Jam pulang sekolah telah berkumandang. Jam pelajaran terakhir diisi oleh mata pelajaran matematika peminatan. Sontah, setelah bel berkumandang, seisi kelas bersorak gembira. Sang guru pun bergegas keluar ruangan kelas. Aidan menatap arlojinya yang kini jarum pendeknya mengarah ke angka 3. Ia bergegas membereskan semua perlengkapan miliknya.
Aidan keluar kelas diikiti oleh Jaylen, sepupunya. Keduanya memang cukup dekat, selain satu kelas, mereka juga satu tongkrongan. Rasa-rasanya hampir tidak ada rahasia antar keduanya. Karena dibandingkan ke Jeffrey dan Chello, Aidan sendiri lebih banyak menumpahkan keluh kesahnya pada saudaranya ini. Wajah yang hampir mirip, membuat mereka kerap kali dikira anak kembar. Tidak apa, baik Jaylen maupun Aidan tidak memprotes. Mereka hanya akan tersenyum menanggapi.
Jaylen dan Aidan terpaut 8 bulan, dimana Jaylen lebih muda dari pada Aidan. Dari segi dewasa pun, Aidanlah yang paling dewasa. Tidak usah diragukan lagi. Aidan memang dituntut untuk menjadi dewasa, terutama oleh sang ayah. Katanya, laki-laki itu harus kuat, enggak boleh menangis, bahunya harus sekuat baja, sabarnya seluas samudera. Begitulah karakter Aidan terbentuk. Aidan yang dingin pada orang lain, Aidan yang mampu melakukan apa saja, Aidan yang totalitas dalam setiap apapun yang ia perbuat, dan lagi Aidan dengan sejuta pesona itu hanya jatuh pada satu sosok saja. Aidan tidak menuntut perasaannya terbalas, Aidan tidak juga cemburu akan setiap kedekatan sang sahabat, baginya berada dekat sang sahabat lebih dari cukup. Setidaknya ia tahu, bagi keduanya, eksistensi satu sama lain sama-sama prioritas. Tidak ada yang dapat menyanggah itu.
“Pulang nganter Raskal lagi?” Seperti biasa, Jaylen sejujurnya tahu apa jawaban dari sang sepupu, ia hanya akan memastikan.
Aidan mengangguk tanpa berniat mengalihkan atensinya dari depan. Jaylen mengerti, lalu tangannya terulur untuk merangkul sang sepupu, “Kenapa lu gak coba deketin in romantic way aja sih? Padahal gua yakin kalian sama-sama saling suka. I mean, kalian sama-sama gabisa kepisah kan? Kalian bener-bener saling membutuhkan.”
Aidan menghentikan langkahnya, ia tersenyum samar, sebelum menjawab pertanyaan Jaylen, “If we're meant to be, mau segimanapun dia deket sama orang pasti ujungnya bakal sama gua, Jay. Tapi, kalau emang dia bukan buat gua, mau gua paksa gimanapun, ujungnya bakal pisah juga. Gua enggak pasrah, cuman ikutin alur yang ada. Mungkin ya, mungkin suatu saat gua sama dia bakal nyatu. Biar waktu aja yang jawab. Untuk sekarang, ngeliat dia kayak gini, dan ada di setiap masa pertumbuhan dia aja udah lebih dari cukup, Jay.”
Jaylen dibuat bungkam seribu bahasa. Rasa-rasanya lidahnya terasa kelu untuk sekedar menjawab penuturan sang sepupu. Senyum kecil terpantri dari bibir tipisnya. Ia menyakini, ralat, hampir seluruh anggota keluarga kedua keluarga itu meyakini bahwa pada akhirnya keduanya akan bersama. Tinggal menunggu waktu saja, kapan keduanya mulai melangkahkan kedua kakinya pada satu tujuan yang sama.
Jaylen kini telah sampai pada koridor tempat kelas sang pacar bersemayan. Ia menepuk pundak Aidan dua kali sebagai gesture perpisahan, yang tentu dimengerti oleh Aidan. Aidan mengangguk lalu keduanya berpisah. Aidan kembali berjalan ke gedung A, tempat dimana gedung IPS berada. Sekolah mereka memang terdiri dari 3 gedung berbeda. Gedung IPA, IPS, dan Bahasa. Di tengahnya disambungkan oleh satu lapangan outdoor yang sama. Tempat dimana ketiga jurusan itu melangsungkan upacara setiap seninnya.
