Ello

For the boy I love the most, thank you for coming into my life and making me feel alive. Thank you for becoming my muse. Finally, after all this time, I found my muse again.

This is my first writing after a while. Back then i had feeling the difficulty of carving every hope into strings of words and for the first time I came back to write words for a beautiful boy I adore. I never imagined that there would be a day when I could feel loved and be loved again. I also never thought that it could be this happy. He is lovely and her behavior is adorable. I want to love him with all my breath. I want to give the world to her if I can. I want to love her, embrace her body when tired of whacking, to say a thousand compliments to her. He is gorgeous and his beauty can't be described in words. The beauty feels like it can make me stunned.

He looks pretty, beautiful in demeanor and speech. I never planned to fall under his charms, not at all. I also never planned to like him. Even the thought of loving him back never crossed my mind. I thought that I wouldn't be able to return his affection and love. However, now I'm standing in front of his house, knocking on his door and bringing his favorite cakes. I am still here waiting for him. Hoping he will open it with a smile on his pretty face. A stunning smile that I usually see. The dazzling smile that is as beautiful as the morning sun and the sunset that I always see every evening.

His laugh always makes me feel more alive. I hope this feeling lasts as long as I can. I wish I could be with him, love and take care of him, and watch him grow into a wonderful girl. I am hoping that one day our hearts will be anchored. I want to take care of him and heal every wound. This taste is very foreign, but I like it. I hope he likes me as much as I like him. I hope this feeling lasts forever, at least for a long time.

You are my muse to return to strings of each line of words to form one sentence full of happiness. I feel grateful to know you. Thank you for being born and let me spend my time with you. I adore you more than you ever imagined.

Melbourne, 2021.

Hari ini menjadi hari terakhir dimana Jaemin akan menginjakkan kaki di kota kecintaannya, Melbourne. Jaemin mendesah frustasi, pasalnya kepindahannya kembali ke Indonesia tanpa adanya persetujuan dari dirinya dan juga sang adik, Winter. Baik Winter maupun Jaemin sama-sama menolak dengan keras kepindahan keluarganya kembali ke Indonesia. Namun keduany tidak dapat menolak ketika sang ibunda telah turut membujuk.

“Yaelah kusut amat mukanya kayak belum disetrika setaun tau gak. Udeh sih, tar gue kesana deh main. Lagian lu gausah kayak orang susah deh. Lu bisa bolak balik Ausie-Indo tiap bulan kalo lu mau,” Cerocos seorang pria yang tampak muak dengan muka Jaemin yang kusut.

“Anjing lah, bin. Lu emang bukan temen suportif dah. Gua lagi butuh support system bukannya omelan gak mutu,” gerutunya.

Soobin hanya tertawa mendengar gerutuan sahabatnya membuat lesung pipi di wajahnya terlihat jelas.

“Udah santai lu gausah banyak mikir tar kuliah lu balik sini juga gak bakal ada yang larang. Chill man, just two years. Gaakan kerasa juga lagian.”

Jaemin hanya memutar bola matanya malas. Jemarinya meraih kamera miliknya, pemberian mending kakeknya saat Jaemin berulang tahun yang ke 16 tahun lalu. Jaemin melihat kumpulan foto-foto hasil jepretannya selama di Melbourne. Jaemin memang telah menggeluti dunia fotografi sejak dirinya menginjak usia tujuh tahun. Hal ini didukung sepenuhnya oleh kakek nenek dan juga ayah ibunya. Bahkan sang ayah memberikan satu ruangan khusus untuk Jaemin menaruh hasil jepretannya seperti studio mini.

Soobin turut membaringkan dirinya di samping Jaemin, sahabatnya.

“I’m gonna miss you.”

Jaemin yang tengah melihat-lihat foto hasil jepretannya di kamera miliknya pun beralih menatap sahabat karibnya. Soobin dan Jaemin selayaknya kucing dan anjing kalau kata teman-temannya. Namun keduanya saling menjaga satu sama lain. Soobin yang lebih banyak bersosialisasi dan Jaemin yang lebih senang berkumpul dengan kelompok kecil. Soobin sendiri merupakan tetangga Jaemin yang kebetulan satu sekolah dengan Jaemin saat pertama kali Jaemin pindah ke Melbourne, saat itu keduanya menduduki kelas 3 SD. Dari sanalah Jaemin dan Soobin selalu bersama. Dan gari ini akan menjadi hari terakhir pertemuan keduanya. Tentu perasaan sedih sangat terasa.

“Me too.”

“Huhu ah gilaa pokoknya lu jangan gak ngabarin gue! Jangan biasain gak buka HP kayak disini! Awas lu anjinggg. Sering-sering face time sama gue apalagi kalo ada apa-apa. Paham gak lu?!?!?!” Seru Soobin.

Jaemin hanya tertawa lalu menganggukkan kepalanya. Keduanya menikmati hari terakhir Jaemin di Melbourne itu. Bahkan hari itu Soobin sampai menginap. Katanya sih Soobin malas pulang ke rumahnya karena sepi, sedangkan disini ada Winter dan Jaemin. Padahal Jaemin tau betul bahwa sahabatnya itu mau menghabiskan waktu bersamanya, namun gengsi untuk mengutarakannya. Kepalang hafal dengan sifat sahabatnya yang memiliki gengsi setinggi harapan orangtua.

Hari terakhir itu keduanya habiskan dengan menonton film, bermain PS, lalu diakhiri dengan pillow talk sebelum tidur. Keduanya tidak berani minum-minum karena sungguh Ayah Jaemin sangat ketat menjaga anak-anaknya. Kebetulan baik Jaemin maupun Soobin pun kurang menyukai minum-minuman beralkohol karena toleransi alkohol keduanya sangat rendah.

Jadi disinilah keduanya kini, dengan balutan piyama milik Jaemin, Jaemin dan Soobin tampak berbincang ringan.

“I’ll miss Melbourne so much.”

“Melbourne gonna miss you too.”

Keduanya saling terdiam hingga akhirnya tertawa bersama karena sungguh semasa hidup mereka belum pernah mereka habiskan dengan keadaan yang begitu menguras hati seperti saat ini.

“Nanti pokoknya gue bakal sering kunjungin lu ya. Bare with me.

Jaemin tertawa kecil, “Dengan senang hati. Si paling kaya emang bolak balik Indonesia Melbourne kayak Sydney Melbourne.”

Soobin memutar bola matanya malas, “NGACA!!!”

Ya begitulah akhir yang indah bagi Jaemin untuk menutup harinya di negara kangguru kecintaannya. Setelah ini semoga Indonesia membawa cerita baru yang tidak kalah baik ya. Semoga.

Melbourne, 2021.

Hari ini menjadi hari terakhir dimana Jaemin akan menginjakkan kaki di kota kecintaannya, Melbourne. Jaemin mendesah frustasi, pasalnya kepindahannya kembali ke Indonesia tanpa adanya persetujuan dari dirinya dan juga sang adik, Winter. Baik Winter maupun Jaemin sama-sama menolak dengan keras kepindahan keluarganya kembali ke Indonesia. Namun keduany tidak dapat menolak ketika sang ibunda telah turut membujuk.

“Yaelah kusut amat mukanya kayak belum disetrika setaun tau gak. Udeh sih, tar gue kesana deh main. Lagian lu gausah kayak orang susah deh. Lu bisa bolak balik Ausie-Indo tiap bulan kalo lu mau,” Cerocos seorang pria yang tampak muak dengan muka Jaemin yang kusut.

“Anjing lah, bin. Lu emang bukan temen suportif dah. Gua lagi butuh support system bukannya omelan gak mutu,” gerutunya.

Soobin hanya tertawa mendengar gerutuan sahabatnya membuat lesung pipi di wajahnya terlihat jelas.

“Udah santai lu gausah banyak mikir tar kuliah lu balik sini juga gak bakal ada yang larang. Chill man, just two years. Gaakan kerasa juga lagian.”

Jaemin hanya memutar bola matanya malas. Jemarinya meraih kamera miliknya, pemberian mending kakeknya saat Jaemin berulang tahun yang ke 16 tahun lalu. Jaemin melihat kumpulan foto-foto hasil jepretannya selama di Melbourne. Jaemin memang telah menggeluti dunia fotografi sejak dirinya menginjak usia tujuh tahun. Hal ini didukung sepenuhnya oleh kakek nenek dan juga ayah ibunya. Bahkan sang ayah memberikan satu ruangan khusus untuk Jaemin menaruh hasil jepretannya seperti studio mini.

Soobin turut membaringkan dirinya di samping Jaemin, sahabatnya.

“I’m gonna miss you.”

Jaemin yang tengah melihat-lihat foto hasil jepretannya di kamera miliknya pun beralih menatap sahabat karibnya. Soobin dan Jaemin selayaknya kucing dan anjing kalau kata teman-temannya. Namun keduanya saling menjaga satu sama lain. Soobin yang lebih banyak bersosialisasi dan Jaemin yang lebih senang berkumpul dengan kelompok kecil. Soobin sendiri merupakan tetangga Jaemin yang kebetulan satu sekolah dengan Jaemin saat pertama kali Jaemin pindah ke Melbourne, saat itu keduanya menduduki kelas 3 SD. Dari sanalah Jaemin dan Soobin selalu bersama. Dan gari ini akan menjadi hari terakhir pertemuan keduanya. Tentu perasaan sedih sangat terasa.

“Me too.”

“Huhu ah gilaa pokoknya lu jangan gak ngabarin gue! Jangan biasain gak buka HP kayak disini! Awas lu anjinggg. Sering-sering face time sama gue apalagi kalo ada apa-apa. Paham gak lu?!?!?!” Seru Soobin.

Jaemin hanya tertawa lalu menganggukkan kepalanya. Keduanya menikmati hari terakhir Jaemin di Melbourne itu. Bahkan hari itu Soobin sampai menginap. Katanya sih Soobin malas pulang ke rumahnya karena sepi, sedangkan disini ada Winter dan Jaemin. Padahal Jaemin tau betul bahwa sahabatnya itu mau menghabiskan waktu bersamanya, namun gengsi untuk mengutarakannya. Kepalang hafal dengan sifat sahabatnya yang memiliki gengsi setinggi harapan orangtua.

Hari terakhir itu keduanya habiskan dengan menonton film, bermain PS, lalu diakhiri dengan pillow talk sebelum tidur. Keduanya tidak berani minum-minum karena sungguh Ayah Jaemin sangat ketat menjaga anak-anaknya. Kebetulan baik Jaemin maupun Soobin pun kurang menyukai minum-minuman beralkohol karena toleransi alkohol keduanya sangat rendah.

Jadi disinilah keduanya kini, dengan balutan piyama milik Jaemin, Jaemin dan Soobin tampak berbincang ringan.

“I’ll miss Melbourne so much.”

“Melbourne gonna miss you too.”

Keduanya saling terdiam hingga akhirnya tertawa bersama karena sungguh semasa hidup mereka belum pernah mereka habiskan dengan keadaan yang begitu menguras hati seperti saat ini.

“Nanti pokoknya gue bakal sering kunjungin lu ya. Bare with me.

Jaemin tertawa kecil, “Dengan senang hati. Si paling kaya emang bolak balik Indonesia Melbourne kayak Sydney Melbourne.”

Soobin memutar bola matanya malas, “NGACA!!!”

Ya begitulah akhir yang indah bagi Jaemin untuk menutup harinya di negara kangguru kecintaannya. Setelah ini semoga Indonesia membawa cerita baru yang tidak kalah baik ya. Semoga.

Allen menyusuri lantai rumah sakit dengan tergesa-gesa. Air matanya kini telah berkumpul di pelupuk matanya, siap untuk turun kapan saja. Tangannya bergetar hebat. Rasanya pasokan oksigen tak lagi ia rasa. Sesak, sesak sekali rasanya. Allen tidak sanggup. Tolong bilang padanya bahwa semua ini hanya mimpi buruknya. Ketika ia bangun— ia akan kembali temukan senyum bulan sabit milik sang terkasih.

“No.. please stay…” Allen terus rapalkan kalimat ini tanpa henti.

Tungkainya berhenti ketika ia mendapati sebuah ruang operasi. Lampu ruangan itu masih menyala, tanda operasi masih terus berlangsung. Kedua tungkai milik pemuda manis itu melemas. Rasanya Allen sudah tidak lagi mampu untuk menopang bobot tubuhnya. Hancur sudah pertahanan dirinya. Marko duduk di ujung sana, ia meremat kuat rambut miliknya. Haikal terdiam di sisi lainnya. Menatap sahabat dan pacarnya bergantian. Diam-diam mendoakan semoga calon adik iparnya itu bisa kembali sehat.

“Gagal jantung,” suara berat Marko tiba-tiba masuk ke pendengaran Allen.

“H-hah?” Allen tidak tuli, ia dengar dengan jelas apa yang Marko katakan. Namun sisinya yang lain enggan untuk percaya. Ia merasa pendengarannya kini bermasalah. Ia sangat yakin itu.

“Gagal jantung, len. Edgar menderita gagal jantung. Sudah sejak dia kecil. Baru ketahuan pas dia usia 4 tahun. Sudah banyak prosedur yang dilakukan, ini adalah operasi terakhirnya. Keberhasilannya kecil sekali, hanya 15%.”

Mendengar itu, Allen merasa dunianya hancur tak bersisa. Bagaimana bisa Allen tidak mencari tahu alasan mengapa Edgar enggan berolah raga. Bagaimana bisa, Allen tidak mempertanyakan obat-obatan yang kerap kali Edgar konsumsi. Bagaimana bisa, ia mempercayai ketika Edgar bilang bahwa dirinya tidak enak badan, padahal bibirnya pucat sekali, disertai dengan keringat dingin yang membasahi pelipisnya. Bagaimana bisa— Allen tak menyadari hal ini. Allen merasa bodoh, bodoh sekali. Allen meremat rambutnya kuat, ia tarik-tarik rambut miliknya. Kini Allen menangis histeris setelah mendengar penuturan abang dari kekasihnya itu.

Dua tahun sudah keduanya berpacaran. Tak pernah sekalipun Allen tanyakan mengenai kejanggalan yang kerap ia rasa. Ia mempercayai semua tutur manis nan menenangkan sang terkasih.

“ALLEN STOP! INI BUKAN SALAH LO!!” Haikal menahan jemari mungil Allen yang terus layangkan pukulan pada dirinya sendiri.

“SALAH GUE! KENAPA GUE GOBLOK BANGET KAL.. KENAPA?!”

Haikal diam, ia rengkuh tubuh ringkih itu dengan kuat. Allen yang semula memberontak perlahan pukulannya memelan, hingga tidak ada lagi pukulan yang Haikal rasa sebagai wujud pemberontakan sahabatnya itu. Kini yang tersisa hanya isakan dan tangisan pilu sahabatnya, Allen.

“Edgar itu, sayang sekali sama lo, Len,” Marko bersuara tanpa menatapnya.

“Penyakit Edgar itu karna faktor keturunan. Mami juga meninggal karena gagal jantung. Hal itu yang buat papi pergi ke luar negri dan hanya kirimkan kami uang saja. Terutama saat tahu kondisi Edgar. Papi semakin gencar bekerja. Papi tidak pernah menyukai kehadiran Edgar. Mami meninggal saat usia Edgar 4 tahun. Edgar kecil tidak tahu apapun. Ia mengajak mami bermain. Edgar kecil gak tahu soal sakit mami. Edgar ajak mami main ke taman bermaon. Edgar berdua bersama mami saat itu. Mami kelelahan, terlalu capek saat itu. Sampai akhirnya drop, dan berakhir meninggal dunia. Papi marah sekali. Papi kurung Edgar di gudang sebagai bentuk kemarahannya. Usia gue disitu masih 5 tahun. Gue cuman bisa nangis. Tapi begitu gue gak denger lagi suara Edgar minta tolong, gue panik. Gue panggil mbak yang biasa jaga gue dan Edgar selama ini. Akhir dibukain. Dan lo tau apa yang gue liat?”

Allen tidak bergeming, ia masih diam dalam rengkuhan hangat Haikal.

Marko menghembuskan nafas gusar, “Edgar lagi megang dadanya dan dia udah gak sadarkan diri. Pas dibawa ke dokter ternyata gagal ginjal,” Marko terkekeh miris.

“Edgar udah lama mau menyerah, Len.”

Allen dongakkan kepalanya tatap kakak dari kekasihnya yang kini tampak sama kacaunya dengannya.

“Dia mau menyerah, tapi kehadiran lo di hidup dia bikin dia semangat. Dia sering banget bilang pengen ketemu mami aja. Tapi sejak lo ada, dia gak lagi berfikiran begitu. Dia mau berjuang, ya buat lo juga.”

Senyum Marko terbit, sebelum akhirnya sirna begitu saja, “Tapi kemarin itu batasnya dia, Len. Dia akhirnya menyerah. Dia capek berjuang. Kalau hasilnya nanti engga sesuai harapan.. ikhlas ya, Len?”

Allen gelengkan kepala kuat, “ENGGAK! EDGAR PASTI SELAMAT! YA KAN KAL? JAWAB IYA!!”

Haikal hanya bisa tertunduk.

“LU DENGER GUA GAK?! KOK DIEM?!”

Tangis Allen pecah saat itu juga. Rasanya dunianya benar-benar sudah hancur.

Hanya 15% tapi Allen sangat berharap Edgar bertahan. Allen mencintai Edgar lebih dari apapun yang ia miliki. Kehilangan Edgar berarti kehilangan setengah dari dirinya. Allen tidak akan pernah ikhlas dan Allen tidak akan pernah bisa hidup tanpa Edgar.

Keluarganya sudah hancur, tidak ada yang pernah menyayanginya setulus Edgar. Lantas— jika Edgar juga pergi, Kemana Allen harus bersandar? Kemana Allen harus ‘pulang’ jika ‘rumahnya’ sudah tidak ada.

“Edgar.. please stay.. please,” bisiknya lirih.

‘Atau kalau mau pergi, tolong ajak aku. Perginya sama aku. Aku gak mau sendirian..’ batin Allen.

cw // kissing, 🔞.

“Mana makanannya?”

“Maafin dulu dong, baru dikasih.”

“Yaudah gausah.”

“Yakin?”

“Iya.”

Genta tidak habis akal untuk mendapat permintaan maaf dari sang kekasih. Ia kemudian memeluk Atlas dari belakang, kemudian ia menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Atlas. Dalam dekapannya— Atlas meronta. Sejujurnya ia sudah luluh sejak awal, hanya saja gengsinya terlalu tinggi. Ia tidak mau terlihat ‘mudah luluh’ dihadapan sang sahabat yang merangkap kekasihnya kini.

“Maaf dong.. ya ya ya?” Genta menunjukkan wajah semelas mungkin.

Atlas tak bergeming, merasa tidak diperhatikan, Genta mengecupi leher Atlas, kemudian ia menjilati leher jenjang kekasihnya, diakhiri berikan sedikit gigitan disana. Tak sampai disitu, Genta juga menjilati daun telinga sang kekasih, membubuhi kecupan di area sensitif kekasihnya itu.

“Ahhk.. Genta.. stop, please?”

“Gak mau, sebelum kamu maafin aku.”

Atlas sekuat tenaga menahan desahannya. Atlas itu sangat sensitif sekali, dan Genta tau itu. Atlas kini dibuat frustasi akan tingkah sang dominan.

Sshh— Fine! Aku maafin, tapi stop please?

Genta segera menghentikan aktivitasnya, kemudian tertawa kecil melihat wajah sang kekasih yang memerah.

“Muka kamu merah.”

“Diem atau aku usir?”

“Make me.”

Dengan satu kalimat itu, Atlas meraup habis bibir sang kekasih. Ciuman yang terkesan berantakan, namun Genta sangat menyukainya. Genta membiarkan Atlas menyaluan nafsunya dan mendominasi pangutan mereka. Kedua tangan Atlas melingkar di leher kekasihnya, menekan tengkuk sang terkasih untuk memperdalam lumatannya. Sedangkan kedua jemari besar milik Genta menangkup pipi gembil milik sang kekasih. Keduanya menikmati pangutan yang kian lama kian panas. Merasa bahwa Atlas sedikit kualahan, Genta dengan senang hati mengambil alih pangutan panas itu. Genta menggigit bibir bawah Atlas, meminta Atlas untuk memberinya akses. Atlas pun membuka celah bibirnya, membiarkan lidah Genta masuk, mengabsen barisan gigitnya yang rapih. Pangutan itu kian memanas— hingga saliva turun dari entah milik siapa, menuruni dagu hingga ke leher keduanya.

Setelah dirasa oksigen menipis, Atlas menjadi orang pertama yang memberikan isyarat pada Genta untuk melepaskan pengutannya. Atlas menepuk dada Genta perlahan. Keduanya secara perlahan menjauhkan bibir masing-masing, lalu meraup oksigen dengan rakus.

Netra legam milik Genta bersibobrok dengan netra hazel milik Atlas. Netra legam itu menatap sang kekasih yang kini tampak berantakan, wajah kekasihnya yang memerah, disertai bibirnya yang membengkak. Jangan lupakan bekas saliva yang tersisa di dagu hingga bibirnya. Genta terkekeh kecil— lalu ia mengusap bibir ranum itu, mengecupnya sekali, dan menghapus bekas saliva yang turun hingga leher Atlas.

“Cantik, selalu cantik.”

“Gausah gombal.”

“Kan katanya udah dimaafin loh, masa ngambek lagi?”

“Dibilang diem!”

“Haha iya iya. Mau makan happy meal nya dulu enggak? Yuk?”

Atlas mengangguk kecil, setelahnya Genta mengangkat tubuh yang lebih kecil darinya itu dan membawanya ke dapur. Refleks Atlas melingkarkan tangannya di leher sang kekasih.

“Nih dimakan. Apa mau disuapin?”

“Suapin.”

“Yang kayak gini bilangnya engga suka? Eh emang ga suka sih— tapi sayang kan? Apa cinta?”

“Bisa jangan bahas lagi gak?” Atlas mengerucutkan bibirnya sebal.

“Hahahahha iya iya maaf ya cantik ya.”

Ini bukan pertama kali Genta memujinya, namun efeknya tetap sama. Rasanya seperti jutaan kupu-kupu menggelitik perutnya.

“Ta..”

“Hm?”

“I love you.”

“I know.”

“KOK BALESNYA GITU DOANG?!”

Genta mendengus geli, “Becanda sayang. I love you more, little one.

Bel tanda istirahat telah berlangsung berkumandang. Mendengar itu— anak anak tampak bersorak gembira. Pelajaran Ms. Citra selesai begitu bel berbunyi. Jaemin masih diam di tempat duduknya. Ia menatap ponselnya yang menunjukkan percakapannya dengan tiga teman barunya. Rupanya sekolah pilihan sang ayah tidak buruk, bahkan ini hampir sama dengan sekolah lamanya di Australia. Mungkin yang membedakan hanya satu— Jaemin tak menemukan eksistensi si berisik Sunwoo disini.

“Hello, Jaemin kan?”

Jaemin menautkan alisnya bingung, sesosok pria bertubuh besar tampak menghampirinya. Jaemin tersenyum kecil, tanpa berniat menyambut uluran tangannya.

“Ya lu udah denger perkenalan diri gua tadi kan?”

Lelaki itu tampak menarik kembali tangannya, melalui ekspresi wajahnya— Jaemin dapat mengetahui bahwa lelaki ini menahan amarannya. Terlihat melalui sorotan tajamnya yang pada awalnya tampak sangat sombong dan tengil.

“Gua Lucas btw, Salam kenal. Bakal lebih baik kalau kita jadi temen kan?”

“Tapi gua gamau jadi temen lu tuh.”

Hampir. Hampir saja Lucas menarik kerah anak baru yang bernama Jaemin itu, jika saja Haechan tidak datang dan langsung menyenggol bahunya keras sekali.

“Kenapa liat-liat? Gak suka? Lagian ngapain lu deketin Jaemin. Sono pergi!”

Lucas berdecak keras, lalu ia bergegas pergi dari tempatnya, ralat, tempat Jaemin.

“Lo gak di apa-apain kan?”

Jaemin menggeleng, “Enggaklah, santai aja. Orang tengil kaya gitu mah kecil.”

Yangyang dan Renjun hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Jaemin.

“Itu Lucas, ketua Goshrider. Dia emang suka tebar pesona, ralat, hampir semua anggota Goshrider suka tebar pesona atau mainin hati perempuan maupun laki-laki, kecuali Jeno dan Mark,” Ucap Renjun.

“Mark sih karna udah pacaran sama nih bocah tengil, cuman backstreet aja,” Tambah Yangyang.

“Jangan keras-keras anjing!” Haechan membekap mulut Yangyang.

“Tangan lu bau anjing, Chan,” sungut Yangyang.

“Ekhem.. hehe sorry-sorry. Lagian kalau si Mark berani ya— gua potong tititnya nanti.”

Baik Renjun, Yangyang, maupun Jaemin menatap Haechan ngeri. Tidak heran jika Mark memilih untuk menurut dan tidak mengikuti teman-temannya kalau begitu.

“Tadi Renjun bilang Jeno juga gaikut-ikutan? Kenapa?”

“Gak ada yang tau kenapa. Tapi ya, Jaem, kalau semisal nanti hampir semua anak deketin lu, maksudnya anak Goshrider, patut dipertanyakan sih.”

“Kenapa tuh?”

“Entah, tapi dulu pernah kaya gini juga, eh ternyata ada taruhan di antara mereka?”

“Really?”

Yess. Jadi hati-hati aja, Jaem. Siapa tau lu target selanjutnya.”

Jaemin menyeringai kecil, kecil sekali sampai ketiga temannya tidak menyadari hal tersebut.

Interesting, they messed up with a wrong person huh?

Atlas menuruni satu persatu anak tangga dengan nafas yang memburu. Jantungnya berdegub kencang, sampai rasanya jantung Atlas ingin melompat dari tempatnya. Atlas langkahkan tungkainya menuju ke ruang tamu. Atmosphere di ruang tamu begitu kelam, dengan Genta yang melipat tangan di depan dada dan Rey yang tampak acuh tak acuh.

Atlas menautkan alisnya, Ia masih belum melangkahkan tungkainya ke arah kedua anak adam itu. Atlas masih berusaha memproses situasi.

“Jadi kalian mau pergi kemana? Sampe jam berapa? Siapa aja? Pulang jam berapa?”

Rey berdecih, ia balik menatap Genta nyalang, “Bukan urusan lu.”

Atlas menautkan alisnya, tak suka dengan penuturan Rey terhadap Genta.

“Apapun soal Atlas itu jadi urusan gua.”

“Lu siapanya sih? Keluarga dia juga bukan, sok banget ngatur dia. Sadar diri men. Gua tau nih, pasti lu salah satu dari mereka yang deketin si Atlas itu kan? Emang bodynya walau kurus gitu tapi bagus banget sih, ramping. Pas banget gak sih dipelukan.”

Genta tak kuasa menahan emosinya, Genta segera layangkan satu pukulan pada wajah rupawan milik Rey.

BUGH!

“JAGA UCAPAN LO BAJINGAN.”

Atlas mematung di tempat. Atlas tak pernah menduga bahwa pandangan orang lain terhadapnya akan seperti itu. Sekarang Atlas mengerti— kenapa Genta se possessive itu terhadapnya. Nyatanya beberapa manusia memang sifatnya lebih rendah dari binatang.

Ketika Genta hendam kembali melayangkan pukulan, Atlas bergegas menahannya. Atlas peluk tubuh Genta dari belakang. Genta yang semula dipenuhi kabut emosi, kini melunak seketika.

“Atlas? Sejak kapan lo disitu?”

Atlas menggeleng cepat, “Keluar,” Atlas berkata dengan ketus tepat kearah Rey.

“Loh, kan kita mau pergi berdua. Yuk, udah malem jug—“

“GUA BILANG KELUAR. NGERTI BAHASA INDONESIA GAK?!”

Rey terkesiap, dia merasa marah dan terinjak. Rey melangkah cepat, meraih pergelangan tangan Atlas dan merematnya kuat.

“Sakit.. Rey lepas!”

Genta segera melayangkan kembali pukulannya hingga Rey limbung. Dengan sigap Genta segera membawa Atlas ke belakang punggungnya, melindungi Atlas dari sosok predator seperti Rey.

Rey bangkit lalu segera berdiri. Ia menatap Atlas dan Genta bergantian. Tatapannya begitu tajam.

“Ck. Liat aja lu.” Rey bergegas keluar dan pergi meninggalkan pekarangan rumah Atlas.

Genta segera berbalik, netranta bertemu dengan netra hazel milik Atlas.

“You okay?”

Atlas mengangguk, “Thank you.”

Genta tersenyum membentuk bulan sabit. Ia arahnya jemarinya untuk menyisir surai hitam Atlas, “Sekarang ngerti kan kenapa gua protective sama lu?” Atlas mengangguk.

“Gua izinin lo sama siapa aja, Atlas. Asalnya orang itu ngadep gua dulu. Gua mau liat sifatnya gimana, sebelum ngizinin dia buat bisa berhubungan sama lo. Gua cuman mau yang terbaik buat lo. Itu aja.”

Atlas mengangguk lagi, “Maaf..,” cicitnya.

No worries. Yang penting sekarang lu baik-baik aja.”

“Makasih ya, Ta…”

“Sama-sama.”

Genta bergegas ke kamarnya setelah selesai memberi makan Ica— kucing miliknya. Genta kembali menghenbuskan nafas pelan saat melihat Atlas masih sama, pandangan matanya yang kosong, binar matanya yang sayu, matanya yang sembab, sudah dipastikan Atlas kembali menangis tadi.

“Hey..”

Atlas menolehkan kepalanya dan menatap netra menenangkan milik obsidian Genta. Atlas tersenyum kecil, ia merentangkan kedua tangannya— meminta peluk. Dengan senang hati Genta rengkuh tubuh ringkih itu dan membawanya ke pelukannya.

“Lagi mikirin apa?”

“Gak tau.. masih bingung? Gak ngerti..”

Genta menghela nafas pelan, namun dirinya mengerti perasaan sahabatnya ini. Teramat sangat mengerti. Tiap malam Atlas selalu tidak bisa tidur dengan nyenyak. Atlas akan mengingau dan menangis dalam tidurnya. Setiap malam juga Genta akan dengan setia memeluknya dan mengusap punggungnya lembut hingga Atlas kembali terlelap.

Atlas tidak mau bersama siapapun, bahkan bunda dan ayah sekalipun. Atlas hanya ingin bersama Genta. Genta mengerti sekali.

Masih teringat jelas hari dimana Genta membawa Atlas ke rumahnya. Malamnya, Atlas terserang demam tinggi sekali. Genta tentu panik sekali, ia memanggil ayah dan dan bunda. Ketiganya bergegas membawa Atlas ke rumah sakit. Selama di rumah sakit pun Atlas mengingau. Membuat Genta menatap Atlas nanar. Detik itu juga pertahanan Genta hancur. Genta tidak pernah bisa kuat jika melihat Atlas menangis apalagi sampai sakit begini. Bunda dengan setia memeluk Genta dan memberikan kecupan di puncak kepala Genta.

Hari-hari setelah hari kelam itu, Atlas tampak berubah. Dirinya memang hidup, tetapi seperti tak bernyawa. Atlas juga susah sekali disuruh makan. Atlas hanya akan makan jika Genta yang menyuapinya, itupun tidak banyak.

Jika ditanya lelah atau tidak, jawabannya iya. Genta lelah— bukan lelah karena menjaga Atlas, bukan. Genta lelah karena melihat Atlas seperti ini. Genta lelah, karena hancurnya Atlas merupakan hancurnya juga. Genta lelah melihat binar mata Atlas yang hilang, digantikan tatapan penuh kekosongan. Raganya ada bersama Genta, namun jiwanya pergi entah kemana.

Ini sudah memasuki satu minggu sejak hari dimana kejadian itu berlangsung. Atlas masih sama, belum berubah sedikitpun. Besok adalah hari dimana putusan perceraian mami dan papi Atlas akan berlangsung. Sidang perceraian yang hanya akan dihadiri oleh bunda, ayah, juga Cia. Gadis itu lebih kuat rupanya, ia berusaha tutupi rasa kecewanya dan menjadi sosok kakak yang kuat untuk kedua orang tuanya.

“Genta capek ya ngadepin Atlas?” Kalimat itu meluncur begitu saja dari belah bibir Atlas. Genta mengernyitkan kedua alisnya, tidak suka akan pertanyaan Atlas.

“Siapa bilang?” Atlas menciut, ia mengerucutkan bibirnya, air matanya kembali menggenang.

Lagi— Genta menarik Atlas kedalam rengkuhannya. Ia usap surai hitam legam itu dengan penuh kasih.

“Enggak capek. Cuman Genta ikut sedih liat Atlas kayak gini terus.”

Genta renggangkan pelukannya, Genta tangkup pipi Atlas yang tampak lebih kurus dibanding sebelumnya.

“Genta sedih karena sekarang Atlas jadi pendiem. Atlas kalau ada yang bisa dibagi, susahnya, sedihnya, tangisnya, bagi aama Genta ya? Genta disini buat Atlas. Atlas engga sendiri. Sakitnya Atlas itu sakitnya Genta juga.”

Atlas menatap mata Genta yang kini tampak berkaca-kaca. Atlas baru menyadari, ketika ia terlarut dalam rasa sedih dan kecewa akibat keputusan kedua orang tuanya, disini Genta setia menemani Atlas. Berikan segala hal yang Atlas butuhkan. Atlas baru menyadari bahwa Genta sama sakitnya. Genta dan Atlas telah bersama sejak keduanya bayi. Keduanya tumbuh bersama dan habiskan waktu bersama. Tentu melihat Atlas sakit mampu membuat Genta turut rasakan sakitnya.

“Maaf…” Cicit Atlas.

Genta gelengkan kepalanya, air matanya meluruh begitu saja. Genta usap air mata yang turun di permukaan wajah Atlas.

No need. Tapi mau janji gak?”

“Janji apa?”

“Janji buat bangkit? Gapapa kalau belum bisa ketemu mami papi atau kak Cia. Tapi selama sama Genta, Atlas jangan berlarut begini terus. Bangkit ya? Genta temenin.”

Atlas terenyuh mendengar kata demi kata yang diutarakan oleh Genta. Ia anggukkan kepalanya tanda menyetujui itu.

“Temenin Atlas ya, Tata?”

Genta mengangguk, “Pasti.”

Apapun hasil dari sidang perceraian yang dilangsungkan, Atlas tidak lagi peduli. Atlas tidak lagi mau gantungkan harapan pada papi dan mami. Atlas mau berdiri dan bangkit, jalan kedepan, tidak lagi menengok kebelakang. Sudah cukup sakitnya, sedihnya, lukanya, tangisnya, sudah cukup. Atlas juga ingin rain bahagianya. Setidaknya Atlas punya Genta, dan itu cukup.

Genta melajukan sepeda miliknya dengan tergesa-gesa. Genta sudah sangat hafal diluar kepala mengenai tempat dimana Atlas berada kini. Tempat dimana keluarganya selalu menghabiskan akhir pekan— pun juga tempat dimana baik Genta maupun Atlas sering menghabiskan hari kala keduanya merasa malas untuk pulang ke rumah masing-masing.

Keluarga Atlas merupakan keluarga yang sempurna, setidaknya itu yang orang-orang tahu. Namun Genta dengan segala kepekaannya mengerti— bahwasannya terdapat hal-hal yang tidak mami Atlas ungkapkan. Kantung mata yang menghitam juga mata yang terkadang sedikit sembab sudah menjadi pertanda bahwa semuanya tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya.

Genta tahu dengan pasti bahwa hari ini akan tiba. Genta hanya tidak tahu bahwa hari ini akan tiba dengan begitu cepat. Genta belum sempat berikan pengertian pada sosok yang ia jaga sepenuh hati itu.

Genta melajukan sepedanya lebih cepat. Dalam pikirannya hanya bagaimana caranya agar dirinya dapat tiba di danau itu secepat yang ia bisa.

Netra elangnya menatap ke sekitar tat kala dirinya telah sampai di danau tempat tujuannya. Genta membanting sepeda miliknya dan bergegas menghampiri yang terkasih— tak kala mata elangnya menangkap sosok itu.

Atlas Syahputra.

Lelaki manis itu kini tengan terduduk di atas rerumputan sambil memeluk lututnya erat. Atlas menenggelamkan wajahnya di dalam perpotongan lengannya. Genta bernafas sedikit lega ketika netranya mengetahui bahwa Atlas tidak melakukan hal buruk yang dapat membahayakan dirinya.

Genta berjalan tergesa dan menghampiri Atlas lalu mendudukan dirinya tepat disebelah Atlas. Genta mengusap punggung bergetar Atlas lalu merengkuh pundaknya dan membawanya kedalam pelukannya. Atlas yang merasakan sentuhan lembut dari jemari Genta semakin mengencangkan tangisnya. Perasaan campur aduk dalam dirinya membuat tangis Atlas pecah begitu keras.

“Ssshh.. ssshh.. It’s okay i got you.” Begitulah kira-kira bisikan Genta yang tengah berusaha menenangkan Atlas.

Ketika dirasa lelah menangis, Atlas angkat kepalanya dan mendongakkannya. Netra bulat itu bertabrakan dengan netra setajam elang milik Genta. Genta ulaskan senyuman terbaiknya sebagai penenang, seolah berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

“Tata…”

“Hm?”

“Kenapa papi sama mami jahat? Kenapa mereka pisah.. hks.. papi mami udah gak sayang Atlas ya? Atlas nakal ya? Makanya papi pergi sama kak Cia dan gak mau ketemu Atlas sama mami lagi.. Atlas janji gak nakal lagi tapi boleh gak.. papi mami jangan pisah? Atlas gak bisa. Atlas gak akan pernah bisa.”

Genta terdiam, dirinya tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Genta tidak mungkin memberi nasihat pada Atlas kala anak tersebut sedang rapuh-rapuhnya. Genta tidak bisa berbuat apa-apa dan membiarkan Atlas meracau sambil memberikan usapan halus pada punggung milik lelaki manis di pelukannya itu.

“Gapapa ya Atlas ya.. Untuk sekarang mungkin emang harus begini. Atlas punya Genta yang bakal selalu disini. Genta janji enggak akan pergi kaya papi pergi dari mami.”

Atlas mendongakkan kepalanya, linangan air mata tampak menumpuk di mata bulat milik Atlas. Genta arahkan jemarinya untuk mengusap air mata yang jatuh membasahi pipi Atlas.

“Janji?” Atlas mengarahkan jari kelingkingnya ke arah Genta, yang tentu saja Genta terima dengan suka rela, lalu ia tautkan jari kelingkingnya dengan jari kelingking Atlas.

“Janji.”

“Sekarang nangisnya udahan ya? Capek loh.. hidungnya udah merah banget itu, matanya juga.” Atlas menggeleng ribut, Genta menghela nafas pasrah.

“Yaudah, sini aja duduk sini, biar sandaran.” Genta menepuk-nepuk pahanya, tentu Atlas segera berdiri dan berpindah duduk menjadi di pangkuan Genta.

Atlas mengalungkan tangannya di leher Genta lalu menenggelamkan wajahnya di perpotongan leher Genta. Atlas hirup kuat-kuat aroma cytrus yang menenangkan. Isakan kecil kembali keluar dari belah bibir Atlas. Genta mengerti, ia usap punggung Atlas dengan tempo teratur.

Merasa lelah setelah menangis terlalu lama, perlahan mata Atlas tertutup, ia tertidur di pelukan sang sahabat, Genta.

Genta merasakan bobot tubuh Atlas yang sepenuhnya bertumpu padanya, disertai dengkuran halus yang keluar dari belah bibir Atlas yang tentu saja terdengar sangat jelas di telinganya. Genta tersenyum kecil, ia arahkan jemarinya untuk mengusap surai hitam milik yang terkasih.

“Atlas.. jangan nangis kayak gini lagi ya? Jujur gua lebih baik lo marah-marah atau ganggu gua bahkan pas gua lagi gak mau diganggu sekalipun. Daripada harus liat lo nangis kayak gini. Rasanya gua ikutan hancur, Las. Tolong, setelah ini bahagia ya? Nanti gua bantu buat bahagia. Tenang aja.”

Genta berujar tulus disertai dengan kecupan kecupan kecil di puncak kepala Atlas. Genta tidak tahu bahwa Atlas belum tidur sepenuhnya. Atlas dapat mendengar semua perkataan Genta hari itu. Dibawah sinar rembulan— Atlas menyadari satu hal. Bahwa ditengah hari yang terasa sesak dan berat, Atlas masih memiliki Genta. Genta yang siap ulurkan tangan dan berikan rengkuhan yang Atlas butuhkan.

In the end of the day, Atlas know that he still have Genta. At least Genta won’t leave him. And that’s enough.

Yang Atlas tahu selama ini, keluarganya adalah keluarga yang harmonis. Keluarga yang kerap kali menimbulkan rasa iri pada keluarga lainnya. Papi dan mami Atlas yang sangat mencintai satu sama lain, pun dengan kedua anaknya. Atlas sendiri terdiri memiliki seorang kakak perempuan yang hanya berbeda satu tahun di atasnya. Baik papi mami maupun Atlas dan Cia, sang kakak, semuanya saling mencintai satu dengan lainnya. Canda tawa tak pernah luntur dari keempatnya. Definisi dari keluarga bahagia, bukan? Atlas maupun Cia tidak pernah tahu, bahwasannya itu semua hanyalah topeng yang dipakai oleh mami dan papinya.

23 Maret 2014

Hari yang akan Atlas maupun Cia kenang sampai akhir hayat. Hari penuh sesak dimana Atlas yang kala itu masih menduduki bangku kelas 2 SMP dan Cia kelas 3 SMP, harus dikejutkan dengan berita perceraian kedua orang tua mereka.

Atlas terpaku ketika sederetan pesan masuk ke ponselnya. Kala itu Atlas tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ingin rasanya marah, namun bingung harus marah pada siapa. Ingin rasanya menangis, namun terlalu terkejut hingga rasanya air mata pun tidak dapat lagi menetes. Atlas hilang fokus, dunia Atlas hancur saat itu juga. Hari yang akan selalu Atlas peringati sebagai hari paling menyesakkan sepanjang perjalanan hidupnya.

Atlas tidak pernah tahu mengenai masalah papi maminya. Keduanya menyembunyinan luka dengan begitu rapat. Atlas juga tidak pernah mengerti akan hal apa yang membuat keduanya berakhir berpisah. Tidakkah mereka memikirkan bagaimana perasaan Atlas dan juga Cia? Tidakkah mereka setidaknya mengkomunikasikan permasahan mereka? Sehingga— baik Atlas maupun Cia tidak terlalu terkejut seperti sekarang ini.

Atlas bingung. Atlas gundah. Ia berlari dari tempat less pianonya tanpa berpamitan dengan sang guru. Tungkainya melangkah dengan cepat, entah kemana, Atlas tidak tahu. Yang Atlas tahu ia harus bersembunyi dari semua orang.

Tungkainya melangkah menuju sebuah danau yang luas. Danau tempat dimana keluarga kecilnya acap kali berpiknik di akhir pekan. Momen yang selanjutnya hanya akan menjadi kenangan belaka. Sekelebat memori-memori mengenai dirinya dan sang kakak beserta mami papi muncul begitu saja. Tubuhnya kini bergetar hebat, tangisan pilu keluar dari belah bibirnya begitu saja. Dunia Atlas hancur tak bersisa. Atlas bahkan tidak tahu bagaimana caranya untuk dapat kembali melanjutkan hidupnya.

Jauh dalam lubuk hatinya yang terdalam, Atlas berharap ini hanya mimpi belaka. Atlas berharap semua yang ada hanyalah bagian dari mimpi buruknya. Dan ketika bangun— Atlas dapat kembali rasakan usapan penuh kasih dari sang papi, juga omelan dari sang mami yang mengomelinya karena bangun kesiangan, tak lupa ledekan menyebalkan gadis manis yang tak lain adalah kakaknya sendiri— Cia.

Namun itu hanya sebuah harapan semu. Nyatanya Atlas harus tetap menerima bahwa keluarganya tidak lagi utuh. Dirinya seperti berada dalam mimpi buruk sepanjang hidupnya.

Atlas dan segala lukanya, hanya memiliki satu tempat untuk bersandar.

Gentala Angkasaputra.