Allen menyusuri lantai rumah sakit dengan tergesa-gesa. Air matanya kini telah berkumpul di pelupuk matanya, siap untuk turun kapan saja. Tangannya bergetar hebat. Rasanya pasokan oksigen tak lagi ia rasa. Sesak, sesak sekali rasanya. Allen tidak sanggup. Tolong bilang padanya bahwa semua ini hanya mimpi buruknya. Ketika ia bangun— ia akan kembali temukan senyum bulan sabit milik sang terkasih.
“No.. please stay…” Allen terus rapalkan kalimat ini tanpa henti.
Tungkainya berhenti ketika ia mendapati sebuah ruang operasi. Lampu ruangan itu masih menyala, tanda operasi masih terus berlangsung. Kedua tungkai milik pemuda manis itu melemas. Rasanya Allen sudah tidak lagi mampu untuk menopang bobot tubuhnya. Hancur sudah pertahanan dirinya. Marko duduk di ujung sana, ia meremat kuat rambut miliknya. Haikal terdiam di sisi lainnya. Menatap sahabat dan pacarnya bergantian. Diam-diam mendoakan semoga calon adik iparnya itu bisa kembali sehat.
“Gagal jantung,” suara berat Marko tiba-tiba masuk ke pendengaran Allen.
“H-hah?” Allen tidak tuli, ia dengar dengan jelas apa yang Marko katakan. Namun sisinya yang lain enggan untuk percaya. Ia merasa pendengarannya kini bermasalah. Ia sangat yakin itu.
“Gagal jantung, len. Edgar menderita gagal jantung. Sudah sejak dia kecil. Baru ketahuan pas dia usia 4 tahun. Sudah banyak prosedur yang dilakukan, ini adalah operasi terakhirnya. Keberhasilannya kecil sekali, hanya 15%.”
Mendengar itu, Allen merasa dunianya hancur tak bersisa. Bagaimana bisa Allen tidak mencari tahu alasan mengapa Edgar enggan berolah raga. Bagaimana bisa, Allen tidak mempertanyakan obat-obatan yang kerap kali Edgar konsumsi. Bagaimana bisa, ia mempercayai ketika Edgar bilang bahwa dirinya tidak enak badan, padahal bibirnya pucat sekali, disertai dengan keringat dingin yang membasahi pelipisnya. Bagaimana bisa— Allen tak menyadari hal ini. Allen merasa bodoh, bodoh sekali. Allen meremat rambutnya kuat, ia tarik-tarik rambut miliknya. Kini Allen menangis histeris setelah mendengar penuturan abang dari kekasihnya itu.
Dua tahun sudah keduanya berpacaran. Tak pernah sekalipun Allen tanyakan mengenai kejanggalan yang kerap ia rasa. Ia mempercayai semua tutur manis nan menenangkan sang terkasih.
“ALLEN STOP! INI BUKAN SALAH LO!!” Haikal menahan jemari mungil Allen yang terus layangkan pukulan pada dirinya sendiri.
“SALAH GUE! KENAPA GUE GOBLOK BANGET KAL.. KENAPA?!”
Haikal diam, ia rengkuh tubuh ringkih itu dengan kuat. Allen yang semula memberontak perlahan pukulannya memelan, hingga tidak ada lagi pukulan yang Haikal rasa sebagai wujud pemberontakan sahabatnya itu. Kini yang tersisa hanya isakan dan tangisan pilu sahabatnya, Allen.
“Edgar itu, sayang sekali sama lo, Len,” Marko bersuara tanpa menatapnya.
“Penyakit Edgar itu karna faktor keturunan. Mami juga meninggal karena gagal jantung. Hal itu yang buat papi pergi ke luar negri dan hanya kirimkan kami uang saja. Terutama saat tahu kondisi Edgar. Papi semakin gencar bekerja. Papi tidak pernah menyukai kehadiran Edgar. Mami meninggal saat usia Edgar 4 tahun. Edgar kecil tidak tahu apapun. Ia mengajak mami bermain. Edgar kecil gak tahu soal sakit mami. Edgar ajak mami main ke taman bermaon. Edgar berdua bersama mami saat itu. Mami kelelahan, terlalu capek saat itu. Sampai akhirnya drop, dan berakhir meninggal dunia. Papi marah sekali. Papi kurung Edgar di gudang sebagai bentuk kemarahannya. Usia gue disitu masih 5 tahun. Gue cuman bisa nangis. Tapi begitu gue gak denger lagi suara Edgar minta tolong, gue panik. Gue panggil mbak yang biasa jaga gue dan Edgar selama ini. Akhir dibukain. Dan lo tau apa yang gue liat?”
Allen tidak bergeming, ia masih diam dalam rengkuhan hangat Haikal.
Marko menghembuskan nafas gusar, “Edgar lagi megang dadanya dan dia udah gak sadarkan diri. Pas dibawa ke dokter ternyata gagal ginjal,” Marko terkekeh miris.
“Edgar udah lama mau menyerah, Len.”
Allen dongakkan kepalanya tatap kakak dari kekasihnya yang kini tampak sama kacaunya dengannya.
“Dia mau menyerah, tapi kehadiran lo di hidup dia bikin dia semangat. Dia sering banget bilang pengen ketemu mami aja. Tapi sejak lo ada, dia gak lagi berfikiran begitu. Dia mau berjuang, ya buat lo juga.”
Senyum Marko terbit, sebelum akhirnya sirna begitu saja, “Tapi kemarin itu batasnya dia, Len. Dia akhirnya menyerah. Dia capek berjuang. Kalau hasilnya nanti engga sesuai harapan.. ikhlas ya, Len?”
Allen gelengkan kepala kuat, “ENGGAK! EDGAR PASTI SELAMAT! YA KAN KAL? JAWAB IYA!!”
Haikal hanya bisa tertunduk.
“LU DENGER GUA GAK?! KOK DIEM?!”
Tangis Allen pecah saat itu juga. Rasanya dunianya benar-benar sudah hancur.
Hanya 15% tapi Allen sangat berharap Edgar bertahan. Allen mencintai Edgar lebih dari apapun yang ia miliki. Kehilangan Edgar berarti kehilangan setengah dari dirinya. Allen tidak akan pernah ikhlas dan Allen tidak akan pernah bisa hidup tanpa Edgar.
Keluarganya sudah hancur, tidak ada yang pernah menyayanginya setulus Edgar. Lantas— jika Edgar juga pergi, Kemana Allen harus bersandar? Kemana Allen harus ‘pulang’ jika ‘rumahnya’ sudah tidak ada.
“Edgar.. please stay.. please,” bisiknya lirih.
‘Atau kalau mau pergi, tolong ajak aku. Perginya sama aku. Aku gak mau sendirian..’ batin Allen.