can take care of you better.” Jongseong berujar lembut sembari jemarinya bergerak mengusap pipi Sunghoon. Sunghoon genggam jemari Jongseong yang berada di pipinya lalu mengelusnya perlahan.

“Thank you for coming into my life. You make my life so much better than before.” Sunghoon berujar dengan lembut.

Jongseong teraenyum telus. “My pleasure.”

Setelahnya Jongseong membalikkan badannya dan berjongkok. Sunghoon yang tidak mengerti pun mengernyitkan alisnya bingung. Akhirnya Jongseong menarik pelan jemari Sunghoon sambil berujar

“Ayo naik. Kakinya masih sakit kan?”

Sunghoon terpaku, memang kakinya masih sakit. Bahkan sakit sekali. Tapi Sunghoon tidak berpikir kalau Jongseong serius akan ucapannya untuk menggendongnya.

Sunghoon pun naik ke punggung Jongseong lalu setelahnya Jongseong berdiri dan berjalan menjauhi loby rumah sakit menuju ke tempat dimana mobilnya terparkir.


“Kamu yakin gak mau ke apartment aku aja? Aku khawatir loh sayang..” Pasalnya perasaan Jongseong tidak enak saat ini. Namun Sunghoon menggeleng dan memberi senyum terbaiknya untuk meyakinkan Jongseong.

Bahu Jongseong tampak turun, tapi ia tidak bisa memaksa Sunghoon, jadi mau tidak mau ia menurut. “Okay, tapi aku temenin sampe kamu masuk. Deal?

“Deal.”


Sunghoon mengetuk pintu rumahnya perlahan dengan takut-takut. Dalam hati Sunghoon berharap yang membuka pintunya adalah kakaknya atau bundanya tidak apa-apa. Mentok-mentok Sunghoon hanya akan kena tampar atau pukul dibagian punggungnya atau mungkin kena jambak, Sunghoon sudah biasa. Tetapi harapannya pupus ketika ayahnya lah yang membukakan pintu untuknya. Sang ayah menatap Sunghoon tajam yang tentu saja membuat nyali Sunghoon menciut.

Tamat sudah riwayatnya.

BRUGHH DUAKGHH

Sang ayah tanpa aba-aba melayangkan pukulan kepada Sunghoon. Sunghoon yang belum bersiap pun jatuh tersungkur. Kepalanya membentur lantai dengan keras, perutnya sakit bukan main. Jongseong yang melihat itu segera menahan tubuh ayah Sunghoon dan mencengkramnya kuat.

“OM!” Bentak Jongseong keras

“Kenapa? Kamu mau bela anak gatau diri ini lagi? Kamu dikasih apa sih sama dia? Dikasih tubuhnya? Iya? Sampai kamu bela dia seperti ini. Dia ini gak lebih dari sampah yang gapunya masa depan!”

BUGH

Satu pukulan mendarat dengan sempurna di wajah Ayah Sunghoon. Ayah Sunghoon mundur beberapa langkah akibat serangan yang Jongseong berikan.

“Om denger saya ya. He's a human! And he’s my boyfriend. Om bilang apa? Dia sampah? Hey ngaca om. Mirror! Yang sampah disini itu siapa? Om sama istri om itu yang sampah! Bukan manusia! Biadab sekali. Atau om mau saya lapor ke polisi sekalian atas tindakan kekerasan pada anak? Mau?” Habis sudah kesabaran Jongseong.

Tidak terima dikatai seperti itu, ayah Sunghoon pun hendak melayangkan pukulan lagi, namun dapat Jongseong tangkis dengan baik.

BUGH BUGH BUGH

Kini kondisi ayah Sunghoon sudah sangat kacau dengan berbagai luka memar dan ujung bibirnya yang berdarah. Baru saja Jongseong hendak melayangkan kembali pukulannya, sebuah tangan menahan pergerakan kakinya, dilihatnya Sunghoon menatapnya dengan tatapan memohon.

Lagi, Jongseong kalah. Jongseong menjauhkan tangannya yang bersiap memukul itu, lalu bergegas menghampiri sang kekasih. Jongseong dapat melihat luka pada kepala Sunghoon. Jongseong terdiam sebentar untuk menetralkan emosinya, lalu ia angkat tubuh Sunghoon dan bergegas membawanya ke mobilnya.

“Kita pulang ke apartment aku. Gak ada penolakan.”

Jika Jongseong sudah berucap begitu dengan suara yang rendah dan dingin, maka Sunghoon hanya dapat menurut. Karena Jongseong yang sedang menahan amarah itu sangat menyeramkan.

Keduanya pergi meninggalkan ayah Sunghoon yang menatap keduanya dengan pandangan benci. Ia mendesis lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya dan membanting keras pintu rumahnya itu.

ㅤ ㅤㅤ Sunghoon sadar benar, dunia miliknya dan dunia milik Jongseong itu sangat bertolak belakang. Dunianya sunyi dan tenang, sedangkan dunia Jongseong itu berisik sekali.