Jarak dari gedung IPA ke gedung IPS sejujurnya cukup jauh. Namun lagi, Aidan tidak masalah. Ia senang dapat menjemput sang sahabat setiap harinya. Bahkan tak jarang, ia ikut mengantar sang sahabat. Sang sahabat pun tidak pernah melayangkan protes. Keduanya merasa nyaman dan aman pada posisi seperti ini. Selalu, selalu nyaman. Bahkan jika Aidan harus mengitari lapangan selama 100 putaran hingga kakinya rasanya mau copot dari tempat, rasa-rasanya ia tak keberatan. Ini semua perkara prioritas, bagi Aidan presensi Raskal dalam hidupnya lebih berharga dari apapun. Prioritas, Raskal adalah prioritas Aidan.
Aidan semakin dekat ke kelas Raskal. 10 IPS-1. Ketika langkahnya telah memasuki koridor kelas Raskal, dimana kelas Raskal sendiri berada di Lantai 3, tepatnya di kelas paling ujung. Aidan dapat melihat tubuh tegap milik Raskal dari ujung tempatnya berdiri. Seulas senyum kembali terpantri dari belah bibirnya. Lelaki Agustus itu tengah berbincang dengan sejumlah wanita, beserta kedua sahabatnya di sebelahnya. Entah membahas apa, tawa yang menguar indah dari bibir ranumnya membawa Aidan pada perasaan senang juga juga tenang yang tiada henti. Aidan tidak cemburu, sama sekali tidak. Aidan justru merasa senang, Raskal sangat cantik dengan tawa itu. Ia bahkan rela melawan dunia dan segala isinya untuk membuat sang sahabat tersenyum tanpa beban seperti itu.
Sepanjang tungkainya berjalan, tak jarang sapaan menyapa pendengarannya. Aidan tidak menjawab, kepalang malas. Selalu begitu, Aidan dengan ekspresi datar dan dinginnya kepada semua orang, akan sangat berbeda ketika dihadapkan kepada sesosok pria diujung sana. Raskal dan sejuta pesonanya, telah membuat Aidan jatuh sangat dalam, bahkan sejak pertama kali kedua obsidian itu bertubrukan.
Netra Raskal yang semula tertuju pada gadis-gadis di hadapannya, kini berpindah pada sahabat kecilnya. Senyumnya menguar lebih lebar dari sebelumnya. Seperti sudah menjadi tontonan umum melihat kedekatan keduanya.
“Hahahaha iya bener banget anjir, gue sumpah dah enggak sangka ternyata si ibu begitu. Ah gila emang gak jelas banget tap—AI! SINII!” Ucapan Raskal terpotong begitu saja.
Ketiga gadis beserta dua anak adam yang tengah berbincang kini menatap arah pandangan Raskal. Netra Raskal langsung berbinar setiap kali mata hazelnya bersitatap dengan mata onyx milik sang sahabat.
Gadis-gadis itu memutar bola mata malas, seolah aksi modusnya digagalkan oleh kedatangan manusia dari jurusan sebelah, sedang Haden dan Rasya hanya dapat menahan tawa melihat gadis-gadis yang tampak merajuk itu. Raskal sendiri sudah tidak memperdulikan eksistensi teman-temannya. Saat ini netranya hanya tertuju pada satu sosok, sosok Aidan seorang.
Aidan berlari kecil, hingga kedua tungkainya telah sampai dihadapan sang sahabat.
“Mau balik sekarang apa entaran?” Tanya Aidan.
Raskal menimbang-nimbang, tidak ada yang hendak ia kerjakan juga sih, jadi ia pikir pulang sekarang serta menikmati hidangan mami akan terasa lebih nyaman.
“Sekarang aja. Tunggu ya, gua ambil tas dulu di dalem. Lagian lu lama banget dari tadi. Lumutan gua nungguinnya.” Omel Raskal.
Ketiga gadis itu entah kenapa sudah tidak berada di tempatnya. Raskal bahkan lupa, kapan ketiga gadis itu pergi dari tempatnya. Raskal tidak mau ambil pusing, ia segera bergegas ke dalam mengambil tas miliknya.
Haden dan Rasya masih disana, berbincang satu sama lain. Sesekali kedunya melayangkan lirikan yang entah artinya apa. Aidan sih tidak ingin ambil pusing. Ia memilih bersandar pada tembok depan kelas Raskal sambil memainkan ponselnya, guna mengusir rasa bosan.
“Sayang banget ya lu sama Raskal?” Suara Haden tampak menginterupsi aktivitasnya berselancar di media sosial miliknya.
Aidan mengangkan alisnya satu, pertanda bingung dengan arah pembicaraan Haden. Haden hanya tersenyum tipis.
“Kayaknya gak usah gua jawab juga lu tau deh jawabannya.” Aidan menimpali. Ia segera memasukkan ponsel miliknya ke saku celana seragam abu-abunya.
Rasya tampak menanggapi, “Jujur nih ya dan, gua tuh beneran greget sama lu berdua. Yang satu dingin banget mana gak pernah pacaran, nolak orang kasar banget setiap di tembak. Yang satu lagi, deman amat gonta ganti pasangan. Tapi selalu putus dengan alesan klasik, selalu karena gasuka orang itu membatasi ruang gerak lu sama dia. Bener-bener aneh. Kenapa sih lu berdua gak jadian aja, biar bucinnya enak.” Rasya menyuarakan isi hatinya yang entah sejak kapan telah bersarang di benaknya.
Aidan tersenyum kecil, kecil sekali sampai Haden dan Rasya tidak menyadarinya, “Pertanyaan yang sering gua dapet dari banyak orang sih ini. Tapi jawaban gua masih sama, If we're meant to be, mau sejauh apapun akhirnya ya bakal bareng. Tapi kalo enggak, ya mau gua paksa gimana juga, akhirnya bakal sama, akhirnya gua bakal tetep gabisa sama dia. Jadi gua cumab harus jalanin apa yang depan mata gua. Urusan itu nanti aja, gua juga belum mikir kesana. Presensi dia aja udah lebih dari cukup buat gua.”
Haden dan Rasya lagi-lagi tertegun. Keduanya menggelengkan kepalanya, terlampau tidak mengerti dengan cara berpikir pria di hadapannya. Lalu keduanya mengangguk, tidak dapat menanggapi lebih lanjut, karena apa yang diucapkan Aidan ada benarnya.
Belum sempat Rasya kembali berucap, tiba-tiba Raskal telah kembali dari dalam kelas, “Ai! Ayo pulang. Mau makan di rumah aja tapi, mami masak kan ya? Bibi Yuna tadi gua suruh engga usah masak, soalnya pengen makan masakan mami.”
Aidan mengangguk, ia mengusak rambut hitam legam milik Raskal, sebelum mengulas sebuah senyum lebar, “Iya, mami masak kok. Yaudah, yuk. Tar kesorean, gua masih harus pergi buat kumpul club basket soalnya.”
Raskal tampak berbinar, “Kumpul lagi? Mau ikut boleh?”
Siapa Aidan dapat menolak tatapan penuh binar harapan di hadapannya? Tidak mungkin juga ia dapat menolaknya. Dengan itu, ia mengangguk tanda menyetujui. Lalu keduanya berpamitan kepada Rasya dan Haden, sebelum melangkahkan kakinya menuju ke parkiran sekolah.
“Haden, Rasya, gua duluan ya! Kalian hati-hati baliknya.” Ucap Raskal.
“Duluan ya Den, Ras.” Ucap Aidan setelahnya.
Sejujurnya pemandangan seperti ini bukan lagi pemandangan yang asing. Kedekatan keduanya sudah menjadi perbincangan cukup panas sejak keduanya menjalani ospek pada awal masuk SMA. Sudah banyak bahkan orang-orang yang berharap keduanya dapat menjalin asmara. Bahkan base sekolah tak jarang membahas perihal kedekatan keduanya.
Namun kembali lagi, Aidan dan Raskal belum sampai pada titik itu. Keduanya masih berusaha menyelami rasa yang mereka miliki. Berusaha meyakinkan diri, entah apa yang akan membawa keduanya pada satu kesadaran, bahwa hakikatnya, keduanya saling mencintai. Biar waktu yang menjawab.