Ello

tw // fight, blood. cw // harsh words

Gavin kembali keluar sebagai pemenang. Ia disambut oleh sorakan bahagia oleh orang-orang yang ada di arena malam itu. Euphoria yang telah lama tidak Gavin rasakan kini kembali memenuhinya. Perasaan bangga juga gembira tergabung menjadi satu, bahwasannya kemampuannya dalam balapan belum menurun sedikit pun.

Arlen menghampiri Gavin, lalu memberikan Gavin senyuman tipis serta mengucapkan selamat. Gavin terima uluran tangan itu sambil ulaskan senyum tipis sekali, bahkan jika Arlen tidak jeli, maka ia tidak akan tahu bahwa Gavin memberikan senyuman padanya.

Congrats ya, Vin. Skill lo oke juga emang, padahal 5 tahun ga main ya?” Gavin hanya tersenyum kecil dan memberi anggukan tipis, “Lo juga enggak kalah keren. It’s nice to know you anyway. Thank you, Arlen.”

Arlen belum sempat berikan balasan atas perkataan Gavin karena secara paksa badan Gavin ditarik kuat oleh seseorang. Arlen yang awalnya terkejut dan hendak membantu Gavin, mengurungkan niatnya ketika melihat siapa yang datang.

Kent.

Jonathan Kentandra. Satu-satunya sepupu Gavin yang rela keluar dari rumahnya dan menolong Gavin, menopang Gavin ketika Gavin tidak lagi punya siapa-siapa. Sepupu kecil Gavin yang tumbuh bersama Gavin, bahkan sejak keduanya dilahirkan.

Kini pria keturunan Canada-Indonesia itu tampak memberikan tatapan tajam yang menusuk. Gavin menatap Kent datar, sejujurnya Gavin tahu saat ini ia bersalah. Oleh karena itu ia memilih diam.

“ARE YOU OUT OF MIND?!” Teriakan Kent terdengar ke penjuru arena, membuat bisik-bisik mengenai Gavin kembali terdengar.

Gavin hanya menghela nafas kasar, lalu ia berjalan menjauhi Kent, “Ikut gua, jangan disini.”

Merasa itu adalah pilihan yang tepat, Kent mendengus kesal, memilih menuruti Gavin mengekor di belakangnya.

Kini keduanya telah berada di lapangan kosong yang jaraknya agak jauh dari arena. Tempat itu sepi, tidak ada siapapun disana. Hanya terdapat suara angin yang menerpa kulit Gavin juga Kent. Kent masih sama, dengan kilatan amarah yang memuncak. Perpaduan antara sedih, khawatir, dan marah yang tergabung menjadi satu.

BUGH

“BRENGSEK,” umpat Kent.

“Lu sadar gak apa yang udah lu lakuin hah?! Udah gila apa lu?! Lu tau kan alasan Bang Jeff sampai meninggal apa?! Kenapa lu bodoh banget astaga Tuhanku.”

Gavin tidak memberikan tanggapan. Ia membiarkan Kent meluapkan segala emosinya terlebih dahulu. Rasa perih menjalar di bibir Gavin yang mengeluarkan sedikit darah disana.

“JAWAB GUA ANJING.”

“Apa?”

“APA?! LU PIKIR! PIKIR PAKE OTAK LU YANG CERDAS ITU! PIKIR SEBELUM BERT—“

“GUA CUMAN CAPE BRENGSEK. GUA NGERASA GAPUNYA ALESAN BUAT BERTAHAN LAGI. LU GATAU RASANYA JADI GUA. JUST SHUT YOUR FUCKING MOUTH, YOU DUMB ASS.

Hancur sudah pertahanan Gavin. Ia mengepalkan kuat-kuat jemarinya, setelahnya ia membalikkan badannya.

Belum ada lima langkah berjalan, Kent kembali menarik tubuhnya. Kent mengambil kunci motor yang digenggam oleh Gavin. Emosi Gavin sudah sampai diujung, Gavin hendak melayangkan protes, sebelum Kent kembali memberikan kunci mobil miliknya ke tangan Gavin. Gavin mengerutkan alisnya bingung.

“Lu balik pake mobil gua, biar gua yang bawa motor lu.”

“Gua minta maaf kalau lu merasa gua masih kurang pahamin lu dan gatau rasanya jadi lu gimana,” Kent menjeda ucapannya, lalu kembali berucap, “Hati-hati bawa mobilnya, jangan ngebut. Nanti cari lagi Ory nya. Istirahat dulua, tubuh lu pasti capek banget. Gua duluan ya.”

Gavin menatap nanar punggung Kent yang telah berjalan menjauh dari tempatnya berdiri. Dalam hati Gavin lontarkan umpatan-umpatan pada dirinya.

Gavin tolol, Gavin bodoh, Gavin goblok.

Gavin kepalkan tangannya lalu mengarahkannya ke salah satu tiang di dekat sana lalu memukulnya dengan sekuat tenaga hingga darah tampak turun memenuhi kulit putih susunya.

“ARGH BRENGSEK.”

Amory menatap tiga kotak pizza yang dibawakan oleh Chandra dengan mata berbinar. Chandra yang melihat itu terkekeh kecil, Amory memang selalu menggemaskan jika tentang makanan.

“Biasa aja kali, kaya gapernah liat pizza aja.”

“Dih, sirik lu?”

Selanjutnya ketiga anak adam itu tampak menikmati setiap potongan pizza yang ada. Canda tawa tak ter elak kan dari belah bibir ketiganya. Celetukan-celetukan yang terlontar daru bibir ketiganya, dipadukan dengan pertengkaran kecil dari Rakha dan Chandra. Pemandangan yang sudah biasa Amory temui, namun tetap dapat memberikannya kesan hangat dan nyaman pada relung hatinya.

Tiba-tiba ketiganya terdiam setelah lelah tertawa. Masih dengan sisa tawa yang ada, ketiganya berusaha menetralkan nafasnya.

“Jadi gimana Na? Kok bisa sampe mutusin cabut sih? Dari dulu gua sama Rakha larang gapernah deh lu dengerin.”

Amory mematung. Haruskah ia ceritakan mengenai pria sialan yang mencoba menggodanya untuk tidur dengannya? Juga sentuhan-sentuhan dan kalimat kurang menyenangkan itu. Amory bergidik mengingat kedua temannya yang sangat buruk dalam mengekspresikan marah. Dapat Amory tebak bahwa pada akhirnya keduanya tidak segan-segan untuk menghajar pria itu. Chandra akan mencarinya hingga keujung dunia sekalipun.

Hembusan nafas lelah menjadi respon pertama Amory, setelahnya ia mendudukan dirinya dari baringan di atas karpet snoopy miliknya.

Hm… let’s say… today was fucked up. Gue dari dulu emang gasuka sama tempat kaya gitu. Lu berdua tau sendiri kan?” Keduanya mengangguk sebagai jawaban.

“Tadi ada kejadian gak enak. Ya gue males nyebut lagi. Intinya adu argumen sama salah satu pelanggan VVIP disana. Dia cross the line banget,” Amory menjeda ucapannya. Ia menimbang kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya.

“Terus yaudah gue dipanggil sama Bang Dirga kan. Disana dia marah-marah as usual lah. Ini bukan pertama kalinya gue dimarahin dia juga. Cuman gue udah engga kuat banget gitu. Terus tiba-tiba kata kata laki laki asing itu keingetan sama gue. Jadi gue lawan deh, dan mutusin buat resign.

Keduanya mengernyitkan alisnya bingung, “Bentar bentar, laki laki asing? Siapa?”

Rakha memukul kepala belakang Chandra dengan agak kasar, “Dongo! Namanya juga asing, mana tau si Nana nama cowok itu. Aduh jangan buat gua naik darah ya lu.”

Chandra menatap Rakha tajam sambil mengusap kepala belakangnya, Rakha balik menatap Chandra tak kalah tajam. Amory hanya mendengus melihat sifat keduanya.

“Berantem mulu, awas lu berdua nanti pacaran loh.”

Refleks keduanya saling menjauhkan diri.

“Pait pait pait pait.”

“Anjing amit-amit dah. Mimpi buruk gua kalo pacaran sama bocah tengik ini.”

Amory terkikik geli melihat respon keduanya. Meski begitu, baik Chandra maupun Rakha sebenarnya saling melindungi satu sama lain. Keduanya benar-benar menyayangi satu sam lain. Rakha tak segan untuk turun tangan ketika Chandra disakiti oleh orang lain, begitu pula sebaliknya.

“Terus cowok itu bilang apaan ke lo?”

Netra Amory berbinar terang mengingat paras rupawan pria itu, serta sikap siaganya ketika menolong Amory.

“Ya pokoknya jangan mau jatuhin harga diri buat uang dan sejenisnya, gak sebanding. Terus gue jadi yakin buat out deh.”

“Alhamdulillah.”

“Puji Tuhan.”

Amory kembali tertawa kecil melihat reaksi kedua sahabatnya itu. Lalu ia melanjutkan ceritanya, “Bang Dirga, pemilik club itu kasih gue gaji terakhir. Gajinya jauh lebih gede dari sebelumnya.”

Kembali, Amory menghembuskan nafasnya kasar.

“Sebenernya ya buat ukt bisa gue bayar pake itu, pun dengan biaya gue yang lain. Tapi kan gue harus bantu ibun.. pasti engga akan cukup. Donatur lagi seret banget sekarang-sekarang. Gue beneran bingung..”

Chandra baru saja hendak membuka mulut, namun Amory sudah tahu pasti apa yang hendak Chandra utarakan.

“Gak ya Chan, gue gamau.”

“Gue belom ngomong??”

Amory menggelengkan kepalanya, “Gue tau, lo pasti mau nawarin bantuan cuma-cuma kan ke gue? Gak ya Chan. Kalau lu mau bantu, mending lu cariin gue kerjaan dah.”

Chandra hanya dapat menghela nafas kasar melihat sifat keras kepala sahabatnya itu. Ia mengangguk setelahnya.

“Oke, gue usahain cariin lu kerjaan dari kenalan-kenalan gue. Tapi kalau misal nanti belum dapet dan uang lu menipis, lu jangan tolak bantuan dari gue ataupun Rakha. Deal gak?” Amory mengangguk senang.

Senyum Amory merekah begitu saja, ia memeluk kedua sahabatnya erat yang tentu saja dibalas tak kalah erat oleh kedua sahabatnya.

tw // sexual harassment, fight, alcohol.

Hari itu adalah akhir pekan, dimana pada umumnya orang-orang akan memilih untuk menghabiskan waktu bersama sahabat, keluarga, atau bahkan kekasihnya. Namun hal itu tidak terjadi pada Amory. Amory dengan sejuta tanggung jawab yang harus ia emban, memilih untuk menghabiskan akhir pekannya di sebuah club malam.

Jika sebagian orang datang ke club untuk melepas penat, maka hal itu tidak terjadi pada Amory. Kalau boleh jujur, tempat ini adalah tempat yang paling Amory hindari. Amory akan lebih memilih menghabiskan waktu berjam-jam di perpustakaan dibandingkan di ruangan yang penuh sesak dengan orang-orang yang mencari ketenangan dalam bisingnya malam. Namun, Amory terpaksa mengambil pekerjaan ini. Amory sangat membutuhkan uang saat ini.

Setiap malam sehabis pulang dari bar, Amory akan berdiam diri dan menyalahkan dirinya sendiri. Ia akan menganggap bahwa dirinya hina dan kotor karena pria-pria hidung belang yang entah siapa itu tidak jarang menyentuh tubuhnya. Dari yang paling halus hingga yang sangat kasar.

Amory memang diberkahi dengan paras yang cantik nan elok bak dewa. Laki-laki dan perempuan akan jatuh hati dalam sekali tatap pada pesonanya. Kulitnya putih, seputih susu, bibir berwarna merah muda dengan pinggang yang ramping. Sungguh kombinasi yang sangat sempurna untuk ukuran seorang laki-laki.

Lagi, Amory bukan tidak bersyukur dengan berkat yang Tuhan berikan padanya. Ia hanya menyayangkan, hal yang seharusnya ia syukuri justru menjadi salah satu memori kelam untuknya. Jika boleh dibilang, Amory benci perawakan tubuhnya yang sempurna. Ia benci ketika seseorang mendamba tubuhnya dengan penuh minat. Ia membenci tatapan-tatapan penuh puja pada ceruk leher, dada, maupun pinggangnya.

Amory benci setiap lekuk tubuhnya.

“Nares udah siap belum? Kalau udah nanti langsung aja jaga di sana terus suguhin minuman ke pria-pria di pojok sana. Mereka nunggu kamu loh,” ucap salah satu teman kerja Amory, Julia namanya. Tak lupa Julia mengedipkan sebelah matanya berniat menggoda Amory. Amory hanya tertawa kecil sebagai respon. Walau kini suasana hatinya berbandinv terbalik dengan perawakan manis yang ia pertontonkan pada orang-orang.

“Oke siap Jul! Thank you ya!” Amory membalasnya dengan riang, kedua sudut bibirnya membentuk sebuah lengkungan tipis, manis sekali.

Julia tidak pernah tahu, di bawah sana kaki dan jemari Amory bergetar hebat. Keringat dingin turun dengan bebas menyusuri wajahnya. Setelah Julia bergegas pergi dari hadapannya, Amory menarik nafas panjang. Berusaha sekuat tenaga untuk menetralkan perasaannya saat ini.

Nana kamu pasti bisa. Ayo. Demi adek-adek dan juga ibun. Nana harus bisa ya pasti bisa. Begitulah rapalan doa yang Amory elukan dalam hatinya.

Dengan perasaan ragu, Amory berjalan menuju meja bartender, bersiap melayani sekumpulan pria hidung belang itu. Ia meracik minuman special untuk para lelaki yang sejak awal sudah menatapnya dengan pandangan penuh puja. Amory tidak bodoh untuk mengetahui maksud dari tatapan sekumpulan pria itu.

Dua orang pria tampak berjalan mendekati bar tempat Amory tengah meracik minuman milik pria-pria itu. Amory tersenyum tipis ketika dua orang pria itu mendekat ke arahnya lalu menatapnya tanpa berkedip sekalipun.

“Do you know how pretty you are?” Salah satu pria tampak menyuarakan pikirannya. Hati Amory berdegup kencang, ia hanya tersenyum kecil lalu membalas ucapan pria di hadapannya, “Well, everyone know it ‘kan?”

Pria itu menatap Amory dengan pandangan yang sulit diartikan. Kedua pria itu menampilkan senyum miring. Ketika Amory selesai menyiapkan minuman yang mereka inginkan, salah seorang pria meraih jemari Amory dan mengusapnya pelan.

“I wonder how pretty you’re when you moan my name. It may be the prettiest things i ever seen.” Amory membeku mendengar penuturan pria itu. Namun dengan cepat ia berusaha mengontrol ekspresinya kembali.

“That could be the best thing you've ever seen, right? So, keep dreaming. I have a high standards of a man I would sleep with.”

Senyuman miring dua orang pria itu berganti dengan decakan keras. Rahang kedua pria itu tampak mengeras. Amory masih dalam posisinya, tidak bergerak sedikitpun.

Tanpa Amory sadari, tidak jauh dari tempatnya berdiri, ada seorang pria yang menatapnya dari jauh. Pria itu menikmati Tequila miliknya dengan santai. Sepasang netra gelap miliknya menatap binar hazel milik Amory yang tampak redup.

“Ini minuman untuk kalian. Selamat menikmati minuman kalian.”

Salah seorang pria yang berdiam di meja pojok bangkit angkat bicara.

“Lo pikir lo siapa bisa merendahkan temen gue kaya gitu? You’re a slave. Gak usah sok jual mahal kalau dikasih uang juga pasti langsung mau. Butuh berapa sih buat beli diri lo itu? Gue bahkan bisa dapet pria yang jauh lebih cantik dan manis dari lu. Murahan.”

That’s it. Amory can’t hold it anymore. Amory angkat kepalanya yang menunduk, ia sunggingkan senyuman paling manis yang ia punya, “Bahkan semua uang yang kamu punya gak bisa beli diri saya. Saya jauh lebih mahal dari itu. Saya bukan pria murahan, kamu lah pria yang merasa punya segalanya. Kenapa? Kok marah sih. Modal minta uang orang tua aja bangga setengah mati. Punya malu sedikit lah.” Amory tersenyum miring, ia mengusap kemeja pria itu dengan jemari lentiknya. Amory mendekatkan bibirnya tepat ke samping telinga pria itu.

“Perkataan saya gak salah kan? Standar saya memang tinggi, eh.. atau kalian yang terlalu rendah, ya?” Amory kembali menjauhkan wajahnya dari telinga pria itu. Rahang pria itu sudah mengeras, siap untuk tumpahkan sumpah serapah. Tangan pria itu kini melayang, Amory sudah tutup matanya rapat-rapat, menunggu rasa perih dan panas menjalar di pipinya. Namun hingga bermenit-menit berlalu Amory tidak merasakan apapun. Dengan keberanian yang tersisa Amory membuka matanya. Di hadapannya ada seorang pemuda menahan jemari pria itu.

“Lo siapa?!” Pria itu mendengus pelan dan menggeleng. “Gak penting.”

Lalu setelahnya pria itu memutar jemari pria lainnya hingga terdengar suara nyaring seperti suara dari tulang-tulang yang mengalami pergeerakan. Amory menutup kedua matanya, linu itu terasa nyaring di pendengarannya. Selanjutnya teriakan nyaring pria itu terdengar.

Amory tidak menyadari bahwa sejak tadi dirinya telah menjadi perhatian. Seakan sadar akan apa yang baru saja ia lakukan, Amory meneguk ludahnya susah payah. Ia tahu hal apa yang akan ia hadapi setelah ini.

Pria yang menolongnya menatap Amory dengan datar sebelum menghampiri Amory sesaat.

“Jangan pernah mau menjatuhkan harga diri untuk setumpuk uang, sebutuh apapun lo akan uang itu. Harga diri lo lebih dari apapun. Banyak hal lain yang bisa lo lakuin selain jadi bartender disini. Jangan berkorban untuk sesuatu yang gak sebanding.”

Amory menganga. Terkejut bukan main akan penuturan pria itu. Pria itu tersenyum tipis lalu pergi dari hadapannya. Meninggalkan Amory dengan sejuta pertanyaan.

Siapa pria itu? Sial, Amory bahkan tidak sempat berterima kasih dan menanyakan namanya. Amory memang tidak tahu siapa pria yang menolongnya itu. Tapi, siapapun itu, terima kasih. Amory berjanji akan membalaskan jika ia dipertemukan kembali.

Semoga.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Aku telah jatuh hati pada sesosok wanita yang luar biasa hebatnya. Parasnya elok, cantik dan rupawan. Bibirnya selalu menyuarakan kalimat-kalimat positif. Dia tidak suka sepi, dia suka ramai. Dia ceria sekali, cantik, selalu cantik. Dia hebat sekali. Kalau aku disuruh untuk definisikan dia dalam satu kata, rasanya tidak sanggup. Tidak ada satu katapun yang mampu mendefinisikan indahnya sosok gadis manis dengan sejuta pesona ini. Aku menyayanginya, sangat.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Namun dia punya takut. Takut yang tidak terbendung. Aku sial berikan dia rumah paling nyaman dengan segala fasilitas yang memadai. Aku sanggup berikan dia cinta yang selama ini belum pernah ia dapat. Aku siap berikan segala kepunyaanku untuk membuat senyum itu merekah sempurna disana. Namun ia tolak aku, takutnya lebih besar. Sayang dan takutnya saling mendesak pikirannya. Ia sedih, dan menyalahkan dirinya. Ia takut, takut akan sesuatu yang belum tentu atau bahkan tidak akan terjadi. Ia takut berikan luka, karena ia tahu disakiti itu menyakitkan. Lukanya masih basah, tidak pernah diobati, mungkin tidak akan pernah sembuh.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Tapi hey gadis manis, dengarkan aku untuk kali ini. Lukamu, biar aku coba tutupi. Kita tidak perlu menjalin satu komitmen. Kita hanya perlu habiskan waktu seperti yang dahulu. Aku akan tunjukkan pada kamu bahwa kamu lebih dari layak untuk dicintai.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Sakitmu, biar bagi padaku, ya? Cantik, parasmu terlalu indah dan cantik untuk dilukai sebegini hebatnya. Tolong biarkan aku membuktikan diri, biarkan aku masuk. Aku tidak akan pergi. Berikan aku kesempatan untuk membagi setial peluk dan cinta di setiap detik hidupmu, hingga akhir cerita kita usai. Izinkan aku untuk mengukir asa bersama senyum elokmu yang menyertai.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Talita Arabella Adinatha, izinkan aku untuk jadi rumahmu, tempatmu untuk pulang. You deserve me and i deserve you too. Ayo ukir kisah bahagia yang tidak berujung. Aku mencintaimu selalu. Tolong jangan pernah lupakan itu.

Regards, Kallen Clementine.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Aku telah jatuh hati pada sesosok wanita yang luar biasa hebatnya. Parasnya elok, cantik dan rupawan. Bibirnya selalu menyuarakan kalimat-kalimat positif. Dia tidak suka sepi, dia suka ramai. Dia ceria sekali, cantik, selalu cantik. Dia hebat sekali. Kalau aku disuruh untuk definisikan dia dalam satu kata, rasanya tidak sanggup. Tidak ada satu katapun yang mampu mendefinisikan indahnya sosok gadis manis dengan sejuta pesona ini. Aku menyayanginya, sangat.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Namun dia punya takut. Takut yang tidak terbendung. Aku sial berikan dia rumah paling nyaman dengan segala fasilitas yang memadai. Aku sanggup berikan dia cinta yang selama ini belum pernah ia dapat. Aku siap berikan segala kepunyaanku untuk membuat senyum itu merekah sempurna disana. Namun ia tolak aku, takutnya lebih besar. Sayang dan takutnya saling mendesak pikirannya. Ia sedih, dan menyalahkan dirinya. Ia takut, takut akan sesuatu yang belum tentu atau bahkan tidak akan terjadi. Ia takut berikan luka, karena ia tahu disakiti itu menyakitkan. Lukanya masih basah, tidak pernah diobati, mungkin tidak akan pernah sembuh.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Tapi hey gadis manis, dengarkan aku untuk kali ini. Lukamu, biar aku coba tutupi. Kita tidak perlu menjalin satu komitmen. Kita hanya perlu habiskan waktu seperti yang dahulu. Aku akan tunjukkan pada kamu bahwa kamu lebih dari layak untuk dicintai.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Sakitmu, biar bagi padaku, ya? Cantik, parasmu terlalu indah dan cantik untuk dilukai sebegini hebatnya. Tolong biarkan aku membuktikan diri, biarkan aku masuk. Aku tidak akan pergi. Berikan aku kesempatan untuk membagi setial peluk dan cinta di setiap detik hidupmu, hingga akhir cerita kita usai. Izinkan aku untuk mengukir asa bersama senyum elokmu yang menyertai.

︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎︎ ︎Talita Arabella Adinatha, izinkan aku untuk jadi rumahmu, tempatmu untuk pulang. You deserve me and i deserve you too. Ayo ukir kisah bahagia yang tidak berujung. Aku mencintaimu selalu. Tolong jangan pernah lupakan itu.

Regards, Kallen Clementine.

Hari itu langit kelabu tampak mendominasi, persis seperti gundah yang kini tengah dirasa Arthur. Arthur lelah, sangat. Jika bisa, ia ingin meminta agar Tuhan mengambil nyawanya saja. Membiarkan Arthur untuk pergi selamanya dari dunia yang bahkan tidak pernah berpihak barang setitik pun dengannya. Dunianya dipenuhi oleh rasa sakit yang tak berujung. Rumah satu-satunya yang menjadi alasannya untuk bertahan telah runtuh tak bersisa. Tidak ada lagi gunanya untuk bertahan hidup.

Arthur masih harus menjemput Aya dan pada akhirnya melakukan segala yang ayahnya inginkan. Arthur lelah, lelah sekali. Tapi dia tidak punya pilihan lain.

Arthur memandang langit kelabu Bali dengan tatapan pias. Ia mendengus, lalu melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. Ia hanya ingin melampiaskan segala amarah dan segala sesak yang menghimpit dada. Arthur ingin marah pada dunia, dunia yang begitu keji kepadanya. Sampai kapanpun, mata 'bahagia' tidak akan pernah pantas untuk Arthur sandang. Arthur tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya sentuhan dan kasih sayang orang yang paling ia cintai. Itu artinya hidupnya selesai. Raga ini, memang masih ada. Tapi jiwa ini mati, luluh lantah tam bersisa.

Semesta seolah mengerti, mengerti jeritan rasa sakit yang selalu Arthur kumandangkan. Mengerti bahwa Arthur lelah, juga mengerti bahwa hidupnya dipenuhi ketidak adilan. Semesta mengerti, dan oleh sebab itu kejadian yang tak terduga terjadi.

Di tengah hujan dan derai air mata Arthur lajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Arthur tidak tahu, bahwa dari berlawanan arah ada sebuah truk yang melaju kencang. Lalu setelahnya Arthur tidak dapat mengingat apapun. Kejadiannya begitu cepat, sangat cepat.

Dalam rasa sakit yang mendera tubuhnya, ia sempat mengelukan nama Edgar berkali-kali. Suaranya lirih sekali, hampir tak terdengar. Suara gaduh orang-orang tampak mengerubungi mobilnya dan membantu Arthur untuk keluar dari sana. Nafas Arthur terputus-putus. Dadanya sesak, suara orang-orang yang tampak mengerubunginya tak dapat terdengar jelas. Setelahnya kegelapam menyambut.

Arthur, saatnya istirahat ya.

Abishaka berjalan memasuki lobby apartment milik kekasihnya. Saat memasuki lobby, dirinya menemukan satpam juga receptionist yang tampak disekap dengan lakbam menutupi bibirnya. Abishaka tanpa pikir panjang, dirinya langsung menuju lift.

Lift menunjukkan angka 9, yang artinya membutuhkan waktu cukup lama untuk mencapai angka 1. Maka dirinya tanpa pikir panjang bergegas menaiki tangga darurat untuk mencapai lantai 7. Tempat tinggal kekasihnya.

Abishaka menaiki satu persatu anak tangga dengan tergesa. Hingga dirinya sampai pada lantai 7. Ia bergegas melangkahkan tungkainya pada nomor kamar yang telah dihafalnya diluar kepala. 1323.

Begitu tungkainya sampai pada kamar nomor 1323, ia mendapati pintu kamar itu terbuka lebar. Dengan kepanikan luar biasa, Abishaka melangkahkan kakinya memasuki kamar apartment milik kekasihnya.

Abishaka mendapati kamar sang kekasih yang biasa tertata rapih kini berantakan dengan berbagai pecahan kaca dimana-mana. Abi juga mendapati handphone milik sang kekasih yang hancur tak berbentuk.

Abishaka menggertakkan jemarinya erat hingga buku-buku jarinya memutih, rahangnya mengeras disertai kilatan amarah yang mendalam.

Abishaka berusaha untuk tetap berpikir jernih. Ia tidak ingin rasa khawatir dan amarahnya mengontrol dirinya, hingga membuatnya kehilangan kekasihnya. Hingga ia teringat sesuatu. Abishaka bergegas mengirimkan pesan pada group chatnya bersama ketiga temannya.

Gotcha. I'll send you to hell. No one can touch my little one, or they'll die.

tw : kidnapped ; sexual harassment ; blood ; minor character death

Julian Abishaka, lelaki kelahiran april dengan paras bak dewa itu kini tengah mengeraskan rahangnya. Ia lajukan mobil miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Lampu lalu lintas tak lagi ia indahkan, dalam benaknya hanya terpikirkan Riel, Riel, dan Riel.

Abishaka mengumpat keras-keras ketika didapati jalanan cukup padat. Jarak yang membentang antara apartment miliknya dan milik Riel, sang kekasih, membuat perjalannya sedikit lebih lama. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh siapapun yang berani menyentuh sang kekasih baik seujung kuku pun. Ia bersumpah tidak akan mengampuni siapapun yang telah membuat kekasih manisnya ketakutan, apalagi jika kekasihnya terluka.

Julian Abisha dengan otak iblisnya. Ia akan mengirimkan siapapun ke neraka jika ia mendapati sang kekasih yang ia kasihi sepenuh hati terluka atau bahkan hanya tergores sedikit saja.

Notifikasi ponselnya bergetar. Terpampang pesan dari sang kekasih juga dari group chatnya. Hatinya mencelos saat membaca kata demi kata yang sang kekasih ucapkan di ruang obrolannya.

Ditambah lagi kabar yang baru saja diterima olehnya dari teman-temannya, Tama dan Hendery namanya.

Abishaka berjanji tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu hal pada sang kekasih, Riel.

“Gua pastiin lu bakal mati di tangan gua, keparat,” desisnya.

tw : kidnapped ; sexual harassment ; blood ; minor character death

Julian Abishaka, lelaki kelahiran april dengan paras bak dewa itu kini tengah mengeraskan rahangnya. Ia lajukan mobil miliknya dengan kecepatan di atas rata-rata. Lampu lalu lintas tak lagi ia indahkan, dalam benaknya hanya terpikirkan Riel, Riel, dan Riel.

Abishaka mengumpat keras-keras ketika didapati jalanan cukup padat. Jarak yang membentang antara apartment miliknya dan milik Riel, sang kekasih, membuat perjalannya sedikit lebih lama. Dalam hati ia bersumpah akan membunuh siapapun yang berani menyentuh sang kekasih baik seujung kuku pun. Ia bersumpah tidak akan mengampuni siapapun yang telah membuat kekasih manisnya ketakutan, apalagi jika kekasihnya terluka.

Julian Abisha dengan otak iblisnya. Ia akan mengirimkan siapapun ke neraka jika ia mendapati sang kekasih yang ia kasihi sepenuh hati terluka atau bahkan hanya tergores sedikit saja.

Notifikasi ponselnya bergetar. Terpampang pesan dari sang kekasih juga dari group chatnya. Hatinya mencelos saat membaca kata demi kata yang sang kekasih ucapkan di ruang obrolannya.

Ditambah lagi kabar yang baru saja diterima olehnya dari teman-temannya, Tama dan Hendery namanya.

Abishaka berjanji tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika terjadi sesuatu hal pada sang kekasih, Riel.

“Gua pastiin lu bakal mati di tangan gua, keparat,” desisnya.

Jam pulang sekolah telah berkumandang. Jam pelajaran terakhir diisi oleh mata pelajaran matematika peminatan. Sontah, setelah bel berkumandang, seisi kelas bersorak gembira. Sang guru pun bergegas keluar ruangan kelas. Aidan menatap arlojinya yang kini jarum pendeknya mengarah ke angka 3. Ia bergegas membereskan semua perlengkapan miliknya.

Aidan keluar kelas diikiti oleh Jaylen, sepupunya. Keduanya memang cukup dekat, selain satu kelas, mereka juga satu tongkrongan. Rasa-rasanya hampir tidak ada rahasia antar keduanya. Karena dibandingkan ke Jeffrey dan Chello, Aidan sendiri lebih banyak menumpahkan keluh kesahnya pada saudaranya ini. Wajah yang hampir mirip, membuat mereka kerap kali dikira anak kembar. Tidak apa, baik Jaylen maupun Aidan tidak memprotes. Mereka hanya akan tersenyum menanggapi.

Jaylen dan Aidan terpaut 8 bulan, dimana Jaylen lebih muda dari pada Aidan. Dari segi dewasa pun, Aidanlah yang paling dewasa. Tidak usah diragukan lagi. Aidan memang dituntut untuk menjadi dewasa, terutama oleh sang ayah. Katanya, laki-laki itu harus kuat, enggak boleh menangis, bahunya harus sekuat baja, sabarnya seluas samudera. Begitulah karakter Aidan terbentuk. Aidan yang dingin pada orang lain, Aidan yang mampu melakukan apa saja, Aidan yang totalitas dalam setiap apapun yang ia perbuat, dan lagi Aidan dengan sejuta pesona itu hanya jatuh pada satu sosok saja. Aidan tidak menuntut perasaannya terbalas, Aidan tidak juga cemburu akan setiap kedekatan sang sahabat, baginya berada dekat sang sahabat lebih dari cukup. Setidaknya ia tahu, bagi keduanya, eksistensi satu sama lain sama-sama prioritas. Tidak ada yang dapat menyanggah itu.

“Pulang nganter Raskal lagi?” Seperti biasa, Jaylen sejujurnya tahu apa jawaban dari sang sepupu, ia hanya akan memastikan.

Aidan mengangguk tanpa berniat mengalihkan atensinya dari depan. Jaylen mengerti, lalu tangannya terulur untuk merangkul sang sepupu, “Kenapa lu gak coba deketin in romantic way aja sih? Padahal gua yakin kalian sama-sama saling suka. I mean, kalian sama-sama gabisa kepisah kan? Kalian bener-bener saling membutuhkan.”

Aidan menghentikan langkahnya, ia tersenyum samar, sebelum menjawab pertanyaan Jaylen, “If we're meant to be, mau segimanapun dia deket sama orang pasti ujungnya bakal sama gua, Jay. Tapi, kalau emang dia bukan buat gua, mau gua paksa gimanapun, ujungnya bakal pisah juga. Gua enggak pasrah, cuman ikutin alur yang ada. Mungkin ya, mungkin suatu saat gua sama dia bakal nyatu. Biar waktu aja yang jawab. Untuk sekarang, ngeliat dia kayak gini, dan ada di setiap masa pertumbuhan dia aja udah lebih dari cukup, Jay.”

Jaylen dibuat bungkam seribu bahasa. Rasa-rasanya lidahnya terasa kelu untuk sekedar menjawab penuturan sang sepupu. Senyum kecil terpantri dari bibir tipisnya. Ia menyakini, ralat, hampir seluruh anggota keluarga kedua keluarga itu meyakini bahwa pada akhirnya keduanya akan bersama. Tinggal menunggu waktu saja, kapan keduanya mulai melangkahkan kedua kakinya pada satu tujuan yang sama.

Jaylen kini telah sampai pada koridor tempat kelas sang pacar bersemayan. Ia menepuk pundak Aidan dua kali sebagai gesture perpisahan, yang tentu dimengerti oleh Aidan. Aidan mengangguk lalu keduanya berpisah. Aidan kembali berjalan ke gedung A, tempat dimana gedung IPS berada. Sekolah mereka memang terdiri dari 3 gedung berbeda. Gedung IPA, IPS, dan Bahasa. Di tengahnya disambungkan oleh satu lapangan outdoor yang sama. Tempat dimana ketiga jurusan itu melangsungkan upacara setiap seninnya.

Jarak dari gedung IPA ke gedung IPS sejujurnya cukup jauh. Namun lagi, Aidan tidak masalah. Ia senang dapat menjemput sang sahabat setiap harinya. Bahkan tak jarang, ia ikut mengantar sang sahabat. Sang sahabat pun tidak pernah melayangkan protes. Keduanya merasa nyaman dan aman pada posisi seperti ini. Selalu, selalu nyaman. Bahkan jika Aidan harus mengitari lapangan selama 100 putaran hingga kakinya rasanya mau copot dari tempat, rasa-rasanya ia tak keberatan. Ini semua perkara prioritas, bagi Aidan presensi Raskal dalam hidupnya lebih berharga dari apapun. Prioritas, Raskal adalah prioritas Aidan.

Aidan semakin dekat ke kelas Raskal. 10 IPS-1. Ketika langkahnya telah memasuki koridor kelas Raskal, dimana kelas Raskal sendiri berada di Lantai 3, tepatnya di kelas paling ujung. Aidan dapat melihat tubuh tegap milik Raskal dari ujung tempatnya berdiri. Seulas senyum kembali terpantri dari belah bibirnya. Lelaki Agustus itu tengah berbincang dengan sejumlah wanita, beserta kedua sahabatnya di sebelahnya. Entah membahas apa, tawa yang menguar indah dari bibir ranumnya membawa Aidan pada perasaan senang juga juga tenang yang tiada henti. Aidan tidak cemburu, sama sekali tidak. Aidan justru merasa senang, Raskal sangat cantik dengan tawa itu. Ia bahkan rela melawan dunia dan segala isinya untuk membuat sang sahabat tersenyum tanpa beban seperti itu.

Sepanjang tungkainya berjalan, tak jarang sapaan menyapa pendengarannya. Aidan tidak menjawab, kepalang malas. Selalu begitu, Aidan dengan ekspresi datar dan dinginnya kepada semua orang, akan sangat berbeda ketika dihadapkan kepada sesosok pria diujung sana. Raskal dan sejuta pesonanya, telah membuat Aidan jatuh sangat dalam, bahkan sejak pertama kali kedua obsidian itu bertubrukan.

Netra Raskal yang semula tertuju pada gadis-gadis di hadapannya, kini berpindah pada sahabat kecilnya. Senyumnya menguar lebih lebar dari sebelumnya. Seperti sudah menjadi tontonan umum melihat kedekatan keduanya.

“Hahahaha iya bener banget anjir, gue sumpah dah enggak sangka ternyata si ibu begitu. Ah gila emang gak jelas banget tap—AI! SINII!” Ucapan Raskal terpotong begitu saja.

Ketiga gadis beserta dua anak adam yang tengah berbincang kini menatap arah pandangan Raskal. Netra Raskal langsung berbinar setiap kali mata hazelnya bersitatap dengan mata onyx milik sang sahabat.

Gadis-gadis itu memutar bola mata malas, seolah aksi modusnya digagalkan oleh kedatangan manusia dari jurusan sebelah, sedang Haden dan Rasya hanya dapat menahan tawa melihat gadis-gadis yang tampak merajuk itu. Raskal sendiri sudah tidak memperdulikan eksistensi teman-temannya. Saat ini netranya hanya tertuju pada satu sosok, sosok Aidan seorang.

Aidan berlari kecil, hingga kedua tungkainya telah sampai dihadapan sang sahabat.

“Mau balik sekarang apa entaran?” Tanya Aidan.

Raskal menimbang-nimbang, tidak ada yang hendak ia kerjakan juga sih, jadi ia pikir pulang sekarang serta menikmati hidangan mami akan terasa lebih nyaman.

“Sekarang aja. Tunggu ya, gua ambil tas dulu di dalem. Lagian lu lama banget dari tadi. Lumutan gua nungguinnya.” Omel Raskal.

Ketiga gadis itu entah kenapa sudah tidak berada di tempatnya. Raskal bahkan lupa, kapan ketiga gadis itu pergi dari tempatnya. Raskal tidak mau ambil pusing, ia segera bergegas ke dalam mengambil tas miliknya.

Haden dan Rasya masih disana, berbincang satu sama lain. Sesekali kedunya melayangkan lirikan yang entah artinya apa. Aidan sih tidak ingin ambil pusing. Ia memilih bersandar pada tembok depan kelas Raskal sambil memainkan ponselnya, guna mengusir rasa bosan.

“Sayang banget ya lu sama Raskal?” Suara Haden tampak menginterupsi aktivitasnya berselancar di media sosial miliknya.

Aidan mengangkan alisnya satu, pertanda bingung dengan arah pembicaraan Haden. Haden hanya tersenyum tipis.

“Kayaknya gak usah gua jawab juga lu tau deh jawabannya.” Aidan menimpali. Ia segera memasukkan ponsel miliknya ke saku celana seragam abu-abunya.

Rasya tampak menanggapi, “Jujur nih ya dan, gua tuh beneran greget sama lu berdua. Yang satu dingin banget mana gak pernah pacaran, nolak orang kasar banget setiap di tembak. Yang satu lagi, deman amat gonta ganti pasangan. Tapi selalu putus dengan alesan klasik, selalu karena gasuka orang itu membatasi ruang gerak lu sama dia. Bener-bener aneh. Kenapa sih lu berdua gak jadian aja, biar bucinnya enak.” Rasya menyuarakan isi hatinya yang entah sejak kapan telah bersarang di benaknya.

Aidan tersenyum kecil, kecil sekali sampai Haden dan Rasya tidak menyadarinya, “Pertanyaan yang sering gua dapet dari banyak orang sih ini. Tapi jawaban gua masih sama, If we're meant to be, mau sejauh apapun akhirnya ya bakal bareng. Tapi kalo enggak, ya mau gua paksa gimana juga, akhirnya bakal sama, akhirnya gua bakal tetep gabisa sama dia. Jadi gua cumab harus jalanin apa yang depan mata gua. Urusan itu nanti aja, gua juga belum mikir kesana. Presensi dia aja udah lebih dari cukup buat gua.”

Haden dan Rasya lagi-lagi tertegun. Keduanya menggelengkan kepalanya, terlampau tidak mengerti dengan cara berpikir pria di hadapannya. Lalu keduanya mengangguk, tidak dapat menanggapi lebih lanjut, karena apa yang diucapkan Aidan ada benarnya.

Belum sempat Rasya kembali berucap, tiba-tiba Raskal telah kembali dari dalam kelas, “Ai! Ayo pulang. Mau makan di rumah aja tapi, mami masak kan ya? Bibi Yuna tadi gua suruh engga usah masak, soalnya pengen makan masakan mami.”

Aidan mengangguk, ia mengusak rambut hitam legam milik Raskal, sebelum mengulas sebuah senyum lebar, “Iya, mami masak kok. Yaudah, yuk. Tar kesorean, gua masih harus pergi buat kumpul club basket soalnya.”

Raskal tampak berbinar, “Kumpul lagi? Mau ikut boleh?”

Siapa Aidan dapat menolak tatapan penuh binar harapan di hadapannya? Tidak mungkin juga ia dapat menolaknya. Dengan itu, ia mengangguk tanda menyetujui. Lalu keduanya berpamitan kepada Rasya dan Haden, sebelum melangkahkan kakinya menuju ke parkiran sekolah.

“Haden, Rasya, gua duluan ya! Kalian hati-hati baliknya.” Ucap Raskal.

“Duluan ya Den, Ras.” Ucap Aidan setelahnya.

Sejujurnya pemandangan seperti ini bukan lagi pemandangan yang asing. Kedekatan keduanya sudah menjadi perbincangan cukup panas sejak keduanya menjalani ospek pada awal masuk SMA. Sudah banyak bahkan orang-orang yang berharap keduanya dapat menjalin asmara. Bahkan base sekolah tak jarang membahas perihal kedekatan keduanya.

Namun kembali lagi, Aidan dan Raskal belum sampai pada titik itu. Keduanya masih berusaha menyelami rasa yang mereka miliki. Berusaha meyakinkan diri, entah apa yang akan membawa keduanya pada satu kesadaran, bahwa hakikatnya, keduanya saling mencintai. Biar waktu yang menjawab